Apa yang kalian ketahui tentang Tari Gandrung?

Halo sobat! pada tahu kan bahwa banyak sekali tari tradisional yang tersebar di Indonesia. Salah satunya adalah tari Gandrung, yang mejadi tarian tradisional dari Banyuwangi, Jawa Timur.

Lalu, menurut kalian apa aja nih pembahasan lanjut mengenai Tari Gandrung tersebut?

Tari Gandrung adalah tarian yang dilakukan secara berpasangan antara pria dan wanita. Tari Gandrung ini awalnya dilakukan oleh penari laki - laki yang didandani seperti perempuan. Namun seiring dengan perkembangan, penari gandrung beralih menjadi penari perempuan.

Dalam pertunjukannya, Tari Gandrung sebenarnya terbagi menjadi tiga babak. Pertama dibuka dengan Jejer, yaitu bagian dimana penari menyanyikan lagu dan menari sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan Paju atau yang di daerah lain disebut Ngibing, yaitu penari memberikan selendangnya kepada tamu yang datang untuk diajak menari. Terakhir adalah Seblang subuh yaitu penutup, dimana penari menari dengan penuh penghayatan dengan menggunakan kipas yang dikibaskan sesuai irama sambil bernyanyi. Pada bagian ini akan sangat terasa kesan mistisnya. Hal ini masih berhubungan dengan ritual Seblang, yaitu suatu ritual penyembuhan atau penyucian yang dilakukan oleh penari jaman dahulu. Namun, di masa sekarang ini bagian seblang subuh sudah mulai jarang digunakan, meskipun merupakan bagian penutup pertunjukan Tari Gandrung

Kata Gandrung berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gandrung : sangat rindu (kasih) akan ; tergila-gila karena asmara. Menggandrungi : sangat mencintai ; tergila-gila pada ia-gadis berkulit kuning itu ; 2 sangat menyenangi ; sangat senang akan ; menaruh rakyat-pembangunan.

Asal-Usul Tari Gandrung

Menurut Dariharto (2009) asal-usul Tari Gandrung ialah :

“Pada suatu penyelenggaraan upacara di istana Majapahit, sering dipentaskan suatu bentuk tarian istana yang dikenal dengan istilah “juru I angin”, yaitu seorang wanita yang menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang “buyut”, yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan penari juru i angin tersebut.”

Tari gandrung berupa tarian yang mengandung nilai magik, religius serta bersifat yang melahirkan batas-batas kaidah kesopanan yang sesuai dengan kepribadian dan watak khas masyarakat Banyuwangi. Dewasa ini tari gandrung Banyuwangi bersifat hiburan yang berupa tari dengan gendhing Banyuwangi, akan tetapi dalam tari gandrung masih kelihatan sifat aslinya sebagai tari pemujaan dan banyak mempengaruhi para seniman daerah Banyuwangi dalam menciptakan tarian jenis gandrung baru.

Pada tari gandrung Banyuwangi unsur keistanaanpun masih dapat dilihat, antara lain dalam hal busana, tata rias serta bentuk nyanyiannya yakni bentuk teknis pembawa lagu atau vokalnya yang memberikan kesan bentuk seni vokal pada zaman kehidupan kerajaan-kerajaan Blambangan zaman dahulu.

Sejarah Tari Gandrung
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan (Scholte 1927). Kemudian tari gandrung laki-laki lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890-an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk berdandan layaknya perempuan.
image

Tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Menurut sejumlah sumber, kelahiran tari gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, serta mengiringi upacara minta selamat, yang berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Penari gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, akan tetapi semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (mak midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan semi sebagai seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya tari gandrung oleh wanita.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggung pementasannya. Tari gandrung kemudian terus berkembang di Banyuwangi dan menjadi maskot. Pada mulanya tari gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung turut serta mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke- 20.