Apa yang Dimaksud Religi dalam Studi Antropologi?

image
Pada salah satu aspek ilmu pengetahuan, pengertian religi yang dapat digunakan secara ilmiah. Ini berarti bahwa apa yang kita katakan mengenai religi secara umum atau tentang bentuk-bentuk religi-tertentu secara khusus harus dapat diuji kebenarannya.

Apa yang dimaksud religi dalam studi antropologi?

Orang harus dapat menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan itu benar atau tidak benar. Hal itu tidak akan dapat dilakukannya, jika ilmu agama bertitik tolak dari wahyu. Menurut difinisinya wahyu ialah yang datang dari Tuhan atau dari dewa-dewa, jadi hal yang tidak dapat dijangkau oleh daya-pikir manusia. Wahyu itu hanya bisa dipercaya, artinya diterima, atau tidak dipercaya, artinya ditolak. Kebenaran wahyu itu tidak dapat dibuktikan. Begitu pula ketidakbenarannya juga tidak dapat dibuktikan. Kepercayaan atau tiadanya kepercayaan menyangkut pertanyaan-pertanyaan terakhir yang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan hanya dapat menanyakan mengenai hal-hal yang dapat diamati dan dikontrolnya. Di antaranya sedikit-banyak termasuk apa yang dikerjakan dan apa yang dikatakan oleh manusia. Hal ini mengandung arti bahwa dalam cabang ilmu pengetahuan yang menamakan diri ilmu keagamaan, adalah semata-mata religi yang tampil kepada kita sebagai gejala manusiawi. Apa yang datang dari atas tidak mungkin dibuktikan kebenarannya atau ketidakbenarannya. Dengan demikian timbullah pertanyaan: bagaimana dapat dibedakan religi sebagai gejala (fenomena) manusiawi ini dari gejala-gejala manusiawi lainnya seperti keadilan, kesenian, etika, atau apa saja yang Anda kehendaki. Kita harus sampai pada suatu definisi gejala yang menerangkan dalam hal apa religi itu berbeda dari gejala-gejala manusiawi lainnya. Definisi itu harus membatasi bidang religi. Bagaimana kita harus melakukannya?

Ada manfaatnya untuk membuat jelas terlebih dahulu apa yang tidak akan kita lakukan. Hal ini wajar, sebab definisi kita ini harus dapat digunakan secara transkultural, dan itu jelas mengharuskan adanya pembatasan-pembatasan. Kita juga tidak boleh bertitik tolak dari apa yang kita sendiri terbiasa memahami arti religi itu dalam kebudayaan kita. Hal itu nampaknya juga sudah semestinya demikian, akan tetapi angkatan-angkatan ahli antropologi justru gagal dalam hal ini. Bahkan ada dua cara untuk gagal dalam hal ini, dan kedua cara itu telah banyak diterapkan orang.

Cara pertama ialah, orang bertitik tolak dari pandangan-pandangan religius dari kebudayaannya sendiri. Ini terjadi, bilamana seperti juga Tylor, orang mendefinisikan religi sebagai kepercayaan kepada roh. Dalam Perjanjian Baru, Tuhan Allah juga disebut roh, sehingga istilah roh itu (spiritual beings) meliputi baik itu dewa maupun roh, setan maupun malaikat. Akan tetapi dengan definisi religi semacam itu, terdapat kesulitan besar dengan pengertian-pengertian seperti mana dan totem dan dengan praktek-praktek seperti magi dan nujum. Kita masih akan menjumpai sejumlah contoh peringatan lagi mengenai cara membuat definisi yang demikian ini.

Cara kedua yang menemui kegagalan ialah definisi yang dinamakan definisi khasideal, definisi yang bertitik tolak dari pengertian religi yang ideal. Dalam tradisi Eropa definisi religi yang diberikan oleh ahli filsafat dan teologia Schleiermacher kira-kira pada tahun 1820 telah memainkan peran penting ialah: das Gefiihl der slechthinnigen Abhängigkeit, perasaan ketergantungan mutlak. Ini adalah pelukisan yang juga akan rnenyentuh hati orang Islam, sebab apa artinya Islam kalau tidak justru ini?

Namun demikian, definisi itu memberikan pengertian etnosentris dan selain itu, jenisnya sulit untuk digunakan secara ilmiah. Jadi bertitik tolak dari teologis, lalu ditetapkan, bahwa orang yang percaya, dalam doanya harus bersikap sepenuhnya tergantung secara mutlak. Dalam khotbah hari Minggu (bilamana khotbah itu membahas masalah doa dan hal ini agak sering juga terjadi) orang yang percaya ditegur agar, jika ia berdoa, (dan ia diingatkan agar banyak berdoa), terutama jangan berdoa dengan cara yang memaksa, artinya jangan mendesak atau merengekrengek. “Kehendakmu jadilah” itulah yang harus menjadi nada dasar doa.

Dipandang dari segi teologia hal itu barangkali sangat baik, akan tetapi bagi ahli antropologi, apa yang harus dikatakannya tentang orang-orang yang juga tetap berdoa secara memaksa atau secara terus-menerus? Apakah ahli antropologi harus berkata bahwa doa tersebut bukan suatu perbuatan yang religius ? Kalau tidak boleh dikatakan demikian, apa yang harus dikatakan tentang perbuatan itu?

Akibat dari definisi ini ialah antara lain, bahwa semua yang dinamakan magi harus dianggap sebagai tidak religius; dan hal ini telah menyebabkan adanya praktekpraktek yang sangat tidak memuaskan, seperti praktek penggunaan istilah “magisreligius”, suatu istilah yang dalam kaitan dengan lawannya “religi-magi” sama tidak enaknya di telinga seperti kata putih-hitam.

Jika orang hendak menghindari etno-sentrisme semacam ini dan mencapai pemecahan tanpa menelaahnya dengan berfalsafah yang tak ada habis-habisnya, maka hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh, ialah memeriksa daftar register atau kotak kartu di mana ditemukan semua istilah yang biasa digunakan dalam ilmu pengetahuan keagamaan. Lalu orang akan menemukan istilah-istilah berikut: Tuhan, dewa-dewa, politefsme, monoteisme, ateisme, malaikat, roh, nyawa, orang mati, jin, hantu, peri, orang kerdil, raksasa, iblis, setan, syamanisme, kesurupan, kerasukan, tarian, doa, korban, meditasi, mistik, puasa, momok, wahyu, kegirangan, peramal, nabi, guru, pendeta, pengkhotbah, dukun, ahli sulap, ahli sihir, pertanda, intuisi meramal, kenabian, animisme, totemisme, mana, tabu, sakral, fas, nefas, murni, najis, kudus, duniawi, nikmat, dongeng, cerita dongeng, dan seterusnya. Sederetan yang lebih panjang dapat disusun.

Semua pengertian itu mempunyai suatu persamaan, ialah bahwa semuanya memiliki sesuatu yang di dalam bahasa Belanda dinamakan boven-natuurlijk atau gaib bahasa Indonesianya. Kata Belanda “boven-natuurlijk” yang digunakan ini adalah suatu pengertian yang eksplosif yang ditentang dengan gigih, meskipun alasan-alasannya tidak selamanya tepat. Keberatan terpenting yang dikemukakan ialah, bahwa kata itu mengandung nilai: “boven-natuur” yang terjemahan harfiahnya adalah “di atas alam”, berarti mengungguli alam. Mengapa orang harus berbuat demikian? Yang penting ialah, bahwa semua kata itu ada hubungannya dengan hal-hal yang tidak dapat diamati melalui persepsi yang normal, dengan kata lain hal-hal yang percobaannya tidak dapat dilakukan oleh manusia, namun merupakan gagasan dari perbuatan-perbuatan yang bersifat dugaan. Sebab itu religi dapat diberi definisi sebagai semua gagasan yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan semua gagasan tentang perbuatan yang bersifat dugaan semacam itu, dianggap sebagai benar.

Yang lebih penting ialah mengenai gagasan, yang lewat pengalaman empiris tidak dapat diwujudkan. Itu adalah masalah yang dapat dikonstatir secara obyektif. Secara empiris tidak dapat dibuktikan, bahwa roh itu ada, bahwa sorga itu ada atau neraka itu ada. Benar orang telah mencobanya mengenai roh-roh dan hidup di alam baka melalui spiritisme, akan tetapi tidak suatu pun dari “bukti-bukti”, yang dikemukakan oleh pihak spiritisme itu, mempunyai kekuatan yang meyakinkan, bahwa roh itu benar ada. Setelah diselidiki secara kritis ternyata bahwa selalu mungkin saja ada keterangan-keterangan yang lebih sederhana daripada keterangan tentang roh yang bersifat hipotetis.

Juga bukti-bukti tentang adanya tatanan hidup yang lain selain dari yang berwujud, yang dikemukakan oleh filsafat, harus ditolak. Yang dimaksud di sini ialah yang dinamakan bukti-bukti tentang adanya Tuhan. Bukti-bukti itu hanya meyakinkan mereka yang sudah percaya pada Tuhan. Itu pun bahkan atas dasar yang tidak tepat. Memang dapat dibuktikan, bahwa berat jenis besi lebih tinggi daripada air, akan tetapi orang tidak dapat membuktikan, bahwa Tuhan ada, atau bahwa Tuhan itu begini atau begitu. Kalau dapat dibuktikan, seakan-akan Tuhan itu dapat dipegang. Akan tetapi Tuhan yang benar-benar Tuhan, melampaui segala bukti (dan pengertian) manusia. Tuhan yang dapat dibuktikan (tetapi ini merupakan pendapat pribadi) bukanlah Tuhan. “Bukti” semacam itu tidak sopan.

Tetapi, marilah kita kembali kepada hal-hal yang diperbuat manusia, khususnya di bidang yang disebut religi. Pada pandangan pertama nampaknya definisi itu agak bertele-tele tetapi kalau dipikirkan sebentar, segera akan dipahami bahwa definisi itu banyak manfaatnya. Jelasnya, definisi itu memusatkan perhatian pada gejala yang sangat luar biasa. Sebab, memang bukan merupakan hal yang pasti, bahwa manusia itu menyelidiki hal-hal yang tidak dapat dipastikan atau didekati secara empiris.

Manusia itu adalah makhluk yang dilengkapi secara luar biasa untuk melakukan halhal yang bersifat empiris. Ia dapat mendengar, melihat, mencium bau, dan meraba. Selain itu ia mempunyai kecerdasan, dan ia mampu membuat alat-alat untuk mengukur pengalaman-pengalamannya dengan cara yang obyektif, kemudian mengontrolnya lewat eksperimen. Apa yang harus diperbuat oleh makhluk semacam itu dengan kenyataan, yang tidak dapat dibuktikannya dan tidak dapat ditunjukkannya? Namun demikian, hal itu dipercayainya dan ini bukanlah sebagai suatu kekecualian, melainkan universal. Lagi pula, juga bukan sebagai suatu yang barangkali benar dan barangkali tidak benar, akan tetapi sebagai sesuatu yang dianutnya dengan segenap hati dan jiwanya serta membiarkan hidupnya dipimpin olehnya dan untuk itu bahkan bersedia mengorbankan hidupnya. Ia juga mengharapkan daripadanya hal-hal yang aneh; berulang kali kenikmatan abadi dan untuk itu ia meninggalkan berbagai macam kesenangan dalam pertapaan.

Kenyataannya religi adalah suatu hal yang mustahil dan tidak masuk akal, suatu hal yang bertentangan dengan rasio. Salah seorang dari bapa gereja (Tertullianus) bahkan menamakan yang mustahil itu sebagai suatu dasar kepercayaan! Jadi semakin tidak masuk akal lagi. Suatu kemust’ahilan yang demikian besarnya dan begitu umum seperti religi, bukanlah suatu hal yang dapat diselesaikan dengan hanya mengangkat bahu saja. Bilamana yang tidak masuk akal itu normal, artinya universal, atau hampir universal, maka tentu ada sesuatu pada manusia itu yang menyebabkan tindakan dan pemikiran rasional tidak dapat menolongnya. Jadi studi tentang religi harus dapat memberikan pelajaran yang luar biasa pentingnya tentang manusia.

Yang membuat definisi ini bermanfaat ialah, bahwa semua magi dan ramalan tercakup dalam istilah ini. Definisi ini mengakui bahwa antara religi dan magi tidak dapat diadakan pembedaannya yang mendasar. Hal ini tidak berarti bahwa oleh pembedaan itu magi tidak boleh digunakan lagi sebab kata itu tetap merupakan istilah yang mudah digunakan untuk tindakan-tindakan religius yang diharapkan akan memberikan efek yang kongkret.

Tetapi bukan saja watak religius dari magi itu mendapat pengakuan dengan cara yang demikian, melainkan juga watak dari banyak metafisika. Pada hakikatnya sangat banyak metafisika adalah religi; karena hampir selalu mereka datang dengan gagasan dan ide-ide yang tidak dapat dibuktikan melalui pengamatan dan oleh sebab itu terbebas dari pembuktian dan dari sanggahan.

Tetapi hal itu tidak berarti bahwa definisi tersebut dapat menyelesaikan semua problema. Penyelesaian tuntas tidak pernah tercapai oleh sebuah definisi. Selamanya masih ada juga soal yang tidak menentu batasnya yang menimbulkan pertanyaan, apakah yang sedang dihadapi itu religi atau hanya salah paham belaka. Beberapa contoh sebagai penjelasan: sewaktu hujan dengan kilat dan petir, mesin jahit harus ditutupi dengan kapnya, karena logam berkilau dapat menyebabkan sambaran kilat; kalau seseorang terluka tangannya oleh pisau yang kotor, pisau itu harus dicuci bersih untuk mencegah terjadinya infeksi; tanaman obat-obatan tertentu harus dipetik ketika bulan purnama, agar terpelihara khasiatnya. Hal-hal semacam itu biasa kita cap dengan istilah takhyul. Apakah takhyul semacam itu religius atau tidak? Hal ini sebagian tergantung pada keadaan-keadaan yang menyertainya. Bilamana pada contoh yang belakangan, tanaman itu harus dipetik dengan mengucapkan mantramantra tertentu, maka sedikit pun tidak usah diragukan bahwa perbuatan itu bersifat religius. Perbuatan itu sendiri tidak lebih religfus daripada pikiran, yang masih hidup pada banyak orang bahwa pada bulan baru atau pada bulan purnama lebih besar kemungkinannya terjadi perubahan cuaca daripada pada hari-hari biasa.

Contoh-contoh mesin jahit dan pisau yang kotor dapat mengandung unsur religius, bila terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas mengenai kepercayaan, bahwa dunia ini dikuasai oleh kekuasaan-kekuasaan gaib. Bilamana hal ini tidak jelas, maka hal itu nampaknya lebih merupakan akibat salah paham atau kebodohan. Lagi pula bisa saja hal tersebut diperdebatkan, tetapi hasil yang dicapai tidak akan lebih jauh daripada pengakuan, bahwa masalah yang sedang dihadapi adalah soal-soal yang tidak menentu batasnya.

Religi dapat dibicarakan dengan dua cara: sebagai religi pada umumnya atau sebagai gejala manusiawi yang muncul secara umum. Tetapi bisa juga sebagai suatu kompleks gagasan dan kebiasaan yang muncul pada suatu kelompok manusia tertentu (gereja, sekte, suku). Lalu hal itu disebutnya sebagai suatu religi. Karena itu religi selamanya, seperti juga kebudayaan (dan religi termasuk di dalamnya) terikat pada kelompok, meskipun dalam bentuk metafisika yang belum menentu batasnya dengan kemungkinan individualisasi yang sangat ekstrem.