Apa yang dipikirkan si 'Aku'?

Bus Sumber Kencono. Bus ini memang cukup terkenal di kalangan masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian Timur. Armada bus ini terkenal karena kebiasaan ugal-ugalannya. Selain itu, angka kecelakaannya juga termasuk tinggi. Tak heran nama Sumber Kencono ini sering dipelesetkan oleh masyarakat menjadi “Sumber Bencono” alias “sumber bencana”. Bahkan, suatu ketika bus ini pernah dibakar di Ngawi oleh massa karena menabrak pengendara sepeda motor hingga tewas. Mungkin karena ingin mengubah image, nama armada ini akhirnya diganti menjadi seperti itu (Sumber Selamat).
ini ada salah satu kisah nyata cerita mistis yang anda boleh percaya boleh tidak… Dingin, aku merapatkan jaketku. Entah sudah berapa batang rokok yang kuhabiskan menunggu bis sialan ini. Kulihat jam di
tanganku sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mataku sampai bosan melihat ke arah jembatan layang Janti. Sudah hampir dua jam aku menunggu di sini, bener-bener brengsek, tak satupun bis yang mau berhenti. Mana sendirian pula, jadi agak-agak merinding, campuran antara takut ada preman kesasar sama aroma mistis malem Jumat Kliwon yang dikenal orang Jawa sebagai malam keramat.
Dari arah barat kulihat sepeda motor melambat, nampaknya dia mau nunggu bis juga. Yang dibonceng seorang pemudagondrong dengan jaket bergambar lambang salah satu perguruan tinggi di ringroad utara,
dia turun sambil melepaskan helmnya.
“Ati-ati dab!” Si pengendara motor muter balik sambil melambaikan tangannya.
Lumayan, ada barengan di sini, minimal kalo
sampe ada yang mau malak bisa kabur ke arah
berlainan biar premannya bingung mau ngejar
yang mana.
Ndak usah ketawa, aku males berantem sama
orang ndak mikir masa depan macem preman
jalanan, sedikit trauma juga gara-gara dulu
waktu ribut sama preman mereka seenaknya
ngeluarin pisau. Lha siapapun yang kena kan
pasti berurusan sama polisi, dia mungkin
mikirnya masuk tahanan ndak masalah, bisa
makan gratis. Kalo aku? Bisa digebuki bapakku!
“Mau pulang ke mana Mas?” Sapaku mencoba
beramah tamah.
Blah! Sombong sekali mas satu ini, berapa kali
aku menyapa tak sekalipun dia menjawab,
pura-pura gak denger, sok-sok sibuk ngliat
arah datangnya bis di arah jembatan layang.
Ini mungkin yang pernah dibilang Simbah di
kampung, wong Jowo ilang Jowone, sudah ndak
tau tata krama.
Untunglah tak berapa lama kemudian bisnya
datang, Sumber Kencono, bis legendaris
jurusan Jogja-Surabaya, dan kali ini bisnya mau
berhenti. Si Mas gondrong naik duluan, eh lha
kok aku baru naik satu kaki si bisnya udah
jalan lagi, bener-bener gak sopan! Tapi
mungkin memang sudah jadi kebiasaan, karena
jadwal keberangkatan antar bis yang kadang
cuma selisih 5 menit membuat mereka ndak
bisa berhenti lama-lama, kuatir mepet sama
yang belakang.
Tumben baru sampe Janti saja bisnya sudah
penuh, ada satu dua kursi yang kapasitasnya
tiga orang baru ditempati dua orang tapi
penumpang yang di situ gak ada yang
menawarkan tempat duduk padaku. Lebih
tepatnya mereka gak bereaksi apapun saat aku
permisi mau duduk. Blah! Makin lama makin
keterlaluan orang-orang ini, terbiasa hidup
sendiri-sendiri mungkin, sudah hilang segala
macam ramah tamah yang konon dulu pernah
jadi salah satu ciri orang sini.
Untung ada tiga kursi kosong di bangku paling
belakang, tak perlu permisi, lega juga, bisa
naikin kaki, mungkin sambil klebas-klebus
ngrokok untuk mengusir bosan nanti. Peduli
setan sama orang-orang bakal terganggu atau
tidak, wong mereka disapa gak menyahut,
harusnya diganggu juga gak protes! Sekarang
yang penting merem dulu, kompensasi dari
berdiri hampir dua jam waktu nunggu bis tadi.
Bis sudah melaju sampai daerah Kalasan,
biasanya di sini kondektur sudah narik bayaran
dari semua penumpang, tapi heran, kok dari
tadi gak ada yang njawil padahal duit sudah
aku siapkan. Terserah lah, kalo nanti gak
mbayar ya malah bersukur tho.
Tunggu dulu, sunyi waktu naik bis di malam
hari sudah biasa, tapi sepertinya yang sekarang
ini terlalu sunyi. Mungkin ada satu dua celoteh
pelan terdengar, tapi kenapa dari tadi ekspresi
orang-orang ini terlalu datar? Lebih tepatnya
gak ada ekspresi yang tergambar di wajah.
Bahkan orang di sebelahku pun seperti gak
merasakan kehadiranku.
Aku jadi sedikit merinding, dulu mbakyuku
pernah bilang, kalo malem jangan nunggu bis
dari janti, lebih baik dari terminal saja karena
konon ada bis hantu yang suka ngambil
penumpang di situ.
Bis hantu?
Iya, bis hantu. Selentingan kabar mengatakan
bis ini mengalami kecelakaan parah dan semua
penumpangnya tewas, waktu kita naik itu
semua penumpangnya berwajah pucat dan
tidak menghiraukan kehadiran kita. Konon kalo
naik bis itu dari Jogja bisa sampai ke Surabaya
dalam waktu gak sampai tiga jam, tapi kalo lagi
gak beruntung bisa juga gak sampai Surabaya,
kita malah dibawa ke alam antah-berantah.
Lebih celaka lagi katanya bis hantu itu Sumber
Kencono yang memang terkenal suka kebut-
kebutan.
“Mas, Sampeyan mau turun mana?” Aku
mencoba menyapa penumpang di sebelah,
sekaligus mengusir rasa penasaran, masa iya
ada bis hantu.
Dia gak menjawab, lebih tepatnya bereaksi
seperti semua orang yang dari tadi kusapa, gak
ada ekspresi. Ini mulai menakutkan. Kucoba
menepuk bahunya agar dia menanggapi
sapaanku. Sial! Tanganku menembus bahunya!
Dia tidak nyata, dia bukan manusia!
“Pak! Kiri pak! Saya turun sini!” Teriakku panik,
tapi mereka tetap dingin tanpa ekspresi.
Sialan! Mungkinkah aku akan terbawa ke alam
gaib seperti yang orang-orang pernah
ceritakan? Bulu kudukku merinding, badanku
terasa dingin. Tapi percuma panik sekarang,
aku mencoba mengingat doa-doa yang
diajarkan Simbah dulu, sial, lupa semua!
Hampir tanpa sadar, aku meraih sebatang
rokok, kunyalakan perlahan dan kuhisap dalam-
dalam untuk mengusir tegang.
“Cak, kok bisnya bau kemenyan?” Penumpang
di sebelahku mendadak menutup hidung,
menatap lurus seakan menembusku dan
bertanya pada kenek yang berdiri di pintu
belakang.
"Gak papa Mas, kadang memang suka tercium
bau kemenyan. Katanya dulu di Janti situ
pernah ada penumpang lagi nunggu bis
meninggal ditusuk waktu ribut sama preman,
kalo malem Jumat Kliwon kayak sekarang ini
katanya dia suka ikut naik bis. Kasian, mungkin
matinya gak tenang."
Aku termangu, dan bis terus melaju

Si “Aku” di cerita ini sebenarnya hantu, cuma pikirannya seolah-olah dia masih manusia, dan penumpang lainnya itu hantu, padahal kebalik