Apa yang Dimaksud Etnopuitika dalam Linguisitk?


Untuk menganalisis sastra lisan ataupun sastra pentas, dalam linguistik bisa menggunakan kajian etnopuitika.

Apa yang dimaksud dengan etnopuitika?

Sebagai disiplin yang relatif muda usia, etnopuitika yang muncul pada awal dasawarsa 1970-an merupakan titik temu dari empat disiplin ilmu: linguistik, sastra (lisan), antropologi, dan folklor (Sherzer & Woodbury 1987: 2). Dengan demikian etnopuitika memiliki kelenturan atau fokus yang berbeda-beda, tergantung pada latar belakang keilmuan si peneliti. Karena saya berangkat dengan disiplin linguistik, maka etnopuitika dalam pembahasan ini bersifat sangat struktural. Dalam konteks ini, istilah “puitika” mengacu pada tradisi pemikiran kebahasaan Roman Jakobson (1960), sedangkan istilah-penjelas “etno-” merujuk pada tradisi pemikiran linguistik antropologi Edward Sapir (1921).

Dalam pandangan Jakobson (1896-1982), bahasa puitis (poetic language) adalah bahasa yang bentuknya diutamakan dan ditonjolkan untuk memberikan dampak estetis. Definisi yang berorientasi pada bentuk dan struktur bahasa ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, ia mencakup bukan saja puisi atau karya sastra pada umumnya, melainkan juga bahasa iklan, slogan politik, atau pamflet. Sebagai contoh, paralelisme bunyi pada Aku dan kau suka Dancow atau My doctor says Mylanta membuat kedua iklan ini masuk dalam kategori “bahasa puitis.” Kekurangannya, karena definisi tersebut terlalu mengutamakan bentuk dan struktur bahasa, makna puitis (yang ada dalam karya sastra serius) mungkin saja tak terungkapkan secara memuaskan.

Dalam kaitannya dengan puitika Jawa, teori puitika Jakobson lebih menguntungkan; teori ini sangat berguna untuk mengkaji struktur teks-teks sastra yang serius, semisal Wulangreh (karya Paku Buwana IV), Kalatidha (karya Ranggawarsita), atau Wedhatama (karya Mangkunagara IV). Pada saat yang sama, teori ini juga berguna untuk mengkaji struktur rima anak-anak–yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai childlore atau children verse. Jakobson sendiri telah membuktikan dengan menggunakan teorinya untuk mengkaji, antara lain, puisi-puisi Edgar Allan Poe, E. E. Cummings, dan Gerard Manley Hopkins (Jakobson 1960). Namun ia juga telah menerapkan teorinya untuk mengkaji struktur rima anak-anak dalam bahasa Rusia, Inggris, dan Perancis (Jakobson & Waugh 1987).

Bagaimana istilah “etno-” mengacu kepada Edward Sapir (1884-1939), bahasawan dan antropolog Amerika itu? Dalam linguistik antropologi, adagium yang terkenal adalah language is a mirror of the culture. Maksudnya, bahasa dan budaya saling terkait dan berbelit sedemikian erat sehingga nilai-nilai budaya sering tercermin pada struktur dan tingkah-laku bahasa. Dalam linguistik, pandangan ini sering disebut sebagai relativitas bahasa, yang nota bene berkaitan erat dengan relativitas budaya. Dalam alur pemikiran ini, yang lebih dikenal kemudian adalah Hipotesis Sapir-Whorf, yang menyatakan: cara kita memandang realitas sangat dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki (Sampson 1980: 81) Misalnya, sebuah “realitas” atau obyek yang sama dipandang secara berbeda oleh penutur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris: “padi,” “gabah,” “beras” dan “nasi” hanya memiliki satu padanan, yaitu “rice;” sebaliknya, “tanah” memiliki padanan “land,” “ground”, dan “soil.” Data semacam ini, dengan diperkaya oleh data-data kebahasan lain yang berorientasi pada perbedaan lintas-budaya, menjadi topik bahasan etnolingistik.

Penjelas “etno-” inilah yang mempertemukan antara etnolinguistik dan etnopuitika. Keduanya memiliki orientasi kultural, atau dengan kata lain banyak bersandar pada pengetahuan local (local knowledge). Artinya, peneliti bisa berdiri di luar obyek kajiannya dengan menggunakan perspektif etik; namun juga harus berani masuk ke dalam pandangan dan interpretasi lokal dengan menggunakan perspektif emik. Keluasan dan kedalaman hasil-hasil penelitian Becker (1995) terhadap fenomena bahasa dan budaya di Asia Tenggara, misalnya, adalah berkat ketekunan dan kesungguhannya mendalami pengetahuan lokal.

Selain melandaskan diri pada pengetahuan lokal, etnopuitika memiliki dua ciri utama lainnya. Pertama, menurut Dell Hymes (1981, 1992, 1996), etnopuitika menekankan pentingnya the universality of the lines, atau “kesemestaan pembaitan” terhadap narasi sastra-pentas ke dalam bentuk puisi. Sementara tesis Hymes ini cukup berhasil ketika digunakan untuk menerjemahkan dan mentranskripsikan narasi-narasi lisan dalam berbagai bahasa Indian-Amerika, tesis itu gagal ketika dihadapkan, misalnya, pada janturan (narasi puitis) dalam wayang kulit Jawa–yang kemungkinan besar juga memiliki kemiripan dengan wayang kulit Bali dan wayang golek Sunda. Nilai puitis janturan bukan terletak pada pembaitan teks, melainkan pada penggunaan kosakata kawi serta paralelisme sintaktis dan semantis. Maka, saya mengusulkan agar tesis Hymes tersebut diganti dengan the universality of poetic features, atau “kesemestaan ciri-ciri puitis” pada bahasa sastra-pentas. Pembaitan hanyalah salah satu ciri puitis dari bahasa sastra-pentas; tetapi ia tidak selalu ada di sana sehingga, dengan demikian, tidak bersifat universal.

Ciri kedua adalah the art of sounding the text, atau “seni melantunkan teks,” yang sangat diutamakan oleh Dennis Tedlok (1983). Untuk ‘memperdengarkan’ kepada pembaca bagaimana sebuah narasi atau epik dilantunkan oleh juru-ceritanya, Tedlock mengusulkan penggunaan sistem transkripsi yang lebih rinci. Misalnya, huruf besar untuk suara keras, garis panjang di belakang kata untuk bunyi vokal yang sangat panjang, tanda-titik pemisah larik untuk berhenti dua detik, dan beberapa tanda-baca lainnya. Berikut adalah sebagian transkripsi-terjemahan dari sebuah narasi berjudul “Talk”, yang aslinya dikisahkan dalam bahasa Zuni, sebuah bahasa Indian- Amerika.

Referensi

http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/005-Sketsa-Puitika-Jawa.dc1.pdf

Sementara istilah puitika berakar pada Aristoteles dan berasal dari masa lebih dari dua milenium yang lalu, istilah etnopuitika diperkenalkan ke dunia akademis baru beberapa dasawarsa yang lalu. Tepatnya etnopuitika diperkenalkan oleh Rothenberg pada tahun 1968 , melalui jurnal Alcheringa. Jurnal ini kemudian hanya terbit beberapa kali, dan kemudian lenyap dari percaturan dunia sastra dan linguistik. Demikian pula nama Rothenberg; ia tergeser oleh tokoh-tokoh yang lebih mapan di bidang etnopuitika, seperti diurutkan secara alfabetis Bauman, Briggs, Hymes, Sherzer, Tedlock, dan Woodbury. Tergesernya Rothenberg tersebut kemungkinan disebabkan oleh sikapnya yang terlalu nyentrik dan permisif. Dia nyentrik, karena kesenimanannya (atau kepenyairannya) lebih menonjol daripada sikapnya sebagai ilmuwan; dan dia permisif, karena membolehkan hampir apa saja memasuki bidang studi etnopuitika. Akibatnya, etnoputika ala Rothenberg menjadi kehilangan fokus dan arah yang jelas. Dalam perkembangan selanjutnya, ada dua ciri utama yang secara khas menandai etnopuitika. Pertama, etnopuitika memfokuskan diri pada pentas sastra atau verbal art performance.

Dalam hal ini etnoputika dapat dipandang sebagai puitika-pentas , yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti linguistik, antroplogi, sastra (lisan), dan folklore (Sherzer & Woodbury 1987:2). Kedua , etnoputika berusaha mempelajari makna pentas sastra serta implikasinya dengan lebih dahulu memahami pengetahuan lokal. Artinya, setiap kelompok budaya (a culture) atau komunitas penutur bahasa (a speech community) memiliki ciri-ciri lokal yang khas, yang tidak terdapat pada kelompok budaya atau komunitas penutur bahasa lainnya. Ciri-ciri khas tersebut harus dikenal secara baik oleh peneliti bila ia berharap untuk dapat memberikan deskripsi yang memadai (adequate description) terhadap penelitiannya di bidang etnopuitika. Singkatnya, etnopuitika adalah puitika-pentas yang bercirikan budaya lokal.

Sebagai contoh, Florida (1987) tidak sepenuhnya salah ketika secara agak arogan dia menulis makalah Reading the Unread of Javanese Literature . Kenyataannya memang orang Jawa moderen, lebih-lebih angkatan mudanya, banyak yang merasa berhadapan dengan bahasa asing ketika menghadapi naskah-naskah klasik, seperti Wulangreh, Kalatidha, Tripama, atau Wedhatama. Apalagi jika naskah-naskah tersebut masih seperti aslinya, tertulis dengan huruf Jawa. Artinya, yang sudah ditransliterasikan ke dalam aksara Latin ( Roman alphabet ) pun masih tetap terbaca atau terdengar seperti bahasa asing . Sementara itu bagi angkatan tua , yang masih mampu membaca karya-karya adiluhung tersebut, makna yang terdapat dalam naskah-naskah klasik itu sering kali tidak terpahami secara tuntas. Jadi, ada benarnya bahwa Javanese literature memang unread (by the Javanese). Pertanyaannya kemudian, tidak terbaca dalam arti bagaimana? Bila reading memang hanya diartikan sebagai reading comprehension dalam pengertian Barat, maka tesis Florida tersebut tidak meleset. Namun, pendapat yang Western-centric ini disanggah oleh Arps (1992). Bila orang Jawa menghadapi teks tembang atau sung-poetry, bisa terjadi dua hal. Pertama, ia dapat melakukan analytical reading, sebagaimana orang Barat melakukan reading comprehension. Atau, yang kedua, ia dapat melakukan poetic reading , dalam arti ia melagukan tembang tersebut terutama untuk dinikmati lagu atau bahkan misteri kandungan isinya daripada untuk dimengerti maknanya secara logis dan kritis.

Dari kritik Arps terhadap Florida tersebut, apakah yang dapat kita simpulkan? Pemahaman pengetahuan lokal atau local knowledge merupakan prasyarat yang tak dapat ditinggalkan oleh peneliti di bidang etnopuitika.Dan hasil penelitian Arps mengenai tembang Jawa, yang dibukukan menjadi Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature , adalah sebuah contoh unggulan untuk penelitian etnopuitika. Hasil penelitian Arps ini juga memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap etnopuitika. Yaitu, teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal tembang performance, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai macapatan, hampir dapat dipastikan bahwa teks selalu mendahului pentas . Perlu dicatat bahwa istilah teks di sini diartikan secara longgar, sebagai a stretch of verbal discourse. Jadi, teks bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis. Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis , maka definisi formalnya menjadi an orthographic (or phonetic) record of the stretch of verbal discourse .