Apa yang dimaksud Hukum Waris Islam?

hukum waris islam
Penjelasan mengenai hukum waris Islam

Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11-12. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.

sumber: https://id.wikipedia.org/

Hukum kewarisan dalam Islam adalah hukum yang mengatur tentang segala sesuatu berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan ( tirkah ) seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya, menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa- berapa bagiannya masing-masing. Dalam Islam, hukum kewarisan disebut juga dengan hukum fara’idl , yaitu bentuk jamak dari fari’dlah yang secara harfiah berarti bagian.

Dalam hal ini sedikitnya ada 2 ( dua ) pihak yaitu “pewaris” dan “ahli waris” yang terlibat didalamnya. Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Syamsulbahri Salihima yaitu mendefinisikan faraidh yang diambil dari kata fardh yang artinya taqdir ( ketentuan ), dalam istilah syarak fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris, dan ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris dan ilmu faraid.16

Dalam Pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Idris Djakar memberikan pengertian hukum kewarisan Islam adalah seperangkat aturan-aturan hukum tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan berapa bagian-bagiannya masing- masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan syariat.

Pada intinya, hukum kewarisan adalah perpindahan hak kepemilikan / harta peninggalan pewaris kepada yang berhak mendapatkan warisan secara adil.

Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Pada intinya warisan adalah berpindahnya harta peninggalan dari si pewaris kepada ahli waris.

Dalam hukum kewarisan ada yang dinamakan pewaris, harta peninggalan dan ahli waris.

  • Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan adalah beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

  • Harta peninggalan yaitu harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris atau muwaris , berupa :

    • Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau aktiva;

    • Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayarkan pada saat meninggal dunia atau pasiva;

    • Harta bersama antara suami isteri, bilamana terjadi syirkah pada saat akad nikah dilaksanakan. Harta bersama dapat berupa :

      • Harta bawaan masing-masing si suami ataupun si isteri yang diperoleh / dimiliki sebelum akad nikah baik berasal dari warisan, hibah ataupun usaha mereka masing-masing;

      • Harta masing-masing suami isteri yang diperoleh / dimiliki sesudah ijab qabul pernikahan atau selama perkawinan, tetapi bukan diperoleh dari usaha-usaha bersama-sama. Misalnya memperoleh warisan, atau pemberian lainnya;

      • Harta yang diperoleh sewaktu dalam perkawinan atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka;

      • Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh kedua belah pihak. Misalnya harta pusaka dari kerabat, mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus dikembalikan kepada asalnya;

      • Harta warisan yang merupakan harta peninggalan yang dapat dibagi kepada ahli waris yang ialah harta keseluruhannya sesudah dipisahkan dari harta suami isteri dan harta pusaka, harta bawaan yang tidak boleh dimiliki, dikurangi hutang-hutang dan wasiat.

  • Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Pengertian lain ahli waris adalah sekumpulan orang-orang atau individu atau himpunan kerabat atau keluarga yang berhak menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang, misalnya :

    • Anak-anak beserta keturunan, baik laki-laki maupun perempuan;

    • Orang tua, ibu dan bapak beserta mawali / pengganti dari orang tua, bila tidak ada lagi orang tua;

    • Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan, dan suami isteri;

    • Kalau tidak ada 1 ( satu ) sampai dengan 3 ( tiga ) di atas, maka harta peninggalan diserahkan kepada Baith’al Mal ( baitul maal ).

Jadi yang menjadi rukun waris mewarisi ada 3 (tiga), yaitu harta peninggalan (mauruts), pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits), dan ahli waris (waarist).

Sumber-Sumber Kewarisan Islam

Dalam hukum waris, sumber tertinggi adalah Al-Qur’an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Semua pengaturan mengenai manusia dan alam semesta telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an yang disampaikan melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Manusia diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT untuk menafsirkan sebaik-baiknya segala ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Dalam menjalankan ibadah dan syariahnya, selain berpedoman kepada Al-Qur’an, umat Islam juga melihat kepada Sunnah Nabi Muhammad SAW, jika terdapat pengaturan yang tidak jelas dalam Al- Qur’an. Apabila di dalam Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak diatur dengan jelas mengenai sesuatu hal yang diperlukan, umat Islam dapat melihat pengaturannya pada ijtihad para sahabat Nabi atau para ulama ataupun para pimpinan Islam.

Ijtihad yaitu penafsiran terhadap sumber hukum Islam yang asli (Al-Qur’an dan Sunnah) yang kemudian melahirkan suatu hukum yang baru. Ijtihad dilakukan untuk menjawab suatu masalah yang belum jelas pengaturan hukumnya. Bagi umat muslim diberikan kemungkinannya untuk berijtihad dengan berusaha semaksimal kemampuannya serta menggunakan logika dan akal pikirannya untuk mengkaji dan menetapkan bagaimana hukumnya terhadap sesuatu yang belum jelas tadi.

Umat Islam juga dianjurkan untuk bermusyawarah dalam menghadapi persoalan dengan mengikuti petunjuk Allah SWT yang telah ada.

Al-Qur’an surat an-Nissa ayat 59 menyatakan bahwa,

Artinya : “Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya dan ulil amri diantaramu. Sekiranya ada perbedaan pendapat diantaramu tentang sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul), maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), sekiranya kau memang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Demikian itulah yang lebih baik dan lebih tepat penyelesaiannya (jalan keluarnya).

Hadist Rasulullah SAW yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jaban menyatakan bahwa :

Nabi SAW berkata kepada Mu’adz : “dengan apa kamu memutuskan hukum ?” Mu’adz menjawab “Dengan kitab Allah”. Nabi berkata : “ Jika kamu tidak dapati ?” Mu’adz menjawab : “saya berijtihad dengan pendapatku”. Maka berkatalah Nabi : “segala puji tentu bagi Allah, yang telah mentaufiq utusan pesuruh-Nya yang diridhoi oleh pesuruh-Nya”.

Demikianlah dasar hukum dalam Al-Qur’an dan Hadist untuk menggunakan akal pikiran (ra’yu). Syarat untuk melakukan ijtihad hanya terbatas dalam urusan keduniawian saja. Yang boleh ber ijtihad hanya orang-orang Islam yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam atas keseluruhan ajaran syari’at Islam.

Sumber utama hukum Islam termasuk di dalamnya hukum kewarisan Islam adalah Al-Qur’an. Ayat-ayat kewarisan dalam Islam adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang kewarisan dikemukakan dalam 2 ( dua ) tingkat, yaitu :

  • Ayat-ayat kewarisan dan hal-hal yang diatur di dalamnya;
  • Garis hukum dalam ayat-ayat kewarisan.

Mengenai ayat-ayat kewarisan dan hal-hal yang diatur didalamnya adalah sebagai berikut :

  • Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 7:

    Mengatur mengenai penegsan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris dan ditegaskan dengan sebutan yang sama, berupa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan dari apa yang ditinggalkan ibu bapaknya dan aqrabun .

  • Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 11:

    Mengatur tentang perolehan anak dengan 3 (tiga) garis hukum, perolehan ibu dan bapak dengan 3 (tiga) garis hukum dan soal wasiat dan hutang.

  • Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 12:

    Mengatur perolehan duda dan janda dengan 2 (dua) garis hukum, soal wasiat dan hutang dan perolehan saudara-saudara dalam hal kalalah dengan 2 (dua) garis hukum soal wasiat dan hutang.

  • Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 33:

    Mengatur mengenai mawali, seseorang yang mendapat harta peninggalan dari ibu bapaknya, dari aqrabunnya dan dari teman seperjanjiannya serta perintah agar pembagian bagian tersebut dilaksanakan.

  • Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 176:

    Menerangkan mengenai arti kalalah, dan mengatur mengenai perolehan saudara-saudara dalam hal kalalah .

Jadi, ayat-ayat tersebut di atas mengatur mengenai laki-laki dan perempuan berhak mewaris, serta ibu atau ayah, janda atau duda dengan bagian-bagian tertentu yang sudah diatur.

Sumber menurut As-Sunnah diantaranya adalah :

  • Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a. yang menyebutkan:

    “Rasulullah SAW bersabda : Bagikan harta warisan kepada ahli waris (ashabul furudh) sesuai dengan ketetapan Kitabullah, sedang sisanya kepada keluarga laki-laki yang terdekat (ashabah)”.

  • Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Usmah Bin Zaid r.a. yang menyebutkan :

    “Nabi SAW bersabda : orang Islam tidak menerima pusaka dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima pusaka dari orang Islam”.

Hadis pertama, menjelaskan bahwa harta warisan itu harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan ketetapan dalam Al-Qur’an. Hadis kedua tersebut menjelaskan bahwa antara orang yang menganut agama Islam dan penganut selain agama Islam adalah tidak saling mewarisi kepada yang bukan Islam demikian pula sebaliknya.

Demikianlah dasar hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis untuk menggunakan akal pikiran ( ra’yu ). Syarat untuk melakukan ijtihad hanya terbatas dalam urusan keduniawian saja. Yang boleh ber ijtihad hanya orang- orang Islam yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam atas keseluruhan ajaran syari’at Islam.

Berikut ini merupakan hasil dari ijtihad para ulama yaitu :

Ijma’

Ijma ’ adalah kesepakatan atau konsensus, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Islam suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syarak. Ijma’ merupakan salah satu dalil syarak dalam menetapkan hukum Islam, dan oleh jumhur ulama fikih dianggap sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.24 Jadi, Ijma ’ sebagai salah satu sumber syari’at yang dapat dibandingkan dengan doktrin atau konvensi, karena berisikan kesesuaian pendapat para mujtahid . Sedangkan dalam ilmu hukum dikenal dengan doktrin atau konvensi sebagai pendapat dari para ahli hukum yang ternama.

Qiyas

Menurut bahasa ( etimologi ), Qiyas berarti dari kata “ Qaasa ” yang artinya mengukur atau menimbang secara yuridis penganalogian (penalaran hukum dari suatu hal) yang sudah jelas hukumnya dalam Al- Qur’an atau Hadist. Jadi, Qiyas dapat dibandingkan dengan penafsiran analogis dalam pengetahuan hukum pada umumnya, yaitu ketentuan hukum tertentu dijadikan dasar atau pedoman untuk menentukan bagaimana hukumnya terhadap suatu hal atau masalah yang belum jelas hukumnya.

Qiyas diberlakukan terhadap hal-hal baru yang mempunyai unsur kesamaan dengan yang sudah jelas hukumnya.

Mengatur mengenai mawali, seseorang yang mendapat harta peninggalan dari ibu bapaknya, dari aqrabunnya dan dari teman seperjanjiannya serta perintah agar pembagian bagian tersebut dilaksanakan.

Referensi :

  • TM Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Hukum Islam , Pt. Bulan Bintang, Jakarta, 1994,
  • Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, 1987
  • Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2011.