Apa yang dimaksud dengan Tetanus neonatorum?

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-1 bulan).

Tetanus neonatal disebabkan oleh toksin Clostridium tetani. Kondisi ini terkait dengan praktik kelahiran dan perawatan tali pusar yang tidak steril.

Bayi baru lahir yang menderita tetanus neonatal akan berhenti makan. Tubuhnya kaku, dan terjadi kontraksi otot parah dan kejang. Pada sebagian besar kasus, bayi mengalami kematian.

Penanganan termasuk rawat inap segera, membersihkan luka terinfeksi, antibiotik, obat untuk membantu membersihkan toksin, dan relaksan otot. Tetanus neonatal dapat dicegah dengan imunisasi wanita usia subur menggunakan vaksin tetanus.

Apa yang dimaksud dengan Tetanus neonatorum ?

Tetanus neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat. Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob di mana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen.

Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5-14 hari.

Tanda dan Gejala


Pada pengkajian bayi dengan tetanus neonatorum dapat ditemukan adanya kesulitan menetek mulut mencucu seperti ikan (harpermond) karena adanya trismus pada otot mulut, sehingga bayi tidak dapat minum dengan baik, adanya spasme otot dan kejang umum leher kaku dan terjadi opistotonus kondisi tersebut akan menyebabkan liur sering terkumpul di dalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi, dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang otot pernapasan dan sianosis, suhu meningkat sampai dengan 39 derajat celcius, dahi berkerut, alis mata terangkat sudut mulut tertarik ke bawah muka rhisus sardonikus, ekstremitas kaku, sangat sensitif terhadap rangsangan gelisah dan menangis, masa inkubasinya 3-10 hari.

Masalah yang Sering Muncul pada Bayi dengan Tetanus Neonatorum

a. Gangguan Fungsi Pernapasan

Pada masalah ini dapat disebabkan kuman yang menyerang otot-otot pernapasan sehingga otot pernapasan tidak berfungsi, adanya spasme pada otot faring juga dapat menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut atau tenggorokan sehingga menggangu jalan napas.

Untuk mengatasi gangguan fungsi pernapasan, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah: atur posisi bayi dengan kepala ekstensi, berikan oksigen 1-2 liter/menit dan apabila terjadi kejang tinggikan kebutuhan oksigen sampai 41/menit setelah kejang hilang turunkan, lakukan penghisapan lendir dan pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh kebelakang, lakukan observasi tanda vital setiap setengah jam, berikan lingkungan dalam keadaan hangat jangan memberikan lingkungan yang dingin karena dapat menyebabkan apnea.

Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diazepam dengan dosis awal 2,5 mg intra vena selama 2-3 menit kemudian dilanjutkan dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari, setelah keadaan klinis membaik dapat dilakukan pemberian diazepam peroral, disamping pemberian diazepam juga dilakukan pemberian ATS dengan dosis 10.000 U/hari, ampisilin 100 mg/kgBB/hari.

Perawatan saat Kejang

Merupakan tindakan dengan memberikan terapi keperawatan untuk mencegah adanya lidah tergigit, anoksia, pasien jatuh, lidah tidak jatuh kebelakang menutupi jalan napas dan mencegah kejang ulang, caranya adalah sebagai berikut:

  1. Baringkan pasien dengan terlentang dengan kepala dimiringkan dan ekstensi
  2. Pasang spatel lidah dengan dibungkus kain kassa.
  3. Bebaskan jalan napas dengan menghidap lendir.
  4. Barikan oksigen.
  5. Lakukan kompres.
  6. Lakukan observasi terhadap tanda vital dan sifat kejang.

b. Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi dan Cairan

Gangguan kebutuhan nutrisi dan cairan dapat terjadi karena bayi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dengan cara menetek atau minum, untuk itu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan dapat dilakukan dengan melakukan intervensi keperawatan di antaranya monitoring tanda-tanda dehidrasi dan kekurangan nutrisi seperti intake dan out put, membran mukosa, turgor kulit dan lain-lain, kemudian dapat memberikan cairan melalui infus dengan cairan glukosa 10% dan natrium bikarbonat apabila pasien sering kejang dan apnea, apabila kejang sudah berkurang pemberian nutrisi dapat melalui pipa lambung.

c. Kurang Pengetahuan (Orang Tua)

Pada masalah ini dapat disebabkan karena kurangnya informasi pada keluarga pasien mengingat tindakan pada penyakit ini memerlukan tindakan dan pengobatan khusus sehingga perlu di sampaikan kepada keluarga beberapa pengetahuan tentang penyakit dan upaya pengobatan dan perawatannya seperti pemberian suntikan, perawatan pada luka dengan menggunakan alkohol 70% dan kassa steril dan lain-lain.

Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian neonatus yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa Negara berkembang menunjukkan kematian neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa negara berkembang kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total kematian neonatal.

Hasil Anamnesis ( Subjective )

Keluhan

Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai susunan saraf. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot masseter ditemukan pada lebih dari separuh penderita, diikuti kekauan otot leher, kesulitan menelan dan mulut mencucu seperti mulut ikan. Spasme otot punggung dan otot perut. Spasme dapat terjadi spontan atau terhadap rangsangan dengan frekuensi yang bervariasi. Kesadaran masih intak.

Anamnesis, meliputi :

  1. Penolong persalinan apakah tenaga medis/paramedis/non medis/dukun bayi
  2. Telah mendapat pelatihan atau belum
  3. Alat yang dipakai memotong tali pusat
  4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada perawatan tali pusat
  5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama kehamilan
  6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period)
  7. Berapa lama selang waktu antara gejala-gejala tidak dapat menetek dengan gejala spasme pertama (period of onset)

Faktor Risiko : -

Hasil Pemeriksaan Fisis dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisis

  1. Kesadaran intak
  2. Trismus
  3. Kekakuan otot leher, punggung, perut
  4. Mulut mencucu seperti mulut ikan
  5. Kejang

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk tetanus neonatorum. Diagnosis utamanya ditegakkan dengan adanya gejala klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot (muscular rigidity).

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang.

Diagnosis Banding

Semua penyebab kejang neonatus seperti Kongenital ( cerebral anomalies ), perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal & atau perdarahan intracranial) dan postnatal (Intervensi & gangguan metabolik)

Komplikasi

Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan pneumonia aspirasi, Long bone fractures

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :

  1. Eradikasi kuman
    a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol 70% atau providon iodin.
    b. Antibiotik
    c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM, tiap 12 jam, atau
    d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau

    • Usia gestasi (UG) < 37 minggu
      • n< 28 hari tiap 12 jam
      • .> 28 hari tiap 8 jam
    • UG > 37 minggu
      • < 7 hari tiap 12 jam
        -. > 7 hari tiap 8 jam

    e. Metronidazole loading dose 15mg/kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis, atau
    f. Interval

    • Usia < 28 hari tiap 12 jam
    • Usia > 28 hari tiap 8 jam

    g. Pemberian dosis rumatan

    • UG < 37 minggu 24 jam setelah loading dose
    • UG > 37 minggu 12 jam setelah loading dose

    h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
    Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis

    • UG < 30 minggu
      • <28 hari tiap 12 jam
      • .>28 hari tiap 8 jam
    • UG > 30 minggu
      • < 14 hari tiap 12 jam
      • .> 14 hari tiap 8 jam
  2. Netralisasi toksin
    a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit lebih dahulu.
    b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-6000 IU IM

  3. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi spasme otot
    Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip, dilarutkan dalam larutan dekstrose 5% menggunakan syringe pump. Obat dibagi menjadi empat sediaan untuk menghindari efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati terjadi henti napas dalam pemberiannya. Bila diazepam telah mencapai dosis maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi dianjurkan pemberian pelumpuh otot pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dang penggunaan ventilator mekanik.

  4. Terapi suportif
    a. Pemberian oksigen
    b. Pembersihan jalan nafas
    c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori

  5. Imunisasi
    Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan pada saat penderita pulang.
    Konseling dan Edukasi :

  6. Pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan menjaga proses persalinan tetap aseptic termasuk pada saat pemotongan tali pusat.

  7. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml dengan jarak penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya penyakit tetanus neonatroum.

Kriteria Rujukan : -

Peralatan :-

Prognosis

  1. Ad Vitam : dubia
  2. Ad Functionam : dubia
  3. Ad Sanationam : dubia

Referensi

  1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2004. Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD. Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana, 2004)
  2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam Buletin Jendela Data dan Informasi. 2012. Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (Wibowo, 2012)

Sumber : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan primer

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll, 2007). Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani , dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran (Ismoedijanto, 2006). Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat (Saifuddin, 2001).

Etiologi

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang ( drum stick ) (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun. (Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau tanah yang terkontaminasi (Arnon, 2007). Clostridium tetani merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat menyebabkan kekejangan pada otot (Suraatmaja, 2000).

Faktor Risiko

Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:

  1. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
    Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.

  2. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat

    Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).

  3. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat

    Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).

  4. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan

    Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril (Abrutyn, 2008).

  5. Faktor Kekebalan Ibu Hamil

    Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani . Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000).

Patogenesis

Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer (Arnon, 2007). Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu (Abrutyn, 2008). Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher.

Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistim saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul (Ismoedijanto, 2006).

Gejala Klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah:

  1. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek (Chin, 2000).

  2. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.

  3. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.

  4. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.

  5. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).

  6. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya. Lambat laun, “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh masa sedar; seterusnya bisa menyebabkan kematian (Ningsih, 2007).

Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO, 2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil (Djaja, 2003). Pemberian imunisasi TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum (Vandaler, 2003; WHO, 2008).