Apa Yang Dimaksud Eksekusi Menurut Hukum?

image

Esensi terpenting dan aktual yang merupakan puncak dari perkara perdata adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dilakukan. Akan tetapi tak jarang dijumpai dalam praktik bahwa pihak yang harus menjalankan putusan hakim itu tidak secara sukarela memenuhi isi putusan sehingga akhirnya terhadap mereka ini harus dilakukan eksekusi.

Lalu bagaimana penjelasan dari istilah eksekusi itu sendiri menurut hukum?

Eksekusi berasal dari kata executie. Pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen). Menurut Prof. R. Subekti, S.H., perkataan eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum

Asas-asas eksekusi terdiri atas : [1]

  1. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

  2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

  3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir

  4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.[2] Biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah adalah pihak tergugat. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pada tahap eksekusi maka kedudukan tergugat berubah menjadi pihak tereksekusi.

Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan pengadilan. Dan salah satu amar putusan yang demikianlah yang harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Tidak mungkin amar putusan penghukuman seperti itu dijatuhkan kepada pihak penggugat. Eksekusi oleh karenanya merupakan tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.

Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Artinya, tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti, tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dijalankan.[3]

Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat berupa :[4]

  • Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan pemeriksaan ulang (banding) atau kasasi [5] karena telah diterima oleh kedua belah pihak

  • Putusan pengadilan tingkat banding yang telah tidak dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung

  • Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung

  • Putusan verstek (Diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR) dari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan upaya hukumnya

    Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan. Upaya hukum terhadap putusan verstek ini adalah perlawanan (verzet)

  • Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara

Putusan yang dapat dieksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara.[6] Akibat wujud hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan hukum tersebut harus ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum.[7] Pada prinsipnya, selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan. Dengan kata lain, selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, eksekusi belum berfungsi.

Terhadap asas ini maka terdapat beberapa pengecualian yaitu :

  • Pelaksanaan Putusan yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu
    Bentuk pelaksanaan putusan lebih dulu atau uitvoerbaar bij voorraad merupakan salah satu pengeculian terhadap asas menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap. Pasal 180 ayat (1) HIR memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.

    Pasal 180 ayat (1) berbunyi : Pengadilan negeri boleh memerinthakan supaya keputusan dijalanakn dahulu, walaupun keputusan itu dibantah atau diminta banding, jika ada surat yang sah, satu surat tulisan, yang menurut peraturan yang berlaku untuk itu berkekuatan bukti, atau jika ada hukuman dahulu, dengan keputusan, yang sudah mendapat kekuatan pasti, demikian juga jikalau tuntutan sementara dikabulkan, tambahan pula dalam perselisihan hak milik

    Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan jelas tidak bersifat imperatif. Syarat-syarat itu berupa:[8]

    • Adanya akta otentik atau tulisan tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti
    • Ada putusan lain yang sudah ada dan sudah mempunyai kekuatan hukum pasti
    • Ada gugatan provisi yang dikabulkan
    • Sengketa ada sekarang mengenai bezitsrecht
  • Pelaksanaan Putusan Provisi
    Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan sekalipun perkara pokoknya belum diputus

  • Akta Perdamaian
    Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR. Akta perdamaian yang dibuat di persidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sejak tanggal lahirnya akta perdamaian, telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia bukan merupakan putusan yang memutus sengketa.

    Pasal 130 HIR berbunyi :
    (1) Jikalau pada hari pemeriksaan yang tertentu, kedua belah pihak menghadap, hendaklah pengadilan negeri, dengan pembicaraan ketua, mencoba memperdamaikan mereka.

    (2) Apabila perdamaian sedemikian terjadi, hendaklah tentang hal itu pada waktu persidangan itu, diperbuat sebuah surat akte, yang dengannya, kedua belah pihak dihukum memenuhi perjanjian yang diperbuat itu: surat akte itu akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan yang biasa

    (3)Tentang keputusan sedemikian tidak diluluskan banding

    (4) Jikalau dalam percobaan perdamaian kedua belah pihak itu, diperlukan perantaraan seorang juru bahasa, hendaklah dalam hal itu diturut peraturan pasal yang berikut

  • Esekusi terhadap Grosse Akta
    Grosse Akta ini sesuai dengan Pasal 224 HIR. Eksekusi grosse akta merupakan eksekusi yang dijalankan untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.

Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela

Ada 2 cara menjalankan isi putusan : [9]

  • Dengan jalan sukarela

  • Dengan jalan eksekusi

Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.[10] Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan secara eksekusi.

Dalam hal menjalankan putusan secara sukarela, pihak yang kalah memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Pihak yang kalah, tanpa paksaan dari pihak mana pun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Dengan sukarela pihak yang kalah memenuhi secara sempurna segala kewajiban dan beban hukum yang tercantum dalam amar putusan. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela memenuhi ketentuan putusan kepada pihak penggugat, berarti ketentuan putusan telah selesai dijalankan. Dengan dilaksanakannya ketentuan putusan oleh tergugat, maka tindakan paksa tidak dapat lagi diberlakukan kepada tergugat.

Eksekusi timbul dalam suatu perkara, apabila pihak tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Keengganan tergugat menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi. Jika pihak tergugat bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela, tindakan eksekusi tidak diperlukan.

Putusan Yang Dapat Dieksekusi Bersifat Condemnatoir

Berdasarkan sifatnya, putusan pengadilan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu : [11]

  • Putusan declaratoir. Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum saja. Misalnya, bahwa A adalah anak angkat yang sah dari X dan Y, atau bahwa A, B dan C adalah ahli waris dari almarhum Z.

  • Putusan Constitutif. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Contohnya, adalah putusan perceraian, atau putusan yang menyatakan seorang jatuh pailit.

  • Putusan Condemnatoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi ketentuan penghukuman. Misalnya, di mana pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan rumahnya kepada penggugat.

Hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang bisa dijalankan eksekusi yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Putusan yang bersifat constitutif dan declaratoir tidak memerlukan pelaksanaan/tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak dan upaya paksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak yang kalah untuk melaksanakannya.[12]

Pada asasnya, setiap putusan yang bersifat condemnatoir, dengan sendirinya melekat kekuatan hukum eksekutorial.[13] Oleh karena itu pada putusan yang bersifat condemnatoir, putusan tersebut dapat dieksekusi apabila tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.

Eksekusi Atas Perintah dan Di Bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1). Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri disini dapat diartikan menjadi 2 (dua) yaitu Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut diputus dan Ketua Pengadilan Negeri dimana Pengadilan Negeri tersebut dimintakan bantuan untuk mengeksekusi putusan tersebut.

Pasal 195 ayat (1) :
Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam Pasal-Pasal berikut ini

Yang harus diperhatikan dalam asas ini adalah :

  • Penentuan pengadilan negeri mana yang berwenang menjalankan eksekusi putusan

  • Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri

  • Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Penentuan pengadilan negeri mana yang berwenang menjalankan eksekusi putusan

Untuk menjaga tegaknya kepastian hukum, undang-undang telah menentukan kewenangan menjalankan putusan terhadap suatu putusan pengadilan. Pedoman menentukan kewenangan menurut Pasal tersebut didasarkan atas faktor:

  • Di Pengadilan Negeri mana perkara (gugatan) diajukan

  • Di Pengadilan Negeri mana perkara diperiksa dan diputus pada tingkat pertama

Dari pedoman menentukan kewenangan menjalankan putusan atau eksekusi, tidak perlu dipermasalahkan pemeriksaan banding atau kasasi. Sekalipun misalnya suatu perkara melalui taraf pemeriksaan banding atau kasasi, hal itu tidak ikut menjadi faktor dalam menentukan kewenangan eksekusi.[14]

Satu-satunya faktor penentu kewenangan eksekusi semata-mata didasarkan pada pengajuan dan penjatuhan putusan pada tingkat pertama. Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus suatu perkara dalam tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menjalankan eksekusi atas putusan yang bersangkutan, tanpa mengurangi hak dan wewenangnya untuk melimpahkan delegasi eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lain, apabila objek yang hendak dieksekusi terletak di luar daerah hukumnya. Hal ini Diatur dalam Pasal 195 ayat (2) yang berbunyi :

Jikalau hal itu harus dilakukan, sama sekali atau sebagaiannya, diluar daerah hukum pengadilan negeri yang disebut di atas, maka ketuanya meminta perantaraan dengan surat kepada ketua pengadilan Bumiputera yang bersangkutan, demikian juga di luar tanah Jawa dan Madura.

Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri

Sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan Negeri. Tidak menjadi soal apakah putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung, eksekusinya tetap berada di bawah kewenangan Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama.

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dapat memberi petunjuk dan pengarahan kepada Pengadilan Negeri dalam suatu eksekusi, baik hal itu diminta atau tidak. Sepanjang tidak terdapat penyimpangan dari ketentuan dan tata cara eksekusi yang ditetapkan undang-undang, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah agung tidak dapat mencampuri eksekusi.

Adalah wajar Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung mencampuri eksekusi yang menyimpang. Hal ini sesuai dengan hierarki kelembagaan yang menempatkan peradilan yang lebih tinggi mengawasi dan mengoreksi tindakan yang keliru dari peradilan yang lebih rendah. Sekiranya tidak diberikan kewenangan kepada peradilan yang lebih tinggi mengawasi dan meluruskan tindakan eksekusi yang keliru dan menyimpang, mungkin bisa mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Pengadilan Negeri.

Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR. Disebutkan bahwa eksekusi putusan pengadilan dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri (op last en onder leiding van den voorzitter van den landraad).

Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang :

  • Memerintahkan eksekusi

  • Memimpin jalannya eksekusi

Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex officio. Atas dasar kewenangan tersebut, Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi berbentuk surat penetapan (beschikking) setelah adanya permintaan dari pihak yang menang. Kemudian yang menjalankan eksekusi tersebut adalah Panitera atau Juru Sita Pengadilan Negeri.

Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang dituangkan dalam bentuk Surat Penetapan. Surat Penetapan merupakan landasan yuridis tindakan eksekusi yang dilakukan panitera atau juru sita. Tanpa Surat Penetapan, syarat formal eksekusi belum memadai.

Berdasarkan Pasal 197 HIR ayat (1), perintah eksekusi harus dengan Surat Penetapan, tidak diperkenankan perintah eksekusi secara lisan. Bentuk penetapan perintah eksekusi secara tertulis tersebut, bertujuan untuk penegakan dan kepastian hukum serta pertanggung jawaban yang jelas. Karena dengan adanya perintah eksekusi yang berbentuk surat penetapan, panitera atau juru sita sudah mengetahui secara rinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankannya. Demikian juga Ketua Pengadilan Negeri dengan mudah dapat mengawasi apakah tindakan eksekusi yang dijalankan panitera atau juru sita sesuai dengan isi perintah yang dikeluarkannya dalam surat penetapan.

Pasal 197 HIR berbunyi :

(1) Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu

Walaupun Ketua Pengadilan Negeri telah melimpahkan perintah eksekusi kepada panitera atau juru sita, dan secara nyata panitera atau juru sita yang melaksanakan operasional eksekusi, hal itu sama sekali tidak menghilangkan dan mengakibatkan lepasnya tanggung jawab Ketua Pengadilan Negeri atas eksekusi yang bersangkutan. Secara formal dan materil, Ketua Pengadilan Negerilah yang bertanggung jawab atas eksekusi.

Jenis-jenis Eksekusi

Terhadap pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dalam perkara perdata menurut praktik peradilan dikenal adanya 3 (tiga) macam eksekusi, yaitu : [15]

  • Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang

  • Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan

Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk pengosongan barang tidak bergerak (eksekusi riil)

1. Eksekusi Putusan Hakim Menghukum Seseorang Untuk Membayar Sejumlah Uang

Eksekusi putusan ini diatur dalam ketentuan Pasal 197 HIR. Eksekusi ini dilaksanakan melalui penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi.

Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR, maka barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita eksekusi (executorial beslag) terlebih dahulu sebelum penjualan lelang dilakukan. Proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak. Jikalau barang-barang bergerak tidak ada atau tidak mencukupi barulah dilakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak (barang tetap).

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan di mana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang. Jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial sesudah adanya putusan akhir. Jika tergugat tidak melaksanakan ketentuan putusan maka eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang milik orang yang dikalahkan sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah dengan semua biaya sehubungan pelaksanaan putusan tersebut.

Sita jaminan diatur dalam Pasal 227 ayat (1) yang berbunyi :

Jika ada sangkaan yang beralasan bahwa seorang yang berutang sebleum dijatuhkan keputusan kepadanya, atau sedang keputusan yang dijatuhkan kepadanya, belum dapat dijalankan, berusaha akan menggelapkan atau mengangkut barangnya, baik yang tidak tetap, baik yang tetap, dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih utang, maka ketua, atas surat permintaan yang dimasukkan untuk itu, oleh orang yang berkepentingan, dapat memberi perintah supaya barang itu disita dan akan menjaga hak orang yang meminta itu dan kepadanya hendaklah diberitahukan, bahwa ia akan menghadap persidangan pertama yang akan datang dari pengadilan negeri untuk memajukan tuntutannya dan meneguhkannya

Sita jaminan merupakan suatu upaya hukum untuk melepaskan hak kepemilikan atas barang yang dikuasai oleh Tergugat untuk sementara guna menjamin pemenuhan pelaksanaan keputusan di kemudian hari. Apabila kita melihat pada Pasal 227 ayat (1) HIR maka syarat untuk permohonan sita jaminan adalah bahwa ada persangkaan yang cukup, si tergugat akan menggelapkan barang tersebut dengan maksud menjauhkan barang itu dari kepentingan penggugat.

2. Eksekusi Putusan Hakim Menghukum Seseorang Untuk Melakukan Suatu Perbuatan

Eksekusi jenis ini diatur dalam Pasal 225 HIR yaitu apabila seseorang dihukum melakukan suatu perbuatan akan tetapi tidak melakukan perbuatan tersebut dalam waktu yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya dilakukan oleh pihak yang kalah perkara dinilai dengan sejumlah uang.

Ketentuan Pasal 225 HIR berbunyi :

(1) Jika seseorang, yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukannya di dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang dalam keputusan dapat memohonkan kepada pengadilan negeri dengan perantara ketua, baik dengan surat, maupun dengan lisan, supaya kepentingan yang akan didapatnya, jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan uang tunai, jumlah mana harus diberitahukan dengan tentu : jika permintaan itu dilakukan dengan lisan harus dicatat.

(2) Ketua mengemukakan perkara itu dalam persidangan Pengadilan Negeri, sesudah diperiksa atau dipanggil orang yang berutang itu dengan patut, maka sebagaimana menurut pendapat Pengadilan Negeri, permintaan itu ditolak atau dinilai harga perbuatan yang dperintahkan, tetapi yang tiada dilakukan itu, sebesar jumlah yang dikehendaki oleh si perminta atau sebesar jumlah yang kurang daripada itu, dalam hal itu jumlah itu ditetapkan maka orang yang berutang itu dihukum akan membayar jumlah itu

Menurut Pasal 225 HIR, yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat dalam sejumlah uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti atas pekerjaan yang ia harus lakukan berdasarkan keputusan hakim. Yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Terhadap putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan sesuatu, biasanya juga diminta agar tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang tertentu untuk setiap hari keterlambatan tergugat melakukan perbuatan tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan istilah uang paksa atau dwangsom[16]. Diharapkan dengan adanya uang paksa tersebut, pihak yang kalah diharapkan tidak berani melalaikan kewajibannya sehingga dapat segera mungkin melakukan perbuatan yang harus dilakukannya tersebut.

Uang paksa atau dwangsom hanya dapat dibebankan dalam eksekusi riil.

3. Eksekusi Putusan Hakim Menghukum Seseorang Untuk Mengosongkan Barang Tidak Bergerak (eksekusi riil)

Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata dan langsung melaksanakan apa yang dihukumkan dalam amar putusan. [17] Ketentuan mengenai eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR tetapi dalam terdapat dalam Pasal 1033 Rv.

Pasal 1033 Rv berbunyi :

“Jikalau putusan pengadilan yang memerintahkan pengosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada Juru Sita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara, barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya.”

Catatan : Pada dasarnya Rv. Merupakan reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum cara perdata yang berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan untuk berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Menurut pendapat Prof. Dr. R Supomo, S.H. oleh karena telah dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof maka Rv. sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku. Akan tetapi dalam praktik peradilan dewasa ini eksistensi ketentuan dalam Rv. oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta Mahkamah Agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1033 Rv bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah. Hal itu karena dalam hal sebuah rumah disita dan diatasnya telah diletakkan perjanjian sewa menyewa sebelum rumah itu disita maka pihak penyewa dilindungi oleh asas koop breekt geen huur yakni asas jual beli tidak menghapuskan hubungan sewa menyewa rumah. Hal ini sesuai dengan Pasal 1576 KUHPer yang berbunyi:

“Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Jika ada suatu perjanjian yang demikian, si penyewa tidak berhak menuntut suatu ganti rugi apabila tidak suatu janji yang tegas, tetapi jika ada suatu janji seperti tersebut belakangan ini, ia tidak diwajibkan mengosongkan barang yang disewa, selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.”

Tahap-tahap Eksekusi

Secara garis besar, tahap-tahap eksekusi adalah sebagai berikut :

1. Adanya Permohonan Eksekusi

Setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka pada prinsipnya pemenuhan amar putusan tersebut harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah secara sukarela. Eksekusi baru dapat dijalankan apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putusan dengan sukarela. Dalam hal ini apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (Pasal 196 HIR). Permohonan eksekusi tersebut dimaksudkan agar Ketua Pengadilan Negeri memperingatkan pihak yang kalah untuk segera melaksanakan putusan tersebut secara sukarela

Pasal 196 berbunyi :

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama- lamanya delapan hari.

2. Aanmaning

Permohonan eksekusi merupakan dasar bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan peringatan atau aanmaning. Aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara berupa “teguran” kepada Tergugat (yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan memberikan jangka waktu kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna diberikan peringatan. Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya mengenai pelaksanaan putusan tentang sengketa itu [18]. Setiap teguran dilakukan dengan membuat berita acara, maksudnya agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peneguran telah dilakukan).

Pemanggilan harus memenuhi syarat sah yang ditentukan oleh Undang- undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/lurah setempat apabila yang bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai dua kali atau langsung dilanjutkan proses eksekusinya.

3. Permohonan Sita Eksekusi

Setelah aanmaning dilakukan, ternyata pihak yang kalah tidak juga melakukan amar dari putusan maka pengadilan melakukan sita eksekusi terhadap harta pihak yang kalah berdasarkan permohonan dari pihak yang menang. Permohonan tersebut menjadi dasar bagi Pengadilan untuk mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita (Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 197 (2) HIR yang menyebutkan penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.) untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 197 HIR. Penetapan sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning.

Secara garis besar ada 2 macam cara peletakan sita yaitu Sita Jaminan dan Sita Eksekusi.

  • Sita jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Sita jaminan dibagi menjadi 2 yaitu sita conservatoir (conservatoir beslag) dan sita revindicator (revindicator beslag). Sita conservatoir yaitu sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat baik yang bergerak atau yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan kata lain bahwa barang-barang tersebut tidak dapat dialihkan, diperjual belikan atau dengan jalan lain dipindahtangankan kepada orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan sita revindicator yaitu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada dalam penguasaan tergugat juga dapat diletakkan sita jaminan.

  • Sita Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ada dua macam sita eksekusi, yaitu sita eksekusi langsung dan sita eksekusi tidak langsung. Sita eksekusi langsung merupakan sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau termohon eksekusi. Sita eksekusi tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

Letak perbedaan yang paling pokok antara sita jaminan dan sita eksekusi adalah pada tahap proses pemeriksaan perkara. Pada sita jaminan, tindakan paksa perampasan hak untuk ditetapkan sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara, sedangkan pada sita eksekusi, penyitaan yang bertujuan menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada penggugat dilakukan pada tahap proses perkara yang bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPer, disebutkan bahwa seluruh harta kekayaan seorang debitur menjadi jaminan sepenuhnya untuk pelunasan pembayaran utangnya kepada pihak kreditor.

Pasal 1131 berbunyi :

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan

Akan tetapi Dalam sita eksekusi harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  • Mendahulukan penyitaan barang bergerak [19]
    Menurut ketentuan ini, sita eksekusi pada prinsipnya tidak boleh langsung diletakkan atas barang yang tidak bergerak. Dalam penjelasan Pasal 197 yang dimaksud dengan barang-barang tidak tetap atau barang-barang terangkat (roerendegoederen) yaitu barang-barang yang dapat diangkat seperti perabotan rumah tangga, kendaraan, perhiasan Sita eksekusi baru diperkenankan menjangkau barang yang tidak bergerak, sepanjang harta bergerak tidak lagi mencukupi nilai jumlah yang harus dilunasi. Dalam penjelasan Pasal 197 yang dimaksud dengan barang-barang tetap atau barang- barang tidak terangkat (onroerende goederen) yaitu barang-barang yang tidak dapat diangkat, seperti rumah, kebun

  • Jenis-jenis barang bergerak yang dapat disita eksekusi
    Menurut Pasal 197 ayat (8) HIR maka sita eksekusi terhadap barang bergerak sama dengan sita jaminan yaitu meliputi segala jenis barang berupa uang tunai, surat berharga dan barang yang berada di tangan pihak ketiga. Pasal 197 ayat (8) berbunyi :

    (8) Penyitaan barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, termasuk juga dalam bilangan itu uang tunai dan surat-surat yang berharga uang dapat juga dilakukan atas barang berwujud, yang ada di tangan orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan menjalankan pencaharian orang yang terhukum itu

  • Yang dilarang disita eksekusi
    Yang dilarang disita eksekusi terdiri atas dua jenis hewan dan perkakas. Larangan sita eksekusi atas kedua jenis barang tersebut terbatas pada persyaratan tertentu, yakni hewan dan perkakas yang bersangkutan benar- benar dipergunakan tergugat sebagai alat (sarana) menjalankan mata pencaharian.

4. Penetapan Eksekusi

Setelah adanya permohonan sita eksekusi maka proses selanjutnya adalah dikeluarkannya Penetapan Eksekusi. Penetapan eksekusi berisi perintah Ketua Pengadilan Negeri kepada Panitera atau Juru Sita untuk menjalankan eksekusi. Di dalam penetapan eksekusi tersebut maka dicantumkan dengan jelas nama dari Panitera atau Juru Sita yang diberi perintah untuk melakukan eksekusi. Dalam pelaksanaannya, Panitera atau Juru Sita dibantu oleh 2 (dua) orang. 2 (dua) orang tersebut juga berkedudukan sebagai saksi. Syarat penunjukan saksi sesuai dengan Pasal 197 ayat (7) yaitu telah berusia 21 tahun, penduduk Indonesia dan memiliki sifat jujur atau dapat dipercaya. Pada umumnya saksi biasanya berasal dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Penetapan eksekusi merupakan dasar bagi Panitera atau Juru Sita untuk melakukan eksekusi. Tanpa adanya penetapan eksekusi maka Panitera atau Juru Sita tidak dapat melakukan eksekusi. Dalam melaksanakan eksekusi tersebut maka harus dibuat Berita Acara Eksekusi.

Hal yang harus dicantumkan dalam Berita Acara Eksekusi adalah

  • Memuat nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua orang saksi

  • Merinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan

  • Ditandatangani Pejabat Pelaksana dan kedua orang saksi

5. Lelang

Setelah Pengadilan mengeluarkan Penetapan Eksekusi berikut Berita Acara Eksekusi maka tahap selanjutnya adalah lelang. Lelang diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR.

Pasal 200 ayat (1) HIR berbunyi :

Penjualan barang yang disita berlaku dengan perantaraan kantor lelang, atau menurut keadaan, yang ditimbang oleh ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu, atau oleh orang lain yang cakap dan boleh dipercayai, yang ditunjuk oleh ketua untuk itu, dan yang berdiam di tempat di mana penjualan harus berlaku atau pada tempat yang berdekatan

Lelang merupakan penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah disita eksekusi atau dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik termohon yang dilakuakn di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dan cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran). Tujuan lelang tersebut adalah untuk pemenuhan kewajiban si tergugat. Penggunaan Kantor Lelang dimaksudkan agar harga yang didapat tidak merugikan si tergugat dan sesuai dengan harga yang sewajarnya di pasaran. Hasil lelang tersebut digunakan untuk membayar kewajiban yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.

Tahap-tahap Eksekusi Riil

Berikut adalah penjelasan tahap-tahap eksekusi riil yang merujuk pada Wildan Suyuthi [20]. Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata dan langsung melaksanakan apa yang dihukumkan dalam amar putusan. Dalam eksekusi riil maka tahap-tahapnya sederhana dan mudah. Sebagai contoh mengenai pengosongan suatu rumah. Apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan. Ketua Pengadilan kemudian melakukan aanmaning. Apabila setelah diperingati, pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan secara sukarela maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah pengosongan (eksekusi). Perintah eksekusi tersebut diberikan kepada Panitera atau Juru Sita. Tahap selanjutnya adalah penentuan tanggal eksekusi dan pemberitahuan kepada pihak yang kalah. Pada hari dan tanggal yang ditentukan maka Panitera atau Juru Sita akan melakukan eksekusi

Tahap-tahap Eksekusi Putusan Hakim Melakukan Pembayaran Sejumlah Uang

Apabila seseorang enggan untuk sukarela memenuhi isi putusan maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan kemudian melakukan aanmaning atau memperingatkan pihak yang kalah agar segera melaksanakan putusan secara sukarela. Apabila setelah diperingatkan, pihak yang kalah tidak juga melaksanakan putusan tersebut maka atas dasar permohonan eksekusi, Pengadilan akan menetapkan sita eksekusi. Jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekusi. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang milik orang yang dikalahkan sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan Hakim dan ditambah dengan semua biaya sehubungan pelaksanaan putusan tersebut. Jika sebelumnya belum pernah dilakukan sita jaminan maka eksekusi dilakukan dengan menyita barang bergerak pihak yang kalah dan apabila belum cukup untuk memenuhi amar putusan maka penyitaan juga dilakukan terhadap barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan. Terhadap barang yang disita tersebut, dilakukan pelelangan melalui perantaraan kantor lelang.

Hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan dalam putusan

Tahap-tahap Eksekusi Putusan Hakim Menghukum Seseorang Untuk Melakukan Suatu Perbuatan

Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR. Dalam Eksekusi ini maka seseorang dihukum untuk melakukan sesuatu. Pelaksanaan eksekusi ini tidak dapat dilaksanakan dengan paksa. Tidak dapat seseorang kemudian ditahan karena tidak melaksanakan putusan pengadilan. Oleh karena itu maka yang dapat dilakukan adalah menilai denga uang harga dari perbuatan yang dihukumkan kepada pihak yang kalah tersebut.

Sebagai contoh sesesorang dihukum untuk memperbaiki pagar seseorang. Pihak yang menang tidak boleh memaksa pihak yang kalah untuk segera memperbaiki pagar tersebut. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah meminta Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai dengan uang perbuatan memperbaiki pagar tersebut.

Referensi :

[1] Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.
Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hal. 6 – 28
[2] Ibid., hal. 6.
[3] Ibid., hal. 7
[4] Suyuthi, Wildan. Sita Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan. Jakarta: PT Tatanusa, 2004, hal. 61.
[5] R. Subekti, Hukum Acara Perdata,cet.3, (Bandung: Bina Cipta, 1989), hal. 161.
[5] R. Subekti, op. cit., hal. 8.
[7] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 7.
[8] Sri Laksmi Anindita, “Eksekusi Grosse Acte Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri (Study Kasus Di Bank Danamon).” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1998), hal. 47.
[9] M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 11.
[10] Ibid.
[11] Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hal. 109.
[12] Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1, (Jakarta: PT Rineka Raya, 2004), hal. 130.
[13] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 16.
[14] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 19.
[15] Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 276-279.
[16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 135.
[17] M. Yahya Harahap. op. cit., hal. 40.
[18] Sri Laksmi Anindita, op. cit., hal. 57.
[19] R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1985), hal. 145.
[20] Wildan Suyuthi, op. cit., hal. 71 - 76