Apa yang kamu ketahui tentang Humanitarian Intervention?

Humanitarian Intervention

Humanitarian Intervention (intervensi kemanusiaan) melibatkan penggunaan senjata oleh negara, kelompok dalam negara, organisasi internasional yang berdasarkan kemanusiaan dengan tujuan khusus untuk mencegah atau meringankan penyebaran penderitaan atau kematian.

Apa yang kamu ketahui tentang Humanitarian Intervention ?

Humanitarian Intervention bukanlah konsep baru dalam hubungan internasional. Humanitarian Intervention merupakan perkembangan dari konsep intervensi yang bermula dari meningkatnya kesadaran akan hak-hak yang harus dimiliki oleh manusia. Meningkatnya kesadaran akan hak-hak yang harus dimiliki manusia, menurut Burchill (2001) kesadaran tersebut muncul saat dunia mulai menghadapi krisis kemanusiaan yaitu sejak masa akhir Perang Dunia 2 dan di awal 1990an, dimana terjadi konflik di banyak negara khususnya negara dunia ketiga seperti di kawasan Asia dan Afrika, seperti di Rwanda 1994, Kosovo 1999 dan Darfur 2003 (Pattison, 2010).

Kesadaran akan hak-hak manusia tersebut juga sesuai dengan teori liberalisme. Menurut Burchill (2001) dalam liberalisme terdapat 53 penghargaan terhadap hak-hak manusia sebagai individu. Manusia sebagai individu harus bebas dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara dan penganiayaan. Setiap individu berhak mendapatkan kebebasan politik, berdemokrasi, mendapat jaminan akan hak konstitusional, dan persamaan di mata hukum. Dalam konsep perdamaian menurut Immanuel Kant yaitu perpetual peace dikenal istilah cosmopolitan ethic yang merupakan solidaritas lintas batas negara, dimana bila ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia di suatu tempat, maka merupakan pelanggran ditempat lainnya (Burchill, 2001)

Dalam kamus hubungan internasional Humanitarian Intervention diartikan sebagai:

The coercive intrusion into the internal affairs of a state to protect large-scale, humanitarian rights violations. As such, it is to be distinguished from humanitarian ‘assistance’ which does not involve coercion and usually occurs with the consent of the target (state). In other words, Humanitarian Intervention involves the use of armed forced by a state, a group of states or an international organization on the ground of humanitarianism with the specific purpose of preventing or alleviating widespread suffering or death. As with other varieties of intervention, this is the subject of dispute in international relations and law of the grounds that it is subversive: it threatens institutional basis of international order. Specifically, it is regarded as a threat to the foundational westphalian principle of sovereignty and its corollary, non interventions (Evans dan Newnham, 1998).

Penggunaan kekerasan ke dalam urusan dalam negeri suatu negara untuk melindungi pelanggaran hakhak asasi manusia dalam lingkup besar. Dengan demikian, sikap ini harus dibedakan dari humanitarian assistance (bantuan kemanusiaan) yang tidak melibatkan penggunaan senjata atau paksaan dan biasanya mendapat persetujuan dari target (negara). Dengan kata lain, Humanitarian Intervention (intervensi kemanusiaan) melibatkan penggunaan senjata oleh negara, kelompok dalam negara, organisasi internasional yang berdasarkan kemanusiaan dengan tujuan khusus untuk mencegah atau meringankan penyebaran penderitaan atau kematian. Seperti intervensi yang lain, intervensi kemanusiaan ini menjadi perdebatan dalam hubungan dan hukum internasional karena dianggap bersifat subversive (gerakan bawah tanah) : mengancam tatanan dasar yang telah dibuat institusi internasional. Khususnya, prinsip intervensi kemanusiaan ini dianggap sebagai ancaman terhadap prinsip dasar Westphalia tentang kedaulatan serta non intervensi (Terjemahan).

Dari pengertian menurut kamus hubungan internasional dapat disimpulkan bahwa konsep Humanitarian Intervention masih diperdebatkan karena dianggap melanggar ketetapan yang sudah disepakati sebelumnya oleh negara-negara di dunia seperti prinsip kedaulatan dan non-intervention (Evans dan Newnham, 1998). Prinsip kedaulatan sendiri diartikan sebagai kapasitas atau wewenang yang dimiliki sebuah negara atas orang-orang serta sumber daya di dalam wilayah negara tersebut. Meski tidak bersifat absolut, namun otoritas negara ini disahkan oleh konstitusi negara tersebut (dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty , 2001).

Perdebatan konsep Humanitarian Intervention dengan kedaulatan adalah tentang siapa aktor yang paling pantas untuk melakukan intervensi tersebut. Menurut Dr. Ganewati (2011) dalam kasus intervensi aktor yang dianggap paling tepat melakukan tindakan tersebut adalah kelompok negara atau organisasi internasional seperti PBB. Hal ini karena jika intervensi dilakukan oleh suatu negara maka tujuan intervensi tersebut bukan bersifat kemanusiaan melainkan tujuan politik atau untuk kepentingan negara tersebut. Perdebatan lain yang muncul terkait Humanitarian Intervention dan kedaulatan adalah tentang aturan penerapan Humanitarian Intervention tersebut. Artinya seberapa lama tindakan Humanitarian Intervention tersebut dapat dilakukan. Aturan ini harus dibuat oleh negara yang di intervensi mengingat negara juga masih memiliki hak atas negaranya. Selain itu penerapan Humanitarian Intervention ke dalam suatu negara dianggap perlu menilai kesiapan negara yang akan di intervensi, agar tidak menimbulkan masalah baru setelah intervensi dilakukan (Dr.Ganewati, 2011).

Menurut Robertson (2002), konsep awal Humanitarian Intervention sudah diperkenalkan pada 1625, yaitu pada masa Grotious (dalam De Jure Belli ac Paris atau Just War ) yang melegalkan hak untuk melakukan intervensi untuk mencegah perlakuan yang kejam dari negara terhadap warga negaranya. Pada 1904 Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt mengeluarkan pernyataan yang sama dengan Grotius yaitu bahwa intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan. Namun, pernyataan Grotious dan Roosevelt ini masih dikategorikan sebagai bagian dari konsep intervensi yang kemudian menjadi dasar bagi konsep Humanitarian Intervention .

Konsep Humanitarian Intervention dianggap sebagai new interventionism dalam hubungan internasional terutama sejak paska Perang Dingin. Notoprayitno (2002) mengutip Penelope C. Simons mengatakan bahwa perdebatan mengenai konsep Humanitarian Intervention sebagai new interventionism terdapat dalam beberapa teori dalam hubungan internasional. Misalnya, menurut teori realis negara dianggap sebagai satu-satunya lingkungan yang bermoral yang bertujuan untuk mendapatkan keamanan demi kepentingan bangsa saja. Sedangkan intervensi kemanusiaan ( Humanitarian Intervention ) dianggap kurang penting bagi keseimbangan kekuatan negara dan dianggap melanggar aturan internasional. Sementara itu, kaum liberalis atau pluralis memandang masyarakat internasional sebagai masyarakat yang berdaulat dan memiliki kesatuan yang independen dan menerima keberadaan moral secara universal dan intervensi kemanusiaan merupakan kewajiban moral dari anggota masyarakat. Perbedaan cara pandang mengenai Humanitarian Intervention dalam hubungan internasional ini turut mempengaruhi keabsahan dari konsep Humanitarian Intervention itu sendiri. Beberapa negara berkembang (Dunia Ketiga), misalnya, menganggap Humanitarian Intervention mengaburkan arti penting kedaulatan dan yuridiksi wilayah serta menolak pendapat negara-negara Barat yang menekankan pentingnya hak individu melalui doktrin hak asasi manusia ( Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty , 2001).

Perbedaan pendapat antara negara berkembang dan negara-negara Barat ini mulai menemui persamaan setelah Perang Dingin dengan munculnya konsep interdependensi. Konsep interdependensi menjelaskan bahwa setiap negara memiliki ketergantungan dengan negara lain terutama negara-negara berkembang karena masih membutuhkan negara maju seperti negara Barat untuk membantu kepentingan nasionalnya. Kenyataan yang terjadi paska Perang Dingin ini yang membuat Humanitarian Intervention menjadi pilihan politik dan moral untuk menjaga perdamaian dan stabilitas internasional (Simons dalam Notopratiyno, 2002). Namun, aturan mengenai Humanitarian Intervention dalam kerangka aturan internasional seperti piagam PBB belum menemukan kejelasan karena antara satu aturan dan aturan lain mengenai sahnya Humanitarian Intervention saling bertentangan seperti yang dijelaskan sebagai berikut: Dalam piagam PBB (dikutip dari United Nations Information Centres ) pasal 2 ayat (4) dijelaskan tentang prinsip non intervention:

All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the UN ’. Artinya seluruh anggota dalam hubungan internasional, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.

Pasal 2 ayat (4) ini diperkuat oleh pasal 2 ayat (7) Piagam PBB :

Nothing contained in the present Charter shall authorized the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any states or shall require the Member to submit such matters to settlement under the present Charter: nut this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII’ . Artinya tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusanurusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII.

Namun, aturan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) dan (7) ini bertentangan dengan beberapa pasal dan artikel yang juga tercantum dalam Piagam PBB seperti dalam Artikel 55. Tujuan dari Artikel 55 adalah menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan dalam hubungan antar negara bangsa yang damai dan bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri. Tujuan Artikel 55 ini semakin menegaskan pernyataan pada Pasal 1 ayat 3 piagam PBB yang menyebutkan ‘mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional dibidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama’. Selanjutnya dalam artikel 56 dinyatakan ‘…semua anggota PBB berjanji untuk bertindak sendiri dan bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan yang disebutkan dalam artikel 55’. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 2 menjadi tidak mutlak jika bersinggungan dengan artikel-artikel tersebut

Pertentangan aturan dalam Piagam PBB mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh PBB khususnya Dewan Keamanan sebagai badan yang terkait dengan masalah intervensi. Secara eksplisit, pertentangan antara Pasal 2 ayat (4) dan (7) dengan artikel 55 Piagam PBB (dikutip dari United Nations Information Centres ) hanya terletak pada masalah tindakan mencampuri urusan dalam negeri yang berarti melewati batas wilayah yurisdiksi negara yang berdaulat. Sebenarnya, pertentangan ini tidak menjadi suatu permasalahan jika lebih mencermati pasal-pasal dan artikel Piagam PBB tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (4) dan (7) terutama bagian terakhir kalimat dapat digarisbawahi yaitu tampak bahwa PBB khususnya Dewan Keamanan PBB berpotensi memiliki hak melakukan intervensi dalam situasi tertentu di suatu negara sesuai prinsip dan tujuan PBB serta sesuai Bab VII pasal 41 dan 42 Piagam PBB (dikutip dari United Nations Information Centres ) tentang enforcement (paksaan) yang berisi sebagai berikut :

Pasal 41 : Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan-tindakan apa diluar penggunaan kekuatan senjata harus dilaksanakan agar keputusankeputusannya dapat dijalankan, dan dapat meminta kepada anggota-anggota PBB untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan itu ialah pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radia dan alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik. Pasal 42 : Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut dan darat dari anggota- 59 anggota PBB (Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional).

Tindakan intervensi juga dapat dilakukan dalam rangka artikel 51 ( self defence ) dan artikel 55 Piagam PBB dengan mengesampingkan pasal 2 ayat (4) dan (7). Justifikasi mengenai intervensi ini juga berlaku dalam Humanitarian Intervention .

Terlepas dari masih adanya pertentangan tentang sah atau tidaknya Humanitarian Intervention , ada beberapa kondisi yang menuntut diberlakukannya Humanitarian Intervention seperti yang diajukan Duke (1994) yaitu, :

  • Terdapat bukti adanya tindak kejahatan berat terhadap hak asasi manusia
  • Kejahatan meluas dan merupakan penyebaran ancaman bagi hak hidup manusia lain
  • Saat semua tindakan penyelesaian yang termasuk kategori intervensi telah digunakan dan tidak membuahkan hasil
  • Penggunaan kekuatan harus proporsional dan tidak memperburuk keadaan
  • Dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat mungkin
  • Dilaksanakan oleh kelompok negara, untuk menghilangkan kecurigaan bahwa intervensi kemanusiaan ini ditujukan bagi kepentingan nasional negara tertentu
  • Harus berdasarkan prosedur yang tercantum dalam bab VII Piagam PBB
  • Negara-negara yang terlibat harus bergerak dalam koordinasi yang erat dengan PBB, dan menunjukkan kesiapan untuk mengembalikan masalah tersebut, jika mungkin kepada PBB
  • Intervensi harus, jika memungkinkan, melibatkan persetujuan dari negara yang diintervensi.

Konsep intervensi muncul sejak abad 19, namun hingga kini definisi konsep ini masih beragam. Pada tahun 1919 intervensi bertujuan untuk melindungi hak-hak negara-negara minoritas (Chesterman, 2001). William Edward Hall merupakan orang pertama yang memunculkan konsep intervensi kemanusiaan. Konsep ini mirip dengan konsep yang terdapat di dalam literatur bahasa Inggris yang berarti intervensi yang dilakukan atas dasar kemanusiaan atau intervensi yang dilakukan atas dasar kepentingan kemanusiaan, dan untuk menghilangkan kondisi yang sangat tidak disukai.

Menurut Adam Roberts dalam bukunya yang berjudul Humanitarian War: Military Intervention & Human Right International Affairs memberikan definisi intervensi kemanusiaan sebagai berikut:

“Intervensi kemanusiaan merupakan intervensi militer yang dilakukan di negara lain dengan kesepakatan yang bersifat terbatas ataupun tanpa kesepakatan sama sekali antara pihak yang melakukan intervensi dengan penguasa setempat, untuk mencegah terjadinya kesengsaraan & korban jiwa lebih lanjut” (Roberts, 1993).

Simon Chesterman dalam bukunya yang berjudul Just War or Just Peace?: Humanitarian Intervention and International Law, melihat intervensi kemanusiaan dari beberapa aspek:

  1. Intervensi kemanusiaan sebagai hak hukum, terdiri dari beberapa pendapat yang terbagi menjadi:
  • Intervensi kemanusiaan sebagai suatu ukuran penegakan ketertiban.
  • Intervensi kemanusiaan atas nama golongan tertindas.
  1. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu tindakan yang berbahaya.

  2. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dihindari.

Definisi intervensi kemanusiaan juga dinyatakan oleh J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane dalam bukunya yaitu Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas sebagai berikut:

“Intervensi kemanusiaan merupakan suatu tindakan yang bersifat mengancam atau menggunakan kekuatan yang melintasi batas negara oleh suatu negara atau kelompok negara yang bertujuan untuk mencegah atau mengakhiri semakin menyebar dan meningkatnya tindak pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh suatu negara terhadap warga negaranya dan dilakukan tanpa seijin dari negara yang wilayahnya merupakan target pelaksanaan intervensi tersebut” (Holzgrefe dan Keohane, 2003).

Intervensi kemanusiaan menjadi salah satu pilihan pada tahun 1990 saat politik dunia memasuki periode yang konfrontatif. Pada beberapa kasus, Dewan Keamanan PBB setuju untuk memberikan mandat bagi pelaksanaan intervensi. Bahkan, apabila intervensi dirasa tidak akan mendatangkan peperangan yang besar, tanpa mandat Dewan Keamanan PBB pun hal ini bisa terjadi.

Intervensi kemanusiaan dapat dipandang dalam konsep human security. Pemahaman bahwa security lebih dari state security dan bahwa keamanan manusia bersifat universal yang mengatasi batas-batas kedaulatan negara.

Intervensi kemanusiaan yang merupakan salah satu bentuk resolusi konflik bisa dilihat dari pelaksanaannya terdiri dari dua jenis, yaitu:

  1. Intervensi kemanusiaan yang menggunakan kekuatan militer. Ancaman atau penggunaan kekuatan merupakan bentuk klasik dari intervensi, baik dengan menggunakan aksi militer, bahkan sanksi ekonomi atau politik dalam beberapa kasus dimasukkan ke dalam intervensi karena terdapat unsur paksaan sebagai dampaknya.

  2. Intervensi kemanusiaan tanpa mengunakan kekuatan militer (non military). Intervensi kemanusiaan yang dilakukan tanpa mengunakan kekuatan militer biasanya dilakukan oleh organ PBB misalnya United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR).