Apa yang dimaksud dengan Totalitarianism?

Totalitarianisme


Sebagai sebuah kajian tentang masa totalitarianisme, terutama dengan merujuk pada masa di bawah kepemimpinan Hitler dan Nazi, serta masa kepemimpinan Lenin di Soviet maka Arendt melihat bahwa “propaganda, dan teror merupakan dua sisi dari mata uang yang sama”. Menurut Arendt, propaganda dimaksudkan untuk membuat atomisasi dalam masyarakat. Atomisasi di sini merujuk pada suatu kondisi dimana antar anggota dalam masyarakat tidak terdapat satu hubungan yang merekatkan antar mereka. Kondisi ini merupakan bagian dari strategi untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, sebagaimana dicita-citakan oleh Hitler dan juga Stalin, walau keduanya menempuh jalan yang berbeda untuk itu. Lebih jauh dari itu Arendt juga mengatakan bahwa:

Hanya mob dan elite yang dapat tertarik oleh momentum totalitarianisme itu sendiri. Sedangkan massa harus dipikat dengan propaganda Kapanpun totalitarianisme memiliki kontrol mutlak, maka propaganda diganti dengan indoktrinasi dan penggunaan kekerasan tidak pertama-tama untuk menakut-nakuti orang, namun lebih- lebih untuk secara terus menerus melaksanakan ajaran-ajaran ideologi yang mengumbar kebohongan-kebohongan praktis .”

Arendt mengambil contoh bagaimana Stalin melakukan propaganda, terutama untuk menghadirkan suatu pandangan baru tentang sejarah revolusi Rusia, dimana Stalin pertama sekali melakukan pemusnahan terhadap buku-buku dan berkas-berkas lama yang memberikan jejak terhadap sejarah masa lalu Rusia yang tak disukainya. Ketika pada tahun 1938 terbit buku sejarah resmi baru partai Komunis, hal ini menandakan telah terjadinya pembersihan besar-besaran yang telah membinasakan seluruh generasi kaum intelektual Soviet telah berakhir. Begitu pula, kaum Nazi di daerah pendudukan Eropa Timur pertama-tama menggunakan propaganda antisemit untuk mengontrol rakyat secara lebih ketat. Mereka tidak membutuhkan dan juga tidak menggu- nakan teror guna mendukung propaganda. Ketika mereka memberangus sebagian besar kaum intelegensia Polandia, mereka melaku- kan bukan karena ada perlawanan, tetapi menurut doktrin mereka, orang-orang Polandia tidak memiliki intelek.

Dalam prakteknya memang propaganda yang dilakukan oleh pemerintahan Nazi Hitler membuat propaganda memiliki nilai yang tinggi, karena sifatnya yang memberikan dukungan efektif pada kekuasaan Hitler. Ketika Joseph Paul Goebbels ditunjuk sebagai Menteri Propaganda pada tahun 1933, maka di situlah mesin propaganda mulai berjalan dengan menghembuskan berita-berita bohong kepada dunia luar, dan mengelola informasi sedemikian rupa serta menghadirkan kepada masyarakat Jerman sendiri, informasi yang dipakai untuk menyemangati Jerman guna mencapai tujuan yang dirumuskan oleh Hitler. Tidak hanya itu, departemen propaganda pun buku-buku yang dianggap merusak dan tidak sesuai dengan cita-cita pemerintahan Nazi dibakar, dan mereka yang hendak menulis buku, harus menyerahkan naskah untuk diperiksa, sebelum boleh dicetak.

Kondisi Jerman pada masa pemerintahan Hitler menunjukkan bagaimana Jerman yang kalah pada masa perang dunia I, dan harus menandatangani perjanjian Versailes yang sangat memberatkan Jerman, kehilangan moral yang sangat berat sebagai suatu bangsa. Hitler sebagai seorang yang mau mengobarkan semangat kebangkitan Jerman, perlahan tapi pasti berhasil merebut hati masyarakat Jerman kala itu, lewat pemilu, dimana partainya menguasai parlemen, dan Hitler menjadi perdana menterinya. Namun dalam masa menuju kekuasaan itu, Hitler menggunakan berbagai cara untuk meraih kekuasaan, termasuk dengan penggunaan senjata, penertiban masyarakat, pembungkaman masyarakat, pembunuhan kepada para penentang, serta agitasi dan propaganda yang terampil, plus teror untuk mendukung kebijakan besar, dan politik agresi Jerman di Eropa.

Harus diakui bahwa konsepsi yang disuguhkan Arendt tentang Propaganda totalitarianisme, sedikit banyak mengandung seorang keturunan Yahudi menjadi bagian dari korban yang telah disudutkan dan jadi sasaran pemusnahan pada masa Nazi Jerman. Cara pandang Arendt yang melihat propaganda sebagai bagian dari teror kekua- saan, bisa dilihat sebagai titik ekstrem dalam melihat propaganda, karena propaganda dan teror merupakan satu kesatuan cara untuk penguasaan publik oleh suatu rejim kekuasaan. Dari pandangan beberapa ahli propaganda lain, terutama seperti Lasswell dan Lippmann, maka kita melihat bahwa propaganda, jika dilihat sebagai bagian dari konteks hubungan antar negara, maka propaganda tidaklah hanya satu arah, karena pihak lain yang terlibat dalam perang juga melakukan propaganda serupa.

Teknik-teknik propaganda sendiri sangat beragam, dan dilakukan dengan kepentingan yang berbeda-beda pula. Ke dalam negeri, propaganda dilakukan (misal- nya di Jerman, di Perancis, dan di Amerika) untuk mengangkat moral masyarakat, agar tetap bersemangat dan percaya bahwa pihaknya adalah pemenang dalam perang. Sementara itu ke luar negeri, propaganda dilakukan untuk meyakinkan banyak pihak di luar, bahwa si pembuat propaganda adalah pihak yang baik, pihak yang perlu dapat simpati lebih luas, sembari juga memutarbalikkan fakta yang dianggap akan merugikan citranya, sementara itu pada saat yang sama, propa ganda menekankan hal-hal positif yang telah dicapai pihaknya. Jika kita membandingkan konsepsi Propaganda Arendt dengan Lasswell atau Lippmann, maka kita akan menangkap gambaran yang sangat negatif tentang propaganda, sementara bagi Lasswell ataupun Lippmann, propaganda sebenarnya yang netral saja, karena tujuannya adalah meyakinkan orang tentang sesuatu hal, dan dalam perkemban- gannya kemudian, propaganda kuno dalam bentuk kekerasan, indoktrinasi yang berlebihan dan terlalu kasar, sudah mulai ditinggalkan, serta digantikan oleh bentuk propaganda baru yang lebih canggih, lebih halus, dan membuat banyak orang tak merasa bahwa dirinya sedang dicekoki oleh pesan-pesan tertentu.

Banyak dari usaha ini lalu menggunakan pendekatan kebudayaan populer untuk menghasilkan propaganda-propaganda baru. Belum tentu propaganda baru ini sangat ideologis (ideologi politik dalam arti sempit) sifatnya, tetapi seringkali ia tampil untuk mempromosikan produk atau jasa tertentu dalam kemasan yang menghibur, yang mem- buai, dan membuat banyak orang tak sadar bahwa dirinya pun sebenarnya sedang dibius, atau malah propaganda yang telah dilancarkan tersebut dianggap sebagai hal yang wajar. Di sisi lain kita juga melihat bahwa propaganda sebagai suatu kajian telah menghasilkan suatu bidang ilmu baru pada paska perang dunia II, karena adanya banyak kajian tentang propaganda diproduksi pada masa perang, dan kini metode propaganda pun dipergunakan oleh kalangan industri untuk menyebarluaskan informasi produk mereka lewat media massa dalam bentuk iklan-iklan yang menarik, yang menggugah masyarakat untuk terus berkonsumsi. Tentang atomisasi yang terjadi dalam masyarakat yang dipenuhi dengan propaganda dan teror, sedikit banyak hal ini juga terjadi pada masyarakat modern, ataupun kondisi dalam masyarakat pada masa perang di manapun. Tak heran muncul adagium; ketika perang dimulai, korban pertama bu- kanlah masyarakat sipil, tetapi informasi yang diputarbalikkan. Dalam kondisi dimana satu pihak mendominasi propaganda, maka sulit untuk mendapatkan gambaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, atau mengambil pandan- gan Lippmann, maka jarak antara masyarakat dan peristiwa sesungguhnya makin jauh, dan masyarakat makin tidak bisa mendekatkan diri dengan peristiwa yang terjadi tersebut.

Totalitarianisme. Ciri paling utama dari pemerintahan totaliter disugestikan oleh kata total. Di bawah totalitarianisme, semua institusi sosial dikontrol oleh negara. Kontrol itu mencakup ekonomi, pendidikan, agama, dan bahkan keluarga. Negara itu sendiri dijalankan oleh satu partai tunggal. Karena negara atau partai mendominasi semua dimensi kehidupan sosial, maka ia pun secara total mendominasi semua dimensi kehidupan sosial, maka ia pun secara total mendominasi kehidupan individual. Pekerjaan yang dilakukan seseorang harus sesuai dengan yang ditugaskan partai yang berguna bagi partai, serta sikap-sikap yang berguna bagi negara; agama akhirnya merupakan loyalitas terhadap negara; dan kehidupan keluarga pun berpusat pada aktivitas-aktivitas yang mendukung negara.

Carl J. Friederich dan Zbigniew Brzezinski menyebutkan enam ciri totalitarianisme politik, yaitu :

  1. Adanya ideologi yang terperinci. Ideologi ini merupakan ajaran resmi yang merinci bagaimana para anggota masyarakat diharapkan menjalankan hidup mereka .
  2. Adanya satu partai tunggal. Partai tunggal ini biasanya diorganisasikan dengan baik.
  3. Adanya sistem teror yang luas yang dijalankan oleh partai atau oleh para polisi rahasia.
  4. Adanya kontrol pemerintah dan partai atas semua sarana komunikasi massa, seperti pers, radio, dan film.
  5. Dikondisikan secara teknologis dan sebenarnya adanya kontrol yang ketat melalui militer.
  6. Adanya kontrol negara atas seluruh sektor ekonomi.

Dalam dunia modern, totalitarianisme memiliki dua bentuk yaitu komunisme dan fasisme. Komunisme jelas berbeda bagi bangsa yang berbeda di tempat yang berbeda, dan pada masa yang berbeda. Di bangsa-bangsa yang sedang berkembang, komunisme seringkali dikaitkan dengan revolusi terhadap pemerintahan kolonia. Bagi para pekerja, di beberapa bangsa Eropa Barat, seperti di Prancis dan Italia, istilah komunisme mengacu pada pembelaan kepada kepentingan-kepentingan masyarakat kelas bawah. Bagi banyak politisi konservatif di Amerika Serikat, komunisme berarti suatu konspirasi internasional yang bermaksud mendominasi dunia. Bagi para warga negeri-negeri sosialis, istilah komunisme mengacu pada tujuan yang sangat berarti bagi masyarakat yang harus dicapai.

Meskipun terdapat beragam penafsiran, komunisme dapat didefinisikan sebagai suatu sistem politik di mana instrumen utama dari produksi ekonomi, distribusi, dan pertukaran merupakan hak milik bersama daripada hak milik pribadi. Pada prinsipnya, tanggung jawab tertinggi dari mereka yang melakukan aktivitas-aktivitas ekonomis dalam komunitas adalah bagi penduduk dari bangsa yang bersangkutan, bukan bagi kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Itulah alasan mengapa komunisme itu bertentangan dengan kapitalisme dan rezim demokratis borjuis, yang mendukung suatu sistem produksi yang bertujuan untuk mencapai keuntungan bagi sekelompok kecil kelas pemilik modal, ketimbang memenuhi kebutuhan-kebutuhan mayoritas.