Apa yang kamu ketahui tentang R.A Kartini : Perjuangan dan Pemikirannya?

image

RA. Kartini adalah pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia khususnya kaum wanita. Dalam masa penjajahan Belanda yang sempat menduduki ibu pertiwi, kaum wanita pribumi dikesampingkan hak-hak dalam mendapatkan fasilitas pendidikan dan mengemukakan pendapat.

1 Like

Raden Ajeng Kartini merupakan sosok wanita yang dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Ia lahir pada tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Ayah Kartini bernama RMAA Sosroningrat sedangkan ibunya adalah MA Ngasirah. MA Ngasirah merupakan istri pertama namun bukan yang utama karena peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristri bangsawan. Untuk itu RMAA Sosronigrat kemudian menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam).

Perkawinan RMAA Sosoroningrat dengan MA. Ngasirah melahirkan 8 orang anak yaitu: RM Slamet Sosroningrat, P. Sosroboesono, RM Panji Sosro Kartono, RA Kartini, RA Kardinah, RM Sosro Mulyono, RA Sumatri Sosrohadi Kusumo, RM Sosrorawito. Sementara itu perkawinannya dengan RA Moerjam melahirkan 3 orang anak yaitu: RA Sulastri Hadisosro, RA Roekmini dan RA Kartinah.

Dalam kultur masyarakat Jawa, bangsawan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Ia merupakan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai model dari kultur budayanya. Ia memberikan nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Bangsawan juga merupakan satu-satunya kelompok yang sangat dekat dengan raja. Karena kerajaan merupakan pusat budaya maka dengan demikian bangsawan merupakan konseptor dari kultur masyarakatnya. Dari keluarga seperti inilah Kartini dilahirkan.

Keluarga Kartini merupakan kelompok bangsawan yang telah berpkiran maju. Kakeknya, Pengeran Condronegoro merupakan generasi awal dari rakyat Jawa yang menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Diantara putra-putra Pangeran Condronegoro yang terkenal adalah Pangeran Ario Hadiningrat, RMAA Ario Condronegoro dan RMAA Sosroningrat. RMAA Condronegoro merupakan seorang sastrawan yang banyak dikenal oleh pembaca baik di Indonesia maupun di Belanda. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain: Kesalahan-kesalahan dalam berkarya sastra Jawa (1865), Pengelanaan Jawa (1866), dan Kritik dan catatan atas buku karangan Veth β€œJava” jilid 1 (1875-1888).

Putra-putri RMAA Sosroningrat pada akhirnya nanti tumbuh menjadi tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa serta memiliki komitmen yang sangat kuat untuk cita-cita perdamaian dan kemajuan bangsanya. P Sosroboesono yang kemudian menjadi Bupati Ngawi merupakan seorang aparat yang sangat dikenal karena kemampuannya dalam membangun balai pertukangan di daerahnya. Sementara itu RM Sosrokartono terkenal karena kemampuan intelektualnya yang berkaliber internasional. Beliau pernah menjadi koresponden majalah β€œTimes”, β€œChicago Daily News”, dan β€œNew York Herald Tribune”. Beliau merupakan seorang tokoh yang selalu menyuarakan perdamaian di Eropa melalui konggres-konggres dan seminar di Eropa.

RMAA Sosroningrat, ayah Kartini merupakan seorang bangsawan yang berpikiran maju. Beliau memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong oleh adanya kesadaran akan pentingnya ilmu penge-tahuan demi kemajuan bangsa dan negaranya. Sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dimana Kartini mendapat pelajaran Bahasa Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar yang terbit di Semarang yaitu De Locomotief. Disamping itu Kartini juga sering mengirimkan tulisannya kepada majalah wanita yang terbit di Belanda yaitu De Hollandsche Lelie. Di samping membaca majalah, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Suratsurat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kracht karya Louis Coperus, dan sebuah roman anti perang yang berjudul Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner.

Kartini merupakan salah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang menguasai berbahasa Belanda dengan baik. Kemampuannya dalam berbahasa Belanda merupakan modal pengetahuan yang amat berharga untuk berhubungan dengan teman-temannya terutama dari Eropa. Koprespodensi Kartini dengan wanita modern dari Eropa seperti Stella Zeehandelaar, semakin membuka wawasannya khususnya tentang kemajuan wanita. Hal inilah yang mendorong Kartini untuk memajukan kaum wanita Indonesia yang saat itu berada dalam status sosial yang sangat rendah.

Sebenarnya Kartini memiliki cita-cita untuk melajutkan sekolahnya ke Belanda. Citacita ini mendapat dukungan dari teman-temam Kartini di Belanda seperti Stella Zeehandelaar. Namun, sebaliknya hal ini mendapat tantangan dari ayahandanya, sehingga Kartini memendam kekecewaan yang mendalam. Kartini juga harus berhadapan dengan realitas budaya Jawa dimana dia harus mengalami masa pingitan pada umur 11 tahun dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Inilah tragedi yang dialami oleh Kartini, sesuatu yang sangat ditentangnya namun terpaksa diterima demi rasa hormat dan patuh kepada ayahnya.

Kartini dan Perjuangan Kesetaraan Gender


RA Kartini merupakan salah seorang dari sedikit perempuan Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat. Meskipun hanya memperoleh pendidikan tingkat Elementary School yaitu Europesche Lagere School, namun Kartini telah dapat menguasai bahasa Belanda sehingga ia memiliki modal pengetahuan untuk berhubungan dengan dunia modern. Perhubungannya dengan teman-temannya di Eropa dilakukan lewat surat-menyurat dalam bahasa Belanda. Kamampuan yang luar biasa dari seorang Kartini dalam berbahasa Belanda memang diakui oleh banyak pihak. Ia sanggup membuat kalimat-kalimat yang sangat baik dan menarik perhatian para sastrawan.

Lewat surat-suratnya tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum wanita Indonesia. Kartini mengungkapkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme dan perjuangan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh JH Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sementara itu Agnes Louise Symmers men-terjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princess.

Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal. Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang inferior bila dibandingkan dengan pria. Dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan wanita adalah macak, masak dan manak.

Lebih jauh gambaran wanita Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi. Keadaan wanita Indonesia, khususnya di Jawa pada zaman tersebut juga dapat dilihat dari ungkapaan B.H. Lans, seorang guru wanita berkebangsaan Belanda yang bertugas di Sunda. Beliau menulis,” Waktu saya mulai bekerja disini, hampir tidak ada atau sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke sekolah … Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis hilang lenyap pada usia menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun”.

Kartini sadar bahwa keinginannya untuk maju hanya dapat ditempuh melalui pendidikan yang lebih tinggi dari ia peroleh saat itu. Kartini mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah HBS di Semarang, namun ditolak mentah-mentah. Akan tetapi ketika Kartini menyatakan ingin melanjutkan studi ke Eropa ayahnya diam dan tidak memberikan reaksi apa-apa. Kartini berkesimpulan bahwa ayahnya tidak keberatan kalau ia melanjutkan studinya ke Eropa.

Kartini mengirim surat kepada pemerintah agar ia diberi bantuan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Balasan dari pemerintah Belanda datang dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1903. Pada dasarnya pemerintah Belanda menyambut baik niat Kartini untuk belajar di Eropa dan pemerintah menyatakan kesediaannya untuk memberikan bantuan uang sebesar 4.800 Gulden untuk mendukung niatnya tersebut.15 Akan tetapi Kartini tidak lagi antusias menerima balasan tersebut sebab ia akan segera menikah dengan Bupati Rembang yaitu RM Joyo Adiningrat.

Hal lain yang menjadi perhatian Kartini tentang ketidakadilan terhadap wanita adalah berkembang suburnya poligami. Kartini berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat, dan merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. Hal inipun dilakukan oleh orang tuanya, abang-abangnya dan para raden mas yang lainnya di lingkungan Kabupaten Jepara dan kabupaten-kabupaten lainnya. Hal penting yang menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami adalah adanya dorongan dari orang tua agar anaknya mendapat suami dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan kemewahan.

Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan buruh pabrik. Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Dikawini oleh bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal. Mereka akan menjadi putrid-putri kabupaten, kepangeranan, atau kesultanan yang bergelimang dengan kemewahan. Kartini melihat dan mencatat kejadian-kejadian tersebut dalam hati sanubarinya. Ia merasakan betapa getir nasibnya nanti apabila dirinya akan mengalami nasib seperti gadis-gadis tersebut.

Kartini menyadari bahwa untuk membuat bangsanya maju, khususnya kaum wanita, maka tidak bisa tidak adalah dengan jalan belajar dari dunia Barat. Peradaban Barat yang demikian gemilang menyilaukan semangat Kartini untuk belajar demi pembebasan dari kungkungan feodalisme budaya yang timpang itu.

Meskipun begitu, nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam suratsuratnya. Nasionalisme Kartini merupakan refleksi sosial yang kritis dari seorang wanita Indonesia yang didasarkan pada religieusiteit, wijsheid en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan) ditambah dengan humanitarianisme (kemanusiaan) dan nasionalisme. Nasionalisme yang tampak dalam pandangan Kartini dapat dikategorikan sebagai sebagai nasionalisme universal dalam arti gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung nilai-nilai universal, seperti pendidikan, persamaan derajat, dan solidaritas sosial.

1 Like