Apa yang dimaksud dengan Yaumul hisab ?

Yaumul hisab (hari perhitungan amal) merupakan hari dimana Allah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya tentang amal perbuatan mereka selama di dunia, baik itu amal baik maupun amal buruk.

Apa yang dimaksud dengan Yaumul hisab ?

Yaumul Hisab adalah hari perhitungan semua amal perbuatan baik maupun buruk manusia selama hidup di dunia. Sekalipun sebesar zarrah amalan manusia tidak akan lepas dari perhitungan Allah swt, Pada hari itu, manusia tidak akan bisa mengelak dan berbohong dari segala amal perbuatannya karena semua anggota badan akan menjadi saksi atas segala perbuatannya. Sekalipun manusia telah lupa, tetapi Allah swt. Maha Mengetahui atas segala amal perbuatan manusia sebagaimana firman-Nya.

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah swt. semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS Al Mujadilah: 6)

Allah swt. juga berfirman sebagai berikut.

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Kondisi manusia pada hari itu tergantung pada aural perbuatannya selama di dunia. Bagi mereka yang selama di dunia terbiasa melakukan amal kebajikan dan ibadah, mereka akan merasakan bahwa perhitungan itu amat mudah dan cepat.

Sebaliknya, bagi mereka yang terbiasa berbuat maksiat, menipu, korupsi, memakan harta anak yatim, tidak mendirikan salat, puasa, zakat, dan amal-amal lainnya, mereka akan diliputi kekecewaan dan penyesalan yang tiada tara. Hal itu dinyatakan Allah dalam Al Quran sebagai berikut.

“Adapun orang yang diberikan kitab di sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah." (QS Al Insyiqaq: 7-8)

“Adapun orang yang diberi kitab di sebelah kirinya, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepada kitab-Ku (ini).” (QS Al Haqqah: 25)

Memahami pengertian hisab


Salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap muslim ialah beriman kepada hari Akhir dan kejadian yang berlangsung pada hari itu.

Sudah semestinya setiap muslim mengetahui peristiwa dan tahapan yang akan dilalui manusia pada hari tersebut, di antaranya yaitu terkait hisab (perhitungan).

Beriman pada hari kembalinya manusia kepada Allah perlu diwujudkan dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amalan yang akan dihisab termasuk segala yang dikerjakan di dunia tanpa terkecuali.

Sesungguhnya Allah SWT akan menghisab seluruh makhluk, lalu menetapkan dosa-dosanya. Kepastian adanya hisab ini telah dijelaskan di dalam al Qur`an dan Al-hadist, salah satunya yang berbunyi,

“Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya” (al Mu’min 40 : 17).

Adapun hisab menurut istilah aqidah memiliki dua pengertian. Pertama yaitu Al ‘Aradh, merupakan penampakan dosa dan pengakuan.

Kedua yaitu Munaqasyah, istilah diperiksa secara sungguh-sungguh, dan inilah yang dinamakan hisab atau perhitungan antara perbuatan kebaikan dan keburukan.

Seluruh amalan di dunia akan dihisab


Perlakuan hisab ini dilakukan dalam satu waktu, dan Allah SWT sendiri yang akan melakukannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran berbunyi,

“dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan menyaksikan orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?’ dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan (tertulis) semua. Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun.” (al-Kahfi 18 : 49).

Seperti yang kita ketahui, bahwa kelengkapan rukun Iman harus dilakukan semua manusia. Amalan tersebut seluruhnya akan dihisab, berikut segala penerapannya di muka bumi selama hidup. Tidak akan ada yang terlewati sedikit pun. Hal ini juga ditekankan dalam Surah al-Zalzalah ayat 7-8,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.”

Amalan yang akan dihisab pertama kali pada seorang hamba dari perkara ibadah di hari akhir kelak adalah shalat. Amalan seseorang bisa dinilai baik buruknya dinilai dari shalatnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, ia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, ia pun akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah akan mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya pun berbunyi, ”Kemudian zakat pun akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi).

Allah sangat menyayangi para hamba, di mana Dia menyempurnakan amalan wajib yang dilakukan hamba tersebut dengan amalan sunnah sebagai penutup kekurangannya.

Umumnya amalan wajib akan terus disempurnakan dengan amalan sunnah hingga bertambahlah kebaikan, hingga mengalahkan kejelekan untuk kemudian masuk surga dengan rahmat Allah.

Maka, hendaklah kita perlu memperbanyak dan menjaga amalan sunnah pula, tak hanya mementingkan yang wajib saja. Tapi jangan sampai karena terlalu mengutamakan amalan sunnah, amalan wajib jadi terbengkalai.

Bersiaplah menghadapi hari perhitungan dengan mempersiapkan bekal ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita untuk senantiasa memperbanyak bekal untuk menghadap kepada-Nya dan mendapat keridhaan-Nya. Aaamiiin.

Yaumul hisab atau biasa disebut juga sebagai hari perhitungan amal, merupakan saat dimana amal manusia yang dikerjakan di dunia, baik amal baik maupun amal buruk. Setelah dimulai perhitungan amal (hisab), bumi, dimana manusia tinggal, memberikan kesaksian dengan apa yang terjadi diatasnya. Firman Allah swt., QS. al-Zalzalah [99]: 1-8. Sebagaimana bumi menceritakan berita-beritanya, begitupula lisan, tangan, kaki dan kulit juga memberikan kesaksiannya. Dengan demikian hujjah Allah swt., atas nama menjadi sempurna.

Hisab atau timbangan ini dilaksanakan oleh Allah swt., secara langsung dan timbangan amal itu sangat cepat sekali berlangsung, akan tetapi, bagi orang kufr atau orang mukmin yang banyak dosa, hitungan itu terasa lama sekali. Tergantung amal perbuatannya selama hidupnya didunia. Jika selama hidupnya senantiasa taat kepada perintah Allah swt., ia hanya merasa sebentar sedangkan selama hidupnya selalu berkubang dalam kemaksiatan maka ia akan merasa sangat lama sekali.

Keadilan Allah swt., terlihat pada saat perhitungan dan penimbangan amal di hari akhirat ini. Pada saat ini semua manusia akan terlihat sesuai dengan amal mereka ketika hidup di dunia. Yang baik terlihat berbeda dengan yang jelek, yang muslim berbeda dengan yang kafir, yang berbakti berbeda dengan yang durhaka, dan seterusnya. Terkait dengan ini Allah swt., berfirman:

“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan memperlakukkan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 21-22).

Perhitungan amal manusia berkisar pada isi buku catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia pada saat pemutusan amal dan akan dibaca oleh setiap manusia yang menerimanya, meskipun dulunya (ketika di dunia) tidak bisa membaca. Saat menerima buku catatan ini, manusia juga berbeda-beda, ada yang menerimanya dari sebelah kanannya, ada yang dari sebelah kirinya, dan ada pula yang dari belakangnya.

Allah swt., berfirman:

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku.” Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. al-Insyiqâq [84]: 7-12).

Penjelasan yang lebih rinci tentang hal itu ditegaskan Allah swt., dalam QS. al-Hâqqah [69]: 19-37. Dalam ayat-ayat itu dijelaskan perbedaan yang jelas antara orang yang menerima buku catatannya dari sebelah kiri dengan yang menerimanya dari sebelah kanan. Dalam perhitungan amal itu dibentangkan timbangan yang sangat adil. Semua manusia maju satu persatu untuk dilakukan perhitungan dan penimbangan amalnya. Ada manusia yang melaluinya dengan mudah dan ada yang melaluinya dengan sulit, tergantung amalnya masing-masing. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bukan mulut yang menjawabnya, tetapi anggota tubuh yang menjawabnya. Allah swt., berfirman:

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yâsîn [36]: 65).

Semua manusia akan melihat amalnya langsung, baik amal yang baik maupun amal yang buruk (QS. al-Zalzalah [99]: 6-8). Dalam QS. al-Anbiyâ’ [21]: 47 dan al-Mu’minûn [23]: 102-105 dijelaskan bahwa Allah swt., memasang timbangan amal untuk manusia, siapa yang berat timbangan amal baiknya maka dialah yang beruntung dan akan masuk ke surga, dan sebaliknya siapa yang ringan timbangan amal baiknya dialah yang rugi dan akan masuk ke neraka.

Referensi :

  • Rosihun Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
  • Muhib al Majdi dan Abu Fatiah Al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar, cet. ke-1, (Surakarta: Granada Mediatama, 2013).
  • Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman kepada Hari Akhir, cet. ke-1, hlm. 232-233. Muhammad Sayyid al-Musayyar, Buku Pintar Alam Gaib, cet. ke-1, (Jakarta: Zaman, 2009).

Hhisab adalah peristiwa dimana Allah Shubahanhu wa ta’alla menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya. Atau Dia mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah Shubahanhu wa ta’allaTa’alla akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa- dosanya. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna al muhasabah (proses hisab). Demikian juga Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat.

Hisab menurut istilah aqidah memiliki dua pengertian, yaitu :

  • Pertama. Al ‘Aradh (penampakan dosa dan pengakuan), mempunyai dua pengertian.

    1. Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah Shubahanhu wa ta’alladalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab.

    2. Pemaparan amalan maksiat kaum Mukminin kepada mereka, penetapannya, merahasiakan (tidak dibuka dihadapan orang lain) dan pengampunan Allah Shubahanhu wa ta’allaTa’alla atasnya. Hisab demikian ini dinamakan hisab yang ringan (hisab yasir).

  • Kedua. Munaqasyah (diperiksa secara sungguh-sungguh) dan inilah yang dinamakan hisab (perhitungan) antara kebaikan dan keburukan.

Untuk itulah Syaikhul Islam menyatakan, hisab, dapat dimaksudkan sebagai perhitungan antara amal kebajikan dan amal keburukan, dan di dalamnya terkandung pengertian munaqasyah. Juga dimaksukan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan terhadap pelakunya.

Hisab Pasti Ada

Kepastian adanya hisab ini telah dijelaskan di dalam al Qur`an dan Sunnah. Firman Allah Shubahanhu wa ta’alla Subhanahu wa Ta’ala :

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, [al Insyiqaq / 84 : 7-8].

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [al Insyiqaq / 84:10-12].

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka. [al Ghasyiyah / 88 : 25-26].

Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah Shubahanhu wa ta’alla amat cepat hisabnya. (al Mu’min / 40 : 17).

Sedangkan dalil dari Sunnah Rasulullah ShalAllah Shubahanhu wa ta’allau ‘alaihi wa sallam, di antaranya hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah, dari Rasulullah Shalallah Shubahanhu wa ta’allau ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:

“Tidak ada seorangpun yang dihisab kecuali binasa,” Aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, bukankah Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman ‘pemeriksaan yang mudah’?” Beliau menjawab,”Itu adalah al aradh, namun barangsiapa yang diperiksa hisabnya, maka binasa”.

Imam Ibnu Abil Izz (wafat tahun 792 H) menjelaskan, makna hadits ini adalah, seandainya Allah Shubahanhu wa ta’alla memeriksa dengan menghitung amal kebajikan dan keburukan dalam hisab hamba-Nya, tentulah akan mengadzab mereka dalam keadaan tidak menzhalimi mereka sedikitpun, namun Allah Shubahanhu wa ta’alla memaafkan dan mengampuninya.

Demikian juga umat Islam, sepakat atas hal ini. Sehingga apabila seseorang mengingkari hisab, maka ia telah berbuat kufur, dan pelakunya sama dengan pengingkar hari kebangkitan.

Hisab Manusia dan Jin

Syaikhul Islam menyatakan: “Allah Shubahanhu wa ta’alla akan menghisab seluruh makhluk -Nya”.

Dari pernyataan ini, Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa Allah Shubahanhu wa ta’alla akan menghisab seluruh makhluk-Nya. Namun ini termasuk menggunakan lafahz bermakna umum tapi yang dimaksudkan adalah tertentu saja. Yaitu khusus yang Allah Shubahanhu wa ta’alla bebani syariat. Karena pemberlakuan proses hisab itu pada amalan baik dan buruk hamba yang mukallaf, mencakup manusia dan jin.

Begitu pula Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, bahwa hisab ini juga mencakup jin, karena mereka mukallaf. Oleh karena itu, jin kafir masuk ke dalam neraka, sebagaimana disebutkan menurut nash syariat dan Ijma’. Firman Allah Shubahanhu wa ta’alla menyebutkan :

Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu… [al-A’raaf/ 7:38)

Yang mukmin masuk syurga, menurut mayoritas ulama dan ini yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Shubahanhu wa ta’alla:

Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabb-nya ada dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan. Kedua surga itu mempunyai pohon-pohon dan buah-buahan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu ada dua buah mata air yang mengalir. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. [ar Rahman / 55 : 46-56].

Dikecualikan dalam hal ini, yaitu mereka yang masuk surga tanpa hisab maupun adzab. Begitu pula dengan hewan yang tidak memiliki pahala dan dosa.

Adapun orang kafir, apakah dihisab ataukah tidak?

Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang kafir tidak dihisab. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan mereka dihisab. Syaikhul Islam mendudukkan permasalahan ini dengan pernyataan beliau rahimahullah : “Pemutus perbedaan (dalam masalah ini), yaitu hisab dapat dimaksudkan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan mereka, serta celaan terhadap mereka. Dapat (juga) dimaksudkan dengan pengertian perhitungan antara amal kebajikan dengan amal keburukan. Apabila yang diinginkan dengan kata “hisab” adalah pengertian pertama, maka jelas mereka dihisab. Namun bila dengan pengertian kedua, maka bila dimaksudkan bahwa orang kafir tetap memiliki kebajikan yang menjadikannya pantas masuk surga, maka (pendapat demikian) ini jelas keliru. Tetapi bila yang dimaksudkan mereka memiliki tingkatan-tingkatan dalam (menerima) adzab, maka orang yang banyak dosa kesalahannya, adzabnya lebih besar dari orang yang sedikit dosa kesalahannya, dan orang yang memiliki kebajikan, maka diringankan adzabnya, sebagaimana Abu Thalib lebih ringan adzabnya dari Abu Lahab.

Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman:

Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah Shubahanhu wa ta’alla, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. [an Nahl / 16:88].

Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran. [at Taubah / 9:37].

Apabila adzab sebagian orang kafir lebih keras dari sebagian lainnya -karena banyaknya dosa dan sedikitnya amal kebaikan- maka hisab dilakukan untuk menjelaskan tingkatan adzab, bukan untuk masuk syurga.

Dengan penjelasan Syaikhul Islam tersebut, maka hisab di atas, maksudnya adalah dalam pengertian menghitung, menulis dan memaparkan amalan-amalan kepada mereka, bukan dalam pengertian penetapan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka pada hari Kiamat untuk ditimbang melawan amalan keburukan mereka.Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman :

Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat. [al Kahfi/18 : 105].

Cara Hisab

Hisab ini dilakukan dalam satu waktu, dan Allah Shubahanhu wa ta’alla sendiri yang akan melakukannya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau :

Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali akan diajak bicara Rabb-nya tanpa ada penterjemah antara dia dengan Rabb-nya. Lalu ia melihat ke sebelah kanan, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya; dan ia melihat kekiri, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya. Lalu melihat ke depan, kemudian hanya melihat neraka ada di hadapannya.

Kemudian diberikan kitab yang telah ditulis malaikat agar dibaca dan diketahui oleh setiap orang. Firman Allah Shubahanahu wa ta’alla menyebutkan :

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [al Kahfi / 18 : 49].

Allah Shubahanhu wa ta’alla memang menulis semua amalan hamba-Nya, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firman-Nya:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. [al Zalzalah / 99:7-8].

Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah Shubahanhu wa ta’alla semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah Shubahanhu wa ta’alla mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Shubahanhu wa ta’alla Maha Menyaksikan segala sesuatu. [al Mujaadilah / 58 : 6].

Sehingga seluruh pelaku perbuatan melihat amalannya dan tidak dapat mengingkarinya, karena bumi menceritakan semua amalan mereka. Begitu pula seluruh anggota tubuh pun berbicara tentang perbuatan yang telah ia lakukan. Dijelaskan dalam firman Allah Shubahanhu wa ta’alla :

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini),” pada hari itu bumi menceritakan beritanya, [al Zalzalah / 99 : 1-4].

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. [Yaasin / 36:65]

Cara Hisab Seorang Mukmin dan Kafir

Allah Shubahanhu wa ta’alla yang Maha Pengasih dan Maha Lembut tidak menghisab kaum Mukminin dengan munaqasyah, namun mencukupkan dengan al aradh. -Dia hanya memaparkan dan menjelaskan semua amalan tersebut di hadapan mereka, dan Dia merahasiakannya, tidak ada orang lain yang melihatnya, lalu Allah Shubahanhu wa ta’alla berseru :

“Telah Aku rahasiakan hal itu di dunia, dan sekarang Aku ampuni semuanya”.

Demikian dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata :

Aku telah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Shubahanhu wa ta’alla mendekati seorang mukmin, lalu meletakkan padanya sitar dan menutupinya (dari pandangan orang lain), lalu (Allah Shubahanhu wa ta’alla ) berseru : ‘Tahukah engkau dosa ini? Tahukah engkau dosa itu?’ Mukmin tersebut menjawab,’Ya, wahai Rabb-ku,’ hingga bila selesai meyampaikan semua dosa-dosanya dan mukmin tersebut melihat dirinya telah binasa, Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman,’Aku telah rahasiakan (menutupi) dosa itu di dunia, dan Aku sekarang mengampunimu,’ lalu ia diberi kitab kebaikannya. Sedangkan orang kafir dan munafik, maka Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman : ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka’. Ingatlah, kutukan Allah Shubahanhu wa ta’alla (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim”. (HR al Bukhari).

Adapun orang-orang kafir, mereka akan dipanggil di hadapan semua makhluk. Kepada mereka disampaikan semua nikmat Allah Shubahanhu wa ta’alla, kemudian akan dipersaksikan amalan kejelekan mereka disana. Dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Lalu Allah Shubahanhu wa ta’alla menemui hamba-Nya dan berkata : “Wahai Fulan! Bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikan engkau sebagai pemimpin, menikahkanmu dan menundukkan untukmu kuda dan onta, serta memudahkanmu memimpin dan memiliki harta banyak?" Maka ia menjawab: “Benar”. Allah Shubahanhu wa ta’alla berkata lagi: “Apakah engkau telah meyakini akan menjumpai -Ku?” Maka ia menjawab: “Tidak,” maka Allah Shubahanhu wa ta’alla berfirman: “Aku biarkan engkau sebagaimana engkau telah melupakan-Ku”. Kemudian (Allah Shubahanhu wa ta’alla) menemui orang yang ketiga dan menyampaikan seperti yang disampaikan di atas. Lalu ia (orang itu) menjawab: “Wahai Rabbku! Aku telah beriman kepada-Mu, kepada kitab suci-Mu dan rasul-rasul-Mu. Juga aku telah shalat, bershadaqah,” dan ia memuji dengan kebaikan semampunya. Allah Shubahanhu wa ta’alla menjawab: “Kalau begitu, sekarang (pembuktiannya),” kemudian dikatakan kepadanya: “Sekarang Kami akan membawa para saksi atasmu,” dan orang tersebut berfikir siapa yang akan bersaksi atasku. Lalu mulutnya dikunci dan dikatakan kepada paha, daging dan tulangnya: “Bicaralah!” Lalu paha, daging dan tulangnya bercerita tentang amalannya, dan itu untuk menghilangkan udzur dari dirinya. Itulah nasib munafik dan orang yang Allah Shubahanhu wa ta’alla murkai. (HR Muslim).

Demikianlah keadaan tiga jenis manusia. Yang pertama seorang mukmin, ia mendapatkan ampunan dan kemuliaan Allah Shubahanhu wa ta’alla. Yang kedua seorang yang kafir dan ketiga orang munafik. Keduanya mendapat laknat dan kemurkaan Allah Shubahanhu wa ta’alla

Oleh karena itu, bersiaplah menghadapinya dengan mempersiapkan bekal ilmu yang bermanfaat dan amal shalih yang cukup, memperbanyak mengingat hari perhitungan ini dan melihat kepada amalan yang telah kita perbuat. Mudah-mudahan Allah Shubahanhu wa ta’alla memberikan taufiq kepada kita untuk memperbanyak bekal, yang nantinya dengan bekal tersebut kita menghadap sang pencipta dan mendapat keridhaan-Nya.

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.