Apakah Artifical Intelligence dapat Digunakan untuk Menangani Kasus Depresi dan Menjadi Solusi Pencegahan Perilaku Bunuh Diri di Indonesia?

Artificial Intelligence (AI) merupakan sistem komputerisasi yang memiliki kemiripan cukup tinggi dengan cara berpikir manusia, seperti struktur, perilaku, kemampuan, fungsi bahkan prinsip – prinsip yang digunakan (Wang P, 2008). AI merupakan bukti nyata dari peningkatan teknologi yang sangat pesat. AI dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sangat tinggi di era saat ini. AI telah dipakai dalam segala bidang, terutama kesehatan jiwa.

Di tengah-tengah kemajuan peradaban manusia dalam bidang teknologi dan informasi, masyarakat juga dihadapkan pada berbagai masalah-masalah kesehatan yang semakin tinggi. Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah serius yang dihadapi di era ini. Prevalensi depresi di Indonesia pada penduduk umur ≥ 15 tahun pada tahun 2018 mencapai 6.1% atau sekitar ± 14 juta penduduk Indonesia yang mengalami depresi (Riskesdas, 2018).

Depresi merupakan gangguan jiwa yang umum dan biasanya bersamaan dengan beberapa gejala seperti, emosi yang tertekan, kehilangan minat, energi yang berkurang, gangguan tidur atau makan, dan konsentrasi menurun, serta sering terjadi bersamaan dengan gejala kecemasan (Marcus M, Yasamy MT, Ommeren Mvan, Chisholm D, Saxena S, 2012). Depresi dapat terjadi pada siapapun karena penyakit ini dapat meliputi lini kehidupan masyarakat.

Depresi dapat disebabkan oleh berbagai faktor-faktor, mulai dari biologis, neurokimia, genetik, psikososial, kepribadian, dan psikodinamik dari orang tersebut (Sadock BJ, Ruiz P, Sadock VA, Kaplan HI, 2010). Setiap faktor mempunyai perannnya masing – masing dan tidak hanya bersumber dari satu faktor saja. Setiap orang memiliki penyebab depresi yang berbeda – beda tergantung dari stressor yang memicunya. Tingkatan depresi pada setiap orang juga berbeda, mulai dari ringan, sedang maupun berat (Marcus M, Yasamy MT, Ommeren Mvan, Chisholm D, Saxena S., 2012).

Depresi dapat mengakibatkan percobaan bunuh diri (Kroning M, Kroning K, 2016). Sekitar 800.000 orang meninggal karena perilaku bunuh diri setiap tahunnya, berarti satu orang meninggal setiap 40 detik (WHO, 2018). Setiap orang dewasa yang meninggal karena perilaku bunuh diri telah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 20 kali (WHO, 2018).

Perilaku bunuh diri merupakan saat seseorang melakukan kekerasan kepada diri mereka sendiri dengan berniat mengakhiri hidup mereka dan meninggal sebagai jawaban atas aksi mereka sedangkan perbedaan dengan percobaan bunuh diri yaitu jawaban atas aksi mereka bukanlah meninggal (CDC, 2015).

Rasio bunuh diri di Indonesia per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 3.7 dengan pria sebesar 5.2 dan wanita sebanyak 2.2 % (WHO, 2016). Walaupun memiliki presentasi yang sedikit, penanganan dan pencegahan perilaku bunuh diri masih sangat minim dilakukan di Indonesia. Penanganan yang kurang cepat dan tepat masih menjadi masalah di Indonesia dalam menangani percobaan maupun perilaku bunuh diri.

Kurangnya klinisi kesehatan jiwa memperberat dalam penanganan kesehatan jiwa untuk mencegah perilaku bunuh diri. Dengan tersedia 773 psikiater, 451 psikolog klinis dan 6.500 orang perawat jiwa, Indonesia belum bisa melewati rasio antara klinisi dan jumlah penduduk sebesar 1 : 30.000 (UGM, 2015). Hal ini dapat memperberat Indonesia dalam mengurangi angka percobaan maupun perilaku bunuh diri.

Penggunaan AI oleh masyarakat dunia sudah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Penggunaan AI telah diproyeksikan akan memberikan banyak manfaat. Penggunaan awal AI telah digunakan dalam bidang kesehatan yang membutuhkan pencitraan, seperti radiologi, patologi, oftalmologi dan kardiologi dan telah membantu memprediksi kanker payudara lewat gen atau memberikan gambaran Computed Tomography (CT) pada pneumonia (Maddox TM, Rumsfled JS, Payne PRO, 2018).

Selain itu, AI dapat diaplikasikan dalam bidang kesehatan jiwa. Salah satu contoh pemanfaatannya adalah expert system yang diprogram untuk membantu klinisi membuat keputusan klinis (Luxton DD , 2014). Sistem Al-based Mental Health Diagnostic Expert System (MeHDES) membantu klnisi untuk mendiagnosis pasien dengan cara mengkode pengetahuan yang dimiliki oleh klinisi jiwa menjadi algoritma yang dapat menentukan tingkatan gangguan kesehatan jiwa pasien (Luxton DD , 2014).

Depresi sebagai salah satu gangguan jiwa harus ditangani secara tepat dan berkelanjutan. Penanganan depresi dilakukan dengan cara konsuling di pelayanan primer dapat membantu penanganan depresi bersamaan dengan pengobatan yang dilakukan dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Carta M, Petretto D, Adamo S, Bhat K, Lecca M, Mura G, et.al., 2012). Konseling dapat membantu dalam penanganan jangka pendek dan pasien merasa puas setelah melakukan konseling (Bower P, Knowles S, Coventry PA, Rowland N, 2011)

Aplikasi-aplikasi yang menggunakan sistem AI yang dapat diunduh melalui gawai dapat membantu dalam metode penanganan depresi. Beberapa aplikasi AI membantu mempertemukan antara klinisi jiwa dengan pasien. Pelayanan yang diberikan mulai dari mencari klinisi terdekat, menjadwalkan pertemuan hingga pelayanan setelah konseling selesai. Pelayanan lain yang bisa menjadi salah satu alternatif yang diberikan oleh AI, seperti melalui telepon, berkirim pesan, atau bahkan menggunakan video call .

Penggunaan AI dapat digunakan untuk bertindak sebagai pendamping dalam proses konseling yang sedang dilakukan oleh orang yang mengalami depresi. Pendampingan ini berupa akses untuk orang tersebut agar dapat memberikan apa saja yang sedang dirasakan dan nantinya dapat diolah menjadi sebuah data untuk klinisi menentukan diagnosis dan penanganan jangka panjang. Pencegahan percobaan bunuh diri dapat dibantu juga oleh AI. AI dapat menjadi sebuah aplikasi yang dapat mengarahkan orang tersebut untuk segera mencari bantuan medis segera. Semua pelayanan kesehatan jiwa yang cepat, tepat dan efektif dapat dilakukan dengan bantuan AI.

Di sisi lain, AI masih memiliki beberapa kontradiksi dalam pemanfaatannya di bidang kesehatan jiwa. Dalam beberapa fitur yang diberikan, AI memberikan beberapa tes diagnostik untuk mengolah data dan menentukan tingkatan dari depresi maupun gangguan kesehatan jiwa yang dialami yang terkadang dijadikan dasar oleh pasien sebagai diagnosis pasti yang dapat menimbulkan resiko lebih dan penanganan yang tidak sesuai diagnosis (Pillay S, 2010). Selain itu juga, klinisi kesehatan jiwa dapat membuat pilihan saat menghadapi dilema etik tetapi AI belum dapat menganalisis dan memprogram alasan – alasan yang kompleks berkaitan dengan dilema etik (Luxton DD , 2014).

Oleh karena itu, selain meningkatkan kecanggihan dari AI itu sendiri yang futuristis untuk pemanfaatannya dalam bidang kesehatan jiwa, perkembangannya harus juga diimbangi dengan adanya pendampingan dari klinisi kesehatan jiwa, adanya legalitas dan bioetika yang tepat, dan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyediaan layanan lewat AI . AI dapat menjawab tantangan gangguan kesehatan jiwa terutama depresi, apabila dilakukan kerja sama antara klinisi kesehatan jiwa, ahli komputerisasi AI, para pemegang kebijakan, dan masyarakat bekerja sama dalam penyediaan pelayanan ini di Indonesia. Penelitian lebih lanjut mengenai AI dan pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan jiwa sangat diperlukan dalam meningkatkan kualitasnya.

DAFTAR PUSTAKA
2 Likes