Tindak pidana adalah suatu pengertian yang bersifat yuridis, berbeda dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis.
Tindak pidana biasa dikenal dengan istilah delik, berasal dari bahasa Latin yaitu delictum. Delik dalam kamus hukum merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).
Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Djoko Prakoso mengemukakan kejahatan atau tindak pidana secara yuridis adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi.
Djoko Prakoso juga mengemukakan kejahatan atau tindak pidana secara kriminologis ialah perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, sedangkan secara psikologis ialah perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.
Selain itu, tindak pidana menurut Moeljatno mengemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Pidana itu sendiri merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”straf” yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”.
Tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustaan tentang hukum pidana sebagai delik, sedangkan pembuat Undang-Undang merumuskan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana.
Strafbaarfeit terdiri dari 3 kata, yaitu straf, baar dan feit. Straf berarti pidana atau hukum. Baar berarti dapat atau boleh, sedangkan feit berarti tindak atau peristiwa atau pelanggaran atau perbuatan (aktif maupun pasif).
Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Pendapat beberapa doktrin tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel dan Pompe.
Van Hamel mengatakan bahwa ”Strafbaarfeit adalah kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.
Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit yang dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.
Moeljatno juga mengemukakan bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf, dan istilah dihukum berasal dari kata wordt gestraft merupakan istilah yang konvensional. Lalu, karena tidak setuju dengan istilah-istilah tersebut, digunakan istilah-istilah yang inkonvensional dimana kata wordt gestraft diganti dengan kata pidana.
Jika kata straf diartikan sebagai hukuman, maka strafrecht diartikan sebagai hukuman-hukuman.
Moeljatno kemudian mengatakan bahwa arti kata dihukum berarti “diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman merupakan hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas dari pidana karena mencakup keputusan hakim dan lapangan hukum perdata.
Menurut Sudarto, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukum” (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.
Pada umumnya, dalam suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang:
- Subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);
- Perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan
- Ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.
Tindak pidana pada dasarnya cenderung melihat pada perilaku atau perbuatan (yang mengakibatkan) yang dilarang oleh undang-undang.
Selanjutnya, tindak pidana memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Pada umumnya syarat-syarat tersebut dikenal dengan unsur-unsur tindak pidana. Seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukannya memenuhi syarat-syarat tindak pidana atau strafbaarfeit.
Unsur-unsur dari suatu tindak pidana antara lain:
- Melanggar hukum
- Kualitas si pelaku
- Kausalitas, hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat
Lamitang berpendapat bahwa setiap tindak pidana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam antara lain:
-
Unsur subjektif
Unsur ini melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku dan termasuk kedalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
-
Unsur objektif
Unsur ini berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana dapat berupa:
- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
- Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
- Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
- Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
- Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Mengenai unsur-unsur tindak pidana atau strafbaarfeit, terdapat dua aliran, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis.
-
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini menyatakan bahwa didalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility).
Pandangan monistis pada dasarnya tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatan dengan unsur mengenai orang.
-
Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik usur perbuatan maupun unsur orangnya, dalam pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja, sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana. Pandangan ini menyatakan bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana.
Berikut adalah beberapa pandangan menurut beberapa ahli mengenai tindak pidana berdasarkan alirannya:
-
Monistis
Aliran ini tidak ada pemisahan antara criminal act dengan criminal responsibility
Simons
Simons kemudian mengemukakan adanya unsur subjektif dan objektif dari Strafbaarfeit antara lain:
- Subjektif
- Orangnya mampu bertanggung jawab
- Adanya kesalahan (dolus atau culpa)
- Objektif
- Perbuatan orang
- Akibat dari perbuatan
- Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan seperti dalam Pasal 281 KUHP yang sifatnya openbaar atau dimuka umum.
Selain Simons, para ahli yang menganut aliran monistis ialah Van Hamel, E. Mezger, dan Baumman.
-
Dualistis
Aliran ini memisahkan criminal act dengan criminal responsibility.
Moeljatno
Unsur-unsur dari Strafbaarfeit yang harus dipenuhi ialah:
-
Perbuatan
-
Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
-
Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
Selain itu, syarat materiil harus ada juga karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan atau menghambat tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
Selain Moeljatno, para ahli yang menganut aliran dualistis ialah H.B. Vos dan Pompe.
Kemudian, S.R. Sianturi dalam bukunya mengemukakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:
- Subjek;
- Kesalahan;
- Bersifat melawan hukum;
- Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang- Undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
- Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Adami Chazawi menyebutkan bahwa dalam KUHP ditemukan 11 unsur normatif tindak pidana, yaitu:
- Unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang
- Unsur objek tindak pidana
- Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
- Unsur kesalahan
- Unsur sifat melawan hukum perbuatan
- Unsur akibat konstitutif
- Unsur keadaan yang menyertai
- Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana pembuat
- Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana pembuat
- Unsur syarat tambahan untuk diperberatnya pidana pembuat
- Unsur syarat tambahan untuk diperingannya pidana pembuat
Referensi :
- Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
- Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP, Jakarta: Bina Aksara, 1987
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987
- Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012
- Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag. I, Jakarta: Grafindo, 2002
- Andi Hamzah, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984