Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia?

Tindak Pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Prof. Moeljatno S.H.

Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia ?

Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Strafbaar Feit” sedangkan dalam bahasa Latin dipakai istilah “Delict” atau “Delictum” dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah Delik. Adapun pengertian tindak pidana menurut pakar ahli hukum pidana, meurut Moeljatno tindak pidana adalah :

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana. Asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditunjukkan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian itu)”.

Menurut P.A.F Lamintang:

“Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Perkataan feit itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan straafbar berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan atau diartikan kedalam bahasa Indonesia yang berarti sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.”

Sedangakan menurut Adam Chazami, istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:

  1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang- undangan. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti didalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (diganti dengan UU No. 19 Tahun 2002), UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999), dan perindang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H.

  2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr.Drs.H.J van Schravendijk dalam buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof.A.Zainal Abidin, S.H dalam buku beliau Hukum Pidana. Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah tersebut dalam Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 Pasal 14 ayat 1.

  3. Delik, yang digunakan sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam beberapa literature, misalnya Prof.Drs.E.Utrecht,S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I, Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.

  4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr.M.H.Tirataamidjaja.

  5. Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh Mr.Karni dalam buku ringkasan Tentang Hukum Pidana Indonesia.

  6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang- undang dalam Undang-Undang No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3).

  7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljanto dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.

Menurut Pompe sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:

  • Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap Norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

  • Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif diatas, J.E Jonkers juga telah memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Poernomo yaitu:

  • Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

  • Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alfa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang.

Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.

Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oeh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh Simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi:

  1. Diancam dengan pidana oleh hukum

  2. Bertentangan dengan hukum

  3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

  4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatanya.

Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hammel meliputi 5 (lima) unsur, sebagai berikut:

  1. Diancam dengan pidana oleh hukum

  2. Bertentangan dengan hukum

  3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

  4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatanya.

  5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Tindak pidana ini sama dengan istilah Inggris “Criminal Act” karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum.

Menurut Moeljatno ada macam-macam tindak pidana selain di bedakan dalam kejahatan dan pelanggaran juga di bedakan dalam teori dan praktek yang lain adalah:

  1. Delik dolus dan delik culpa, bagi delik dolus dipergunakan adanya kesengajaan sedangkan pada delik culpa orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu terbentuk kealpaan;

  2. Delik Commissionis dan delikta Commissionis, delik commissionis adalah delik yang terdiri dari suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, sedangkan delikta commissionis delik yang terdiri dari tindak perbuatan sesuatu atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat;

  3. Delik biasa dan delik yang dikualisir (dikhususkan), delik khusus adalah delik biasa tambah dengan unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, adakalanya objek yang khas, adakalanya pula mmengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa;

  4. Delik menerus dan tidak menerus, delik menerus adalah perbuatan yang dilarang menumbulkan keadaan yang berlangsung terus.

Dari batasan-batasan tentang tindak pidana itu kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa, untuk terwujudnya suatu tindak pidana atau agar seseorang itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur yang terkandung didalam setiap pasal yang dilanggar.

Mengutip dari pendapat Buchari Said, setiap tindak pidana haruslah memenuhi unsur:

“Harus ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat mewujudkan tindak pidana. Dengan demikian pelaku atau subjek tindak pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terihat dari perkataan “barang siapa”. Di dalam ketentuan undang-undang pidana ada perkataan “seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nahkoda”, dan lain sebagainnya, juga dari ancaman pidana dalam pasal 10 KUHPidana tentang macam-macam pidana, seperti adanya pidana mati, pidana penjara, dan sebagainya itu hanya ditunjukkan kepada manusia. Sedangkan diluar KUHPidana subjek tindak pidana itu tidak hanya manusia, juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi, seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagainya).”

Referensi :

  • P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesiia, Bandung, 1984, Sinar Baru.
  • Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, cetakan delapan, Jakarta, 2009.
  • Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Raja Grafindo persada, Jakarta, 2001.
  • Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
  • Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, C.V Mandar Maju, Bandung. 2012.
  • Moeljatno dan Abdul djamali. Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafinda, Jakarta, 1993.
  • Buchari Said, Ringkasan Pidana Materil, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2008.

Dikalangan para ahli pidana istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit” yang diartikan dalam berbagai ragam kata dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa lain disebut “delictium” atau “delicta”.

Istilah strafbaarfeit mempersoalkan mengenai suatu perbuatan atau tindakan manusia yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang melawan hukum atau melanggar hukum kepentingan orang lain. Perbuatan mana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Simons (P.A.F.Lamintang, 1997) merumuskan:

Strafbaarfeit” atau tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

Vos (Martiman Prodjohamidjojo, 1996) merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.

Wirjono Prodjodikoro (1981) menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Tindak pidana merupakan unsur yang paling pokok dalam hukum pidana karena tindak pidana memberi suatu ciri tertentu pada suatu peristiwa pidana. Adanya ciri tertentu, maka dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan mana yang termasuk tindak pidana dan mana yang tidak termasuk tindak pidana.

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi syarat formil maupun syarat materil. Syarat formil terdapat pada ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yakni:

“tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas ketentuan-ketentuan pudana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Disamping syarat formil, tindak pidana tersebut harus dianggap sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, dimana hal tersebut merupakam syarat materil. Mengenai syarat materil tidak hanya hukum tertulis atau undang-undang saja. Tetapi juga hukum yang tidak tertulis, antara lain norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Didalam ilmu hukum pidana beberapa jenis tindak pidana yakni:

  1. Tindak Pidana Formil
    Tindak pidana formil adalah tindakan yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang jika tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

  2. Tindak Pidana Materil
    Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang jika tindak pidana tersebut baru selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi.

  3. Dolus dan Culpa
    Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan Culpa tindak adalah tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian atau kealpaan.

  4. Tindak Pidana Aduan
    Tindak pidana tersebut baru dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan, oleh karena itu apabila tidak ada pengaduan maka tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut.

  5. Tindak Pidana Omisionis
    Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah yang ditetapkan oleh Undang- Undang.

  6. Tindak Pidana Comisionis
    Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap aturan yang diterapkan oleh Undang- Undang.

Ada beberapa ketentuan mengenai tindak pidananya, seperti yang terdapat dalam Pasal 44 Kitab Undang Hukum Pidana (mengenai orang yang melakukan tindak pidana karena daya paksa). Hal tersebut merupakan wujud dari asas tidak dapat dipidananya seseorang apabila tidak terbukti melakukan kesalahan.

Mengenai perbuatan mana yang disebut sebagai tindak pidana, maka dalam hukum pidana dianut asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap tindak pidana harus ditentukan sedemikian rupa oleh suatu aturan perundang-undangan, atau setidaknya untuk suatu aturan hukum yang ada berlaku bagi terdakwa sebelum dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya (E.Y.Kanter dan S.R Sianturi, 2002).

Moeljatno (1987) mengartikan kata strafbaarfeit dengan istilah perbuatan pidana: “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat larangan ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian.

Pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dan melakukan tindak pidana. Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya tersebut.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yang bersifat yuridis, berbeda dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis.

Tindak pidana biasa dikenal dengan istilah delik, berasal dari bahasa Latin yaitu delictum. Delik dalam kamus hukum merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Djoko Prakoso mengemukakan kejahatan atau tindak pidana secara yuridis adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi.

Djoko Prakoso juga mengemukakan kejahatan atau tindak pidana secara kriminologis ialah perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, sedangkan secara psikologis ialah perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.

Selain itu, tindak pidana menurut Moeljatno mengemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Pidana itu sendiri merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”straf” yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”.

Tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustaan tentang hukum pidana sebagai delik, sedangkan pembuat Undang-Undang merumuskan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana.

Strafbaarfeit terdiri dari 3 kata, yaitu straf, baar dan feit. Straf berarti pidana atau hukum. Baar berarti dapat atau boleh, sedangkan feit berarti tindak atau peristiwa atau pelanggaran atau perbuatan (aktif maupun pasif).

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Pendapat beberapa doktrin tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel dan Pompe.

Van Hamel mengatakan bahwa ”Strafbaarfeit adalah kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.

Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit yang dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.

Moeljatno juga mengemukakan bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf, dan istilah dihukum berasal dari kata wordt gestraft merupakan istilah yang konvensional. Lalu, karena tidak setuju dengan istilah-istilah tersebut, digunakan istilah-istilah yang inkonvensional dimana kata wordt gestraft diganti dengan kata pidana.

Jika kata straf diartikan sebagai hukuman, maka strafrecht diartikan sebagai hukuman-hukuman.

Moeljatno kemudian mengatakan bahwa arti kata dihukum berarti “diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman merupakan hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas dari pidana karena mencakup keputusan hakim dan lapangan hukum perdata.

Menurut Sudarto, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukum” (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

Pada umumnya, dalam suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang:

  1. Subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);
  2. Perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan
  3. Ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.

Tindak pidana pada dasarnya cenderung melihat pada perilaku atau perbuatan (yang mengakibatkan) yang dilarang oleh undang-undang.

Selanjutnya, tindak pidana memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Pada umumnya syarat-syarat tersebut dikenal dengan unsur-unsur tindak pidana. Seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukannya memenuhi syarat-syarat tindak pidana atau strafbaarfeit.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana antara lain:

  1. Melanggar hukum
  2. Kualitas si pelaku
  3. Kausalitas, hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

Lamitang berpendapat bahwa setiap tindak pidana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam antara lain:

  1. Unsur subjektif
    Unsur ini melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku dan termasuk kedalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

  2. Unsur objektif
    Unsur ini berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana dapat berupa:

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
  2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
  3. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
  4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
  5. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Mengenai unsur-unsur tindak pidana atau strafbaarfeit, terdapat dua aliran, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis.

  • Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini menyatakan bahwa didalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility).

    Pandangan monistis pada dasarnya tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatan dengan unsur mengenai orang.

  • Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik usur perbuatan maupun unsur orangnya, dalam pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja, sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana. Pandangan ini menyatakan bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana.

Berikut adalah beberapa pandangan menurut beberapa ahli mengenai tindak pidana berdasarkan alirannya:

  1. Monistis
    Aliran ini tidak ada pemisahan antara criminal act dengan criminal responsibility

    Simons
    Simons kemudian mengemukakan adanya unsur subjektif dan objektif dari Strafbaarfeit antara lain:

    • Subjektif
      1. Orangnya mampu bertanggung jawab
      2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa)
    • Objektif
      1. Perbuatan orang
      2. Akibat dari perbuatan
      3. Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan seperti dalam Pasal 281 KUHP yang sifatnya openbaar atau dimuka umum.

    Selain Simons, para ahli yang menganut aliran monistis ialah Van Hamel, E. Mezger, dan Baumman.

  2. Dualistis
    Aliran ini memisahkan criminal act dengan criminal responsibility.

    Moeljatno
    Unsur-unsur dari Strafbaarfeit yang harus dipenuhi ialah:

    • Perbuatan

    • Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

    • Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.

      Selain itu, syarat materiil harus ada juga karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan atau menghambat tercapainya ketertiban dalam masyarakat.

      Selain Moeljatno, para ahli yang menganut aliran dualistis ialah H.B. Vos dan Pompe.

Kemudian, S.R. Sianturi dalam bukunya mengemukakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:

  1. Subjek;
  2. Kesalahan;
  3. Bersifat melawan hukum;
  4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang- Undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
  5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Adami Chazawi menyebutkan bahwa dalam KUHP ditemukan 11 unsur normatif tindak pidana, yaitu:

  1. Unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang
  2. Unsur objek tindak pidana
  3. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
  4. Unsur kesalahan
  5. Unsur sifat melawan hukum perbuatan
  6. Unsur akibat konstitutif
  7. Unsur keadaan yang menyertai
  8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana pembuat
  9. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana pembuat
  10. Unsur syarat tambahan untuk diperberatnya pidana pembuat
  11. Unsur syarat tambahan untuk diperingannya pidana pembuat

Referensi :

  • Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
  • Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP, Jakarta: Bina Aksara, 1987
  • Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987
  • Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012
  • Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag. I, Jakarta: Grafindo, 2002
  • Andi Hamzah, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984