Apa yang dimaksud dengan Teroris atau Kelompok Teroris?

Teroris atau Kelompok Teroris

Apa yang dimaksud dengan Teroris atau Kelompok Teroris ?

Teroris atau kelompok teroris sering di indentifikasikan sebagai orang maupun kelompok yang melakukan teror, mulai dari bentuk protes, ideologi, ataupun kepercayaan sebagai legitimasi atas tindakan yang dilakukan. Secara bahasa terorist dinyatakan sebagai berikut :

A person who uses unlawful violence and intimidation, especially against civilians, in the pursuit of political aims .”

Someone who uses violent action, or threats of violent action, for political purposes .”

“orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.”

Kesamaan pengertian secara bahasa untuk merujuk pada teroris pada kenyataannya tidak berbanding lurus dengan pengertian teroris secara hukum.

Menurut M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut .

Definisi maupun pengertian terorisme telah beberapa kali dirumuskan baik oleh pada ahli, maupun berdasarkan pertemuan-pertemuan atau Konvensi-Konvensi. Menurut Black’s Law Dictionary , terorsisme merupakan kegiatan yang melibatkan unsusr kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia. Terorisme sering di kategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, terutama behubungan dengan hukum pidana karna menyangkut unsur-unsur di dalam pidana sendiri.

Unsur terorisme dalam Black’s Law Dictionary di jabarkan sebagai berikut;

  1. Mengitimidasi penduduk sipil
  2. Memengaruhi kebijakan pemerintah
  3. Memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.

Pengaturan atas terorisme sendiri cenderung jatuh kepada pengaturan nasional negara. Secara internasional tidak ada konsensus atas pendefinisian teroris atau kegiatan terorisme secara legal untuk skala internasional99. Upaya untuk merumuskan definisi mengenai teorirsme telah dimunculkan oleh beberapa ahli, permasalahan dalam pendefinisian terorisme terletak pada tidak mudahnya menentukan istilah, obyek, pengertian, dan syarat untuk dapat dikatakan sebagai tindakan terorisme.

Terorisme dalam tindakannya dapat mucul dalam berbagai bentuk, motif, tujuan, dan asal pelakunya sendiri. Quinney mengkategorikan terorisme dalam 2 jenis.

  • Pertama, crime of dominationa or repression yang secara metodologis dilakukan oleh kapitalis atau kelas penguasa dan antek-anteknya.

  • Kedua, adalah crime of aaccomodation atau crimes of resistance/ rebellion yang dilakukan oleh kelas pekerja atau kelas bawahan, yang merupakan kejahatan dalam rangka bertahan hidup.

Dengan tipologi terorisme yang terdiri dari 2 bentuk tersebut di atas, maka akar masalah yang menghasilkan tindakan terorisme paling tidak juga dapat dikelompokkan dalam 2 ciri.

  • Teror yang datang dari kelompok minoritas, akar masalah tindakan terorisme dari kelompok ini cenderung berdasarkan pada masalah marginalitas sosial atau ketidak puasaaan pada kebijakan atau pemerintahan itu sendiri.

  • Teror yang datang dari kelompok mayoritas/ penguasa, teror yang datang dari kelompok mayoritas cenderung untuk menunjukan rasa superioritas atau bahkan hanya sekedar adanya sentimen ketidak sukaan terhadap kelompok yang lebih minor dari kelompok ini sendiri. Teror yang datang dari penguasa memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kelompok tersebut sebelumnya. Teror yang dilakukan oleh penguasa cenderung berkaitan erat dengan tindakan negara. Terorisme yang dilakuakn oleh negara lebih dilakukan dalam rangka dominasi. Dominasi ini sendiri tidak terpaku pada kelompok mayoritas atau pun minoritas, karna jika berkaitan dengan kekuasaan maka kelompok sang penguasa ini sendiri yang secara aktif menjadi aktor dari terorisme yang dilakukan oleh negara.

Pendefinisian terorisme selain datang dari para ahli juga datang dalam bentuk peraturan-peraturan negara, mengingat terlepas jika terorisme merupakan kelompok yang memiliki lingkup secara internasional tetapi dalam kinerja dan dampak yang ditumbulkan lebih kepada kepentingan nasional.

Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat membuat defini terorisme dengan menyebutkan bahwa terorisme adalah tindakan yang menggunakan ancaman atau menggunakan kekerasan dengan tujuan politis, baik dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Dalam penjelasan tersebut definisi terorisme lebih dikerucutkan merujuk pada perorangan dan kelompok yang disertai dengan alasan tujuan politis, hal ini juga dijelaskan dalam UU No. 15 tahun 2013 tentang pemeberantasan tindak pidana terorirsme.

Pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).

  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7). Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Terorisme secara bentuk dan tindakan sering persamakan dengan kegiatan yang dilakukan oleh pemberontakan, mengingat tindakan yang dilakukan cenderung di kaitkan dengan adanya unsur kekerasan, perencanaan dan timbulnya korban. Teroris cenderung muncul karna adanya sifat militansi yang dimiliki oleh orang maupun kelompok terhadap paham ideologi, agama maupun kepercayaan, sifat militansi ini sendiri akan memunculkan rasa ekslusif dan dalam beberapa kasus memunculkan radikalisme didalam tubuh masyarakat sendiri. hal ini tidak jauh berbeda dengan munculnya aliran-aliran pemberontakan di dalam suatu negara .

Tindakan maupun upaya dalam skala internasional telah dilakukan oleh PBB guna menemukan kesamaan untuk mendefinisikan terorisme, mengingat walaupun terorisme merupakan permasalahan yang dimiliki oleh negara dan diatur secara nasional tetapi dalam proses pemberantasan terorisme pada dewasa ini cenderung mulai meluas dan terorganisir secara internasional atau sekarang lebih sering disebut dengan War on Teror.

PBB telah mengupayakan untuk menemukan definisi terorisme bahkan jauh sebelum di cetuskannya ide War on Teror oleh Amerika Serikat, PBB membentuk Ad Hoc Committe on Terrorism pada tahun 1972. Badan ini telah berupaya untuk menemukan definisi terorisme dengan beberapa kali pertemuan dalam jangka waktu kurang lebih 7 tahun tanpa adanya kesimpulan tentang definisi terorisme. Hal ini disebabkan oleh bervariasinya dan berbedanya pandangan negara-negara anggota PBB maupun para pakar hukum internasional tentang terorisme . Pentingnya definisi terorisme secara internasional adalah guna menjadi rujukan bagi para pakar hukum dan negara sebagai pemangku kewajiban untuk melindungi warga negaranya dan menghindari adanya keresahan sosial dalam negaranya sendiri.

Terorisme selain belum memiliki definisi hukum yang sama secara internasional, masalah jurisdiksi penanganan kasus terorisme sendiri memiliki beragam pandangan dalam cara penanganannya. Tindakan terorisme seiring dengan berjalannya waktu dianggap memiliki potensi besar untuk mengancam keamanan dan perdamaian dunia, sesuai dengan Chapter VII piagam PBB. Akibat hukum yang timbul dari piagam ini adalah adanya kewajiban bagi setiap negara untuk mengangkap, menuntut, dan menghukum atau mengekstradisi pelaku teroris .

Dengan adanya piagam ini menjadi pertanyaan adalah apakah terorisme merupakan kejahatan internasional (International Crime )?

Cherif Bassiouni merumuskan unsur-unsur suatu kejahatan dapat dikatan sebagai kejahatan internasional, sebagai berikut :

1. Unsur internasional. Yang termasuk ke dalam unsur ini adalah :

  • Ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan dunia.
  • Ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia.
  • Menggoyahkan perasaan kemanusiaan.

2. Unsur transnasional, yang termasuk kedalam unsur ini adalah :

  • Tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara.
  • Tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu negara.
  • Sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara.

3. Unsur kebutuhan ( necessity ), yang termasuk kedalam unsur ini adalah kebutuhan akan kerjasama antar negara-negara untuk melakukan pengaggulangan ( cooperation of states necessary to enforce ).

Kasus terorisme sendiri menurut statuta mahkamah pidana internasional ( International Criminal Court – ICC) tahun 1998, kejahatan terorisme bukan merupakan jurisdiksi ICC. Pasal 5 statuta ICC menjelaskan jurisdiksi ICC terhadap kejahatan internasional meliputi 4 hal, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi . Tetapi jika kasus terorisme telah masuk dalam tahapan memiliki dampak berskala global atau menganggu 2 atau lebih negara, terorisme dapat diajukan untuk diadili di ICC. Permasalahan yang muncul walaupun terorisme sudah membahayakan secara global muncul dari sifat ICC sendiri sebagai lembaga pelengkap ( complementary rigeme ), yang dimana suatu kasus hanya dapat diterima apabila negara yang memiliki yurisdiksi dalam suatu kasus tersebut tidak mau atau tidak mampu menyelidiki dan/atau mengadili kasus tersebut.

Penanganan Kasus terorisme walaupun merupakan kejahatan yang cenderung tidak mengenal batas teritorial negara atau tanpa batas. Negara sebagai korban atas tindakan terorisme tetap sebagai pemegang jurisdiksi penanganan kasus, walaupun tindakan yang dilakukan oleh seorang ataupun kelompok teroris dilakukan dalam beberapa negara. Pada dasarnya jurisdiksi dapat digolongkan ke dalam perinsip-perinsip sebagai berikut :

  1. Jurisdiksi teritorial
    Jurisdiksi teritorial merupakan kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk mengadili selama semua orang dan benda yang berhubungan dengan kasus yang terjadi masih dalam satu lingkup teritorial negara yang sama.

  2. Jurisdiksi personal
    Jurisdiksi personal memiliki 2 bentuk jurisdiksi, yaitu :

    • Prinsip jurisdiksi personal aktif
      Suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap pelaku kejahatan yang merupakan warga negaranya tanpa menghiraukan tempat dilakukannya perbuatan. Dalam perinsip ini negara dapat mengadili warga negaranya selama pelaku dapat diekstradisi ke negara asal.

    • Prisip jurisdiksi personal pasif
      Suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili setiap orang asing yang melakukan pelanggaran dan/atau tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

  3. Jurisdiksi perlindungan
    Jurisdiksi perlindungan mengatur bahwa negara memiliki jurisdiksi terhadap seluruh warga negara asing yang telah melakukan kejahatan di luar negeri, dimana kejahatan tersebut diduga dapat mengancam kepentingan, keamanan, kemerdekaan, serta seluruh hal vital bagi negara.

  4. Jurisdiksi universalitas
    Jurisdiksi universalitas adalah jurisdiksi yang dimiliki oleh setiap negara tanpa memperdulikan kewarganegaraan, tempat kejadian, dan korban. Biasanya jurisdiksi ini berlaku untuk kasus-kasus yang termasuk sebagai kejahatan internasional, seperti pembajakan, perdagangan manusia, kejahatan perang, genosida, dsb.

Berdasarkan uraian mengenai jurisdiksi diatas, maka dalam kasus terorisme yang sudah sangat berbahaya prinsip universalitas dapat saja di berlakukan. Sebagai contoh kasus Hambali, yang dimana Hambali dan kelompoknya melakukan serangkaian teror di sejumlah negara, yaitu Amerika Serikata, Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hambali diduga kuat mempunyai peran penting sebagai pendukung finansial dalam peristiwa-peristiwa terorisme seperti di Indonesia, yaitu Bom Bali 1 tahun 2000, Bom kedubes Filipina tahun 2000, Bom Bali 2 tahun 2002. Selain itu Hambali juga diduga kuat menjembatani kerjasama antara kelompok Jemaah Islamiyah dengan Al-Qaeda yang dituduh Amerika Serikat sebagai pelaku serangan 11 September 2001. Hambali di tangkap di thailand 12 agustus 2003 di apartemen kota Ayuthaya, Thailand oleh otoritas keamanan Thailand. Atas permintaan Amerika Serikat kemudian Thailand memberikan hak untuk mengadili kepada Amerika Serikat dan dipindahkan ke Kamp Tahanan Guantanamo milik Amerika Serikat di kuba .

Berdasarkan kasus dijelaskan di atas, dapat terlihat bahwa Hambali sebagai salah satu pelaku tindakan terorisme melakukan aksinya dalam beberapa teritorial negara yang berbeda. Tiap-tiap negara yang menjadi korban dari Hambali dan kelompoknya pada dasarnya memiliki jurisdiksi untuk mengadili, tetapi semua ini kembali kepada negara apakah ingin mengadili, mengektradisi, memberi akses negara lain untuk menangkap pelaku ataupun tidak melakukan tindakan apapun.

Terorisme walaupun sudah sesuai untuk dinyatakan sebagai kejahatan internasional (international crime) yang tergolong ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). tetapi hambatan atas penanganan terorisme secara internasional sendiri terdapat pada tidak adanya konsensus secara internasional tentang definisi dari terorisme, dan terbatasnya kerjasama antar negara.