Apakah boleh Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam?

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Apakah boleh Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam?

Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita non-muslim yang dimaksud dalam Hukum Islam adalah apabila Wanita Non-muslim tersebut adalah dari golongan ahli kitab, artinya orang yang mengimani kitab terdahulu, dalam hal ini Wanita Nasrani dan Wanita Yahudi, maka pernikahan ini diperbolehkan (halal).

Mari melihat perbandingan ke-tiga Surat tersebut dalam peristiwa:

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah Ayat : 221:

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan Wahidi dari Muqatil, katanya,

“Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Martsad Al-Ghunawi yang meminta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini seorang wanita musyrik yang cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat ini.”

Diketengahkan oleh Wahidi dari jalur Suda dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, katanya bahwa ayat ini turun mengenai Abdullah bin Rawahah. Ia mempunyai seorang budak sahaya hitam yang dimarahi dan dipukuli. Dalam keadaan kebingungan ia datang kepada Nabi saw. lalu menyampaikan beritanya, seraya katanya,

“Saya akan membebaskannya dan akan mengawininya.”

Rencananya itu dilakukannya, hingga orang-orang pun menyalahkannya, kata mereka, “Dia menikahi budak wanita.” Maka Allah swt. pun menurunkan ayat ini. Hadis ini dikeluarkan pula oleh Ibnu Jarir melalui As-Sadiy berpredikat munqathi.

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nuur Ayat 2:

Artinya : “Perempuan yang berzina dengan laki-laki yang berzina, hendaklah kamu dera tiap-tiap satu dari ke­duanya itu dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu sebenarnya beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah hukuman keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

Hukuman ini pernah dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. kepada seorang sahabat yang bernama Ma’iz, yang datang sendiri mengakui terus-terang ke pada Nabi bahwa dia telah bersalah berbuat zina. Dia sendiri yang minta dihukum. Berkali-kali Nabi s.a.w. mencoba meringankan soal ini, sehingga beliau berkata:

“Mungkin baru engkau pegang-pegang saja,” “mungkin tidak sampai engkau setubuhi,” dan sebagainya,

Tetapi Ma’iz berkata juga terus terang bahwa dia memang telah berzina, bahwa dia memang telah melangar larangan Tuhan, dan belumlah dia merasa ringan dari pukulan dan pukulan batin sebelum dia dihukum. Maka atas permintaannya sendirilah dia dirajam sampai mati.

Kejadian itu pula hal demikian pada dua orang wanita, seorang dari suku Bani Lukham dan seorang lagi persukuan Bani Ghamid, datang pula mengaku di hadapan Nabi bahwa mereka telah terlanjur berzina. Seorang di antara sedang hamil dari perzinahan itu. Sebagai Ma’iz, kedua perempuan itu rupanya merasa tekanan batin yang amat sangat sebelum hukuman itu dijalankan pada diri mereka, sehingga dijalankan pula hukuman rajam itu, sampai mati. Dan terhadap kepada perempuan yang hamil itu, hukum tersebut baru dijalan setelah anaknya lahir dan besar, lepas dari menyusu. Itu pun perempuan sendiri juga yang datang melaporkan diri.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah Ayat 5:

Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.

Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi) seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi.

“Dihalalkan bagi kalian wahai orang-orang yang beriman menikahi wanita-wanita merdeka yang beriman dan ahlu kitab dari Yahudi dan Naṣrani baik dia żimmiyah atau harbiyah apabila kalian telah membayarkan mahar mereka. Kehalalannya dibatasai dengan pembayaran mahar untuk penegasan tentang wajibnya mahar, bukan sebagai syarat di dalam kehalalannya. Pengkhususan penyebutan merdeka sebagai anjuran bahwa wanita merdeka itu lebih utama, bukan berarti selain mereka (wanita merdeka) tidak boleh dinikahi, karena pernikahan budak perempuan yang Muslimah itu baik sesuai kesepakatan. Menurit Abu Hanifah hal itu adalah baik”.

Dihalalkan bagi kalian menikahi wanita-wanita merdeka agar keadaan kalian terbebas dari zina dengan menikahi mereka, (yaitu) wanita-wanita yang terbebas dari perbuatan keji secara terang-terangan dan bukan pula wanita yang senang mendatangi kekejian, artinya bahwa yang dibolehkan adalah menikahi wanita-wanita merdeka yang terbebas dari perbuatan zina dengan syarat membayarkan mahar mereka dengan maksud menikah dan menjaga diri bukan dengan maksud menumpahkan air (sperma) dari jalan zina secara terbuka dan bukan pula pada jalan zina secara sembunyi-sembunyi yaitu mengambil gundik-gundik.

Allah SWT telah memperingatkan orang yang menyelisihi dan Allah senang kepada hukum-hukum tentang kehalalan di atas, kemudian Allah SWT berfirman, maksudnya, barang siapa yang mengingkari syari’at-syari’at Islam dan mengingkari pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya maka Allah SWT pasti membatalkan pahala amalnya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia dengan sempitnya amalan dia dan tidak adanya manfaat darinya, sedangkan di akhirat dengan kerugian dan kehancuran di Neraka Jahannam.

Allah memutlakkan kata Iman pada ayat di atas dan menghendaki orang beriman untuk mengamalkannya, itu semua hanyalah sebagai majaz bahwa yang dikendaki Allah SWT adalah mengimani syari’at-syari’at Allah SWT dan mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Ada juga yang menafsirkan: “Barang siapa yang mengingkari Rabb yang wajib diimani, lafal itu merupakan majaz dengan membuang kata tertentu (yaitu kata Rabb) dan maksud dari ayat ini adalah menunjukkan besarnya perkara yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya. Dan ancaman bagi orang yang menyelisihinya.

Yang bisa diambil dari surat al-Maidah ayat 5 di atas di antaranya adalah:
Pensyariatan menikahi wanita yang muḥshonat baik dari kalangan Muslimah maupun ahlu kitab, yang dimaksud al-muḥshonat adalah:

  • Menurut Mujahid dan jumhur adalah wanita-wanita yang merdeka
  • Menurut Ibnu Abbas al-muḥshonat adalah Wanita-wanita yang menjaga dirinya dari perbuatan keji

Batalnya pahala amal apabila orang yang beramal tersebut mengingkari hukum-hukum dan syari’at Allah SWT, kufur terhadap pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya, sebagaimana firman Allah SWT artinya dengan apa yang diturunkan kepada Rasulullah SAW atau mengingkari Iman maka sia-sialah amalnya maksudnya adalah batal dan sia-sialah pahala amalnya dan amalnya tidak bermanfaat di akhirat.