Apa Yang Dimaksud Dengan Thalasemia atau Thalassaemia?

Thalassaemia

Thalasemia atau Thalassaemia merupakan kelainan darah yang diturunan yang disebabkan oleh kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah.

Referensi: Arman, S. dan Moallemi, Sh. 2005. Handbook of Pediatric Hematology and Oncology: Children’s Hospital &. Research Center Oakland, Second edition.

Thalassaemia berasal dari bahasa latin “thalasanemia” yang berarti anemia yang terdapat di dekat laut (Rosu, 2006). Oleh sebab itu, penyakit tersebut juga memiliki nama lain, yaitu Mediterranean Anemia, karena penyakit tersebut hanya menyerang wilayah sekitar Laut Mediterania (Thalassaemia Support Foundation, 2005).

Namun, diketahui bahwa Thalassaemia tidak hanya menyerang individu yang berada di sekitar laut Mediterania, tetapi juga di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Selain itu, Thalassaemia juga dikenal dengan nama Cooley’s Anemia yang berasal dari nama seorang ahli penyakit anak-anak yang bernama dr. Thomas Cooley yang pertama kali menjelaskan karakteristik penyakit ini pada tahun 1972 (Rosu, 2006).

Menurut Arnold (1999) ada dua jenis Thalassaemia:

  • Thalassaemia Trait/bawaan. Orang dengan Thalassaemia Trait/bawaan adalah orang-orang yang sehat tetapi dapat meneruskan Thalassaemia Mayor kepada anak-anak mereka. Menurut perkiraan, di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200.000 orang Thalassaemia Trait/bawaan. Mereka disebut juga sebagai pembawa Thalassaemia yang sehat. Thalassaemia Trait/bawaan disebut juga sebagai Thalassaemia Minor.

  • Thalassaemia Mayor. Penyakit ini merupakan kelainan darah serius yang bermula sejak awal masa kanak-kanak. Anak-anak yang memiliki Thalassaemia Mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka. Oleh karena itu, dalam tulang sumsum mereka tidak dapat diproduksi sel-sel darah merah yang cukup. Sel-sel darah merah yang diproduksi hampir seluruhnya kosong. Mereka memerlukan transfusi darah yang sering dan perawatan medis. Setiap tahun setidaknya 100.000 anak yang lahir di dunia menderita Thalassaemia Mayor. Di Indonesia tidak kurang dari 3000 anak kecil yang menderita penyakit tersebut. Thalassaemia Mayor sering juga disebut sebagai Mediterranean Cooley’s Anemia atau Homozygous Beta Thalassaemia.

Thalassaemia Mayor merupakan jenis anemia herediter dimana sel darah kecil dan mempunyai membran yang rapuh sehingga menyebabkan sel mudah pecah sewaktu melalui jaringan. Thalassaemia Mayor diturunkan dengan cara mewarisi gen Thalassaemia Mayor yang berasal dari orangtua mereka. Individu dengan penyakit Thalassaemia Mayor telah mewarisi gen tersebut sejak mereka dilahirkan (Northern California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005).

Penyakit kelainan darah genetik ini memiliki karakteristik tidak adanya atau menurunnya produksi hemoglobin normal yang menyebabkan anemia. Akibat kelainan tersebut, produksi hemoglobin berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari) (Eijkman Institute for Molecular Biology, 2005). Anak-anak dengan Thalassaemia Mayor normal pada saat lahir tetapi menderita kekurangan darah pada usia antara tiga dan delapan belas bulan (Arnold, 1999).

Perawatan Medis pada Penderita Thalassaemia Mayor

1. Transfusi Darah

Bagi penderita Thalassaemia Mayor, melakukan transfusi darah merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Transfusi darah dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan mencegah kegagalan jantung, kelainan bentuk tulang, dan kelainan endokrin. Umumnya, transfusi dilakukan 4 minggu sekali untuk menjaga tingkat hemoglobin normal.

2. Terapi Kelasi (Chelation Therapy)

Chelation therapy merupakan salah satu cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai akibat dari transfusi darah. Salah satu cara yang umumnya digunakan adalah Desferrioxamine (Desferal). Desferal merupakan obat yang digunakan oleh penderita yang melakukan transfuse darah untuk mengeluarkan zat besi yang berlebihan dari dalam tubuh. Desferal digunakan di bawah kulit dan di bawah urat nadi untuk mengeluarkan zat besi. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam per hari selama minimal 5 hari per minggu.

3. Pengangkatan Limpa (Spleenectomy)

Limpa pada penderita Thalassaemia Mayor umumnya membesar karena memompa darah secara berlebihan. Spleenectomy, atau yang disebut juga pengangkatan limpa, umumnya tidak direkomendasikan karena berbagai komplikasi. Pengangkatan limpa dapat menyebabkan berbagai risiko, seperti infeksi, masalah pernafasan, dan kerusakan hati. Namun, hal tersebut dapat dilakukan jika transfusi darah dilakukan terlalu sering (1 bulan lebih dari 1 kali) dan setelah anak berusia 5 tahun.

4. Cangkok Sumsum Tulang

Di negara-negara maju, paara ahli melakukan cangkok sumsum tulang bagi penderita Thalassaemia. Dengan cara ini maka jaringan sumsum tulang penderita diganti dengan jaringan sumsum tulang donor dari saudara kandungnya atau orangtuanya karena harus diperlukan donor yang cocok. Di Indonesia, tindakan ini masih dalam taraf persiapan. Oleh karena biayanya sangat tinggi (Arnold, 1999).

Masalah yang Dialami Penderita Thalassaemia Mayor

1. Masalah Fisik

Penderita Thalassaemia Mayor pada umumnya memiliki masalah yang berkaitan dengan keadaan fisik mereka. Transfusi darah yang diperlukan seumur hidup dapat menyebabkan kelebihan zat besi. Efek samping dari kelebihan zat besi adalah terkena penyakit yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Selain itu, pada penderita yang sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi dapat terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit. Hal tersebut akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Penumpukan zat besi pada organ jantung dan hati akan menyebabkan kegagalan fungsi jantung atau hati. Jika terdapat penumpukan zat besi pada kelenjar ginjal, penderita akan menderita diabetes atau kencing manis. Gangguan lain muncul pada organ limpa. Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa juga berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita Thalassaemia Mayor, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa juga semakin berat karena harus memproduksi sel darah merah lebih banyak. Masalah lain yang timbul pada penderita Thalassaemia Mayor adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensasi kekurangan hemoglobin.

Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika kerusakan tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka pun akan berubah. Batang hidung menjadi hilang atau melesak ke dalam (facies cooley). Hal tersebut merupakan salah satu tanda khas penderita Thalassaemia Mayor. Selain itu, penumpukan zat besi di kulit dapat mengakibatkan kulit penderita menjadi hitam.

Penumpukan zat besi juga menimbulkan masalah pada alat kelamin sekunder sehingga terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi pada anak perempuan karena ovariumnya terganggu (Eijkman Institute for Molecular Biology, 2005). Pada umumnya, penderita Thalassaemia Mayor terlihat pucat dan kelelahan, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, hambatan dalam perkembangan bahasa dan prestasi dalam bidang akademis, dampak psikologis dan perilaku (kurangnya perhatian dan kelelahan), dan penurunan dalam aktivitas fisik. Hal tersebut menyebabkan penderita Thalassaemia Mayor tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang berlebihan (WHO, 2003).

2. Masalah Psikologis

Roy (2007) dalam penelitiannya melakukan wawancara mendalam pada 36 pasien Thalassaemia Mayor dan menunjukkan bahwa budaya dan pendidikan memiliki peranan penting dalam pengalaman mengenai penyakit. Konsekuensi dari penyakit tersebut adalah penderita mengalami tekanan yang sangat besar, dan penderita menghadapi berbagai masalah fisik, psikologis, dan sosial (www.helpthals.org).

Dampak fisik dari penyakit tersebut juga menimbulkan dampak psikologis, terutama perubahan pada penampilan penderita. Penderita terlihat kerdil dan pucat karena kekurangan darah. Penderita penyakit tersebut juga memiliki thalassemic facies/facies cooley, yaitu bentuk wajah mongoloid akibat kelainan pada tulang wajah. Penumpukan zat besi akibat transfusi darah mengakibatkan kulit yang menghitam. Hal tersebut dapat menyebabkan rendahnya self-esteem penderita Thalassaemia karena keadaan mereka berbeda dengan teman-teman yang lain (Aprilianti, 2007).

Ghanizadeh (2007) melakukan penelitian tentang prevalensi gangguan psikis, depresi, dan perilaku yang berhubungan dengan perilaku menyakiti diri sendiri pada anak dan remaja yang menderita Thalassaemia Mayor. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada penderita Thalassaemia Mayor, terdapat kecenderungan gangguan oppositional defiant disorder, attention-deficit hyperactivity disorder, dan gangguan bipolar. Gangguan lain yang paling umum dialami oleh penderita penyakit ini adalah gangguan depresi mayor.

Penderita Thalassaemia Mayor harus mendapatkan perawatan secara kontinyu selama mereka hidup. Mereka juga membutuhkan bantuan dari keluarga untuk perawatan kontinyu seperti transfusi darah secara rutin dan pembuangan zat besi sebagai perawatan klinis yang tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya.

Prasomsuk, et. al. (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penderita Thalassaemia Mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan, dan diberikan perhatian yang berlebihan oleh orangtua mereka. Sebagai akibatnya penderita Thalassaemia Mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat. Ketegangan emosional akan lebih besar ketika pengetahuan tentang penyakit tidak mencukupi dan kurangnya dukungan sosial.

Lebih jauh lagi, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan psikologis tidak hanya pada penderita tetapi juga keluarganya. Perasaan yang muncul adalah tidak dapat menerima, kehilangan, berduka, dan bersalah. Memiliki anak yang menderita Thalassaemia Mayor menjadi suatu peringatan bagi orangtua bahwa mereka mengalami kegagalan untuk melahirkan anak yang normal. Hal tersebut dapat menyebabkan orangtua tertekan karena anak mereka sakit. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Thalassaemia Mayor, yang merupakan penyakit kronis, memiliki dampak negatif terhadap kualitas hidup bagi penderita dan keluarganya. Keluarga yang memiliki anak penderita Thalassaemia Mayor akan mengalami perubahan psikososial yang berhubungan dengan perawatan anak mereka. Konseling antisipasi, terapi, dan intervensi farmakologi dapat menyebabkan berbagai dampak terhadap kualitas hidup. Orangtua yang pada awalnya menganggap bahwa mereka memiliki anak normal terkejut dengan adanya penyakit kronis yang berbahaya. Hal tersebut menyebabkan perasaan yang besar mengenai rasa bersalah yang terwujud dalam perilaku overprotektif serta masalah lainnya dalam keluarga. Perawatan psikologis dapat mencegah terjadinya beberapa masalah tersebut.

Banyak orangtua dan penderita Thalassaemia Mayor mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang paling sulit untuk keluarga. Keluarga berjuang dengan perubahan tanggung jawab dan kontrol terhadap penyakit, kemajuan dalam bidang akademis, dan aktivitas sosial. Remaja pada umumnya banyak menghabiskan waktu di luar rumah, dan lebih terfokus pada teman sebaya, dan termotivasi untuk menjadi seperti teman sebaya mereka. Faktor-faktor tersebut dapat mengarah pada terjadinya perilaku ketidakpatuhan karena remaja juga memiliki tanggung jawab lebih terhadap penyakitnya. Ketidakpatuhan tersebut dapat terjadi pada saat mereka melakukan pengobatan. Selain itu, remaja mulai berpikir lebih seperti orang dewasa dan berusaha memahami penyakit dan kematian dari sudut pandang orang dewasa. Ketika remaja mulai dapat berpikir secara abstrak, mereka mulai dapat berpikir bahwa mereka akan terlindung dari konsekuensi negatif. Hal tersebut dapat menyebabkan perilaku yang berisiko, termasuk mencoba obat-obatan dan alkohol, perilaku seksual, dan perilaku agresif (Northern California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005).

Remaja merupakan periode krisis dan dapat menjadi rumit dengan terjadinya ketidakberdayaan, keputusasaan, seklusi, penolakan dan ketidakpatuhan. Penemuan lainnya adalah penderita Thalassaemia Mayor mengalami perasaan tertekan, perasaan lekas marah, dan kemarahan. Perasaan tersebut timbul karena mereka merasa bahwa diri mereka berbeda dengan teman- teman sebayanya. Selanjutnya, penderita Thalassaemia Mayor juga sering memikirkan kematian dan memikirkan tentang bunuh diri pada tahun-tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena berada di antara kehidupan dan kematian (Ghanizadeh, 2007). Pada penderita Thalassaemia Mayor, remaja dapat mengalami masalah psikologis seperti menurunnya self- esteem, masalah dalam perkembangan psikoseksual, dan harapan mengenai masa depan (Northern California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005).

Harapan pada Remaja Penyandang Thalassaemia Mayor

Masa remaja merupakan masa dimana individu lebih banyak mempertimbangkan tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan usia mereka, yaitu merencanakan tujuan masa depan yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan (karir), dan berkeluarga (Shorey, et. al., 2003).

Pada masa ini, mereka dituntut untuk memiliki penyesuaian diri yang berguna untuk kehidupannya di masa depan. Masa remaja juga merupakan masa dimana mereka harus mencapai penyatuan identitas diri serta terfokus pada tujuan dan impian masa depan mereka. Remaja yang memiliki kesehatan yang baik akan memiliki kesempatan lebih baik untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan selama masa remaja berlangsung. Namun, sebaliknya remaja yang memiliki kekurangan akan menghadapi berbagai masalah.

Remaja yang menderita Thalassaemia Mayor yang merupakan penyakit kronis tentunya memiliki kekurangan dari remaja lain yang seusia dengan mereka. Penyakit tersebut merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan mengakibatkan berbagai dampak terhadap kehidupan mereka baik secara fisik maupun psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menderita penyakit kronis mengalami berbagai masalah seperti self-esteem, kecemasan, depresi, perasaan tidak berdaya, dan rendahnya harapan masa depan mereka. Individu yang merasakan ketidakberdayaan dalam kehidupannya akan mempersepsikan sedikit kontrol mengenai kehidupan mereka, dan percaya bahwa hal-hal baik tidak akan terjadi. Dalam hal ini, kurangnya harapan menyebabkan individu tidak akan mampu untuk mencapai tujuan pribadinya (Shorey, et. al., 2003).

Masalah pada penderita penyakit kronis menurut Venning, et. al. (2007) dapat diatasi dengan adanya harapan. Venning, et. al. (2007) mengatakan bahwa dengan memiliki harapan, individu dengan penyakit kronis akan dapat berpikir tentang tujuan masa depan mereka. Menurut teori harapan, harapan dipercaya dapat meningkatkan persepsi realistik individu mengenai pencapaian tujuan dan sebagai akses menuju masa depan. Harapan dapat menyebabkan individu berpikir tentang tujuan masa depan dan menjadikan segala sesuatu mungkin terjadi.

Montgomery, David, DiLorenzo & Erblich (2003) dalam penelitiannya mengatakan bahwa harapan memiliki peran yang signifikan untuk menghasilkan prestasi pribadi, keberhasilan psikoterapi, aspek yang berkaitan dengan kesehatan, dan kemampuan untuk memecahkan masalah (Maree & Maree, 2007). Harapan juga dapat meningkatkan kemampuan untuk meningkatkan kesehatan, meningkatkan penyesuaian, dan sebagai salah satu cara untuk dapat pulih dari penyakit kronis (Snyder, dalam Venning, et. al., 2007).

Dengan harapan yang tinggi mereka akan dapat meningkatkan kontrol pribadi untuk menghadapi penyakit tersebut. Perasaan bahwa seseorang memiliki kontrol secara psikologis memiliki pengaruh yang baik untuk memiliki fungsi mental yang baik. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan akan adanya kontrol sering berhasil dalam meningkatkan penyesuaian yang baik dan mengurangi tekanan emosional dan masalah fisiologis yang diakibatkan karena penyakit dan pengobatan (Taylor, 1999).

Harapan bersifat multidimensional dan setiap individu tentunya memiliki gambaran harapan yang berbeda-beda. Gambaran dari harapan pada penelitian ini akan dilihat berdasarkan sudut pandang remaja mengenai penyakit yang mereka miliki, tujuan masa depan mereka serta cara mereka mencapai tujuan tersebut, dan peran harapan itu sendiri terhadap kemampuan mereka untuk menghadapi penyakit dan mencapai tujuan.

Referensi:

  • Thalassemia Support Foundation. (2005). Helping Patients Find Hope, http://www.helpthals.org,
  • Rosu, Monica. (2006). What is Thalassaemia Mayor?, http://www.geocities.com.
  • Arnold, Helen. (1999). Thalassaemia. Apakah Itu? Mengapa Terjadi? Bagaimana Mencegahnya? Jakarta: PT. Bumi Prakarsa Cipta.
  • Northern California Comprehensive Thalassemia Center. (2005). What is Thalassaemia Mayor. http://www.thalassemia.com,
  • Eijkman Institute for Molecular Biology. (2005). THALASSAEMIA MAYOR: Bagaimana Mencegah Penyakit Thalassaemia Mayor pada Keturunan Kita?, http://www.eijkman.go.id,
  • Roy, T. (2007). Thalassemia; New Thalassemia in Adolescents Study Results from Indian Institute of Technology Described. [Electronic version]. Hematology Week, 216.
  • Aprilianti, Ananda Narulita. (2007, Mei). Masih Ada Asa Bagi Penderita Thalassemia. Healthy Life, 36-38.
  • Ghanizadeh, A. (2007). Thalassemia Major; New Thalassemia Major in Adolescents Study Findings Recently were Published by Researchers at Hafez Hospital, Department of Psychiatry. [Electronic version]. Hematology Week, 33.
  • Prasomsuk, Suksiri. et. al. (2007). Lived Experiences of Mothers Caring for Children With Thalassemia Major in Thailand. [Electronic version]. Journal for Specialists in Pediatric Nursing, 12 (1), 13-23.
  • Shorey, Hal S., Snyder, C. R., Yang, Xiangdong, Lewin, Michael, R. (2003). The Role of Hope as a mediator in Recollected Parenting, Adult Attachment, and Mental Health. [Electronic version]. Journal of Clinical and Social Psychology 22 (6), 685-715.
  • Venning, Anthony J., et. al. (2007). The Impact of a Child’s Chronic Illness on Hopeful Thinking in Children and Parents. [Electronic version]. Journal of Social and Clinical Psychology, 26 (6), 708-727.
  • Maree, David J.F. & Maree, Marinda. (2007). Assessment of Hope –The Process of Constructing a Gender-Sensitive Scale for Hope within a South African Context, http://www.inter-disciplinary.org,
  • Taylor, Shelley E. (1999). Health Psychology. 4th ed. Boston: McGraw-Hill.