Apa yang dimaksud dengan Teori Stabilitas Hegemonis?

Teori Stabilitas Hegemonis

Tesis utama Teori Stabilitas Hegemonis menyatakan bahwa, suatu sistem ekonomi dunia yang stabil membutuhkan satu kepemimpinan tunggal yang bersedia menjalankan peranan sebagai penjaga stabilitas.

Apa yang dimaksud dengan Teori Stabilitas Hegemonis ?

Salah satu tokoh utama pendukung teori stabilitas hegemonis ini adalah Charles P. Kindleberger. Melalui berbagai tulisannya Kindleberger menyatakan bahwa teori ini memiliki keunggulan di dalam menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional. Sementara istilah “hegemoni” berasal dari salah seorang intelektual NeoMarxis Italia, yakni Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, hegemoni bukanlah merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan kekerasan, melainkan satu hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi yang dibina berdasarkan mekanisme konsensus. Hegemoni merupakan suatu usaha sistematik dari kelas yang berkuasa untuk menanamkan fahaman dominannya agar tetap berkuasa dengan cara menanamkan keyakinankeyakinan tertentu ke dalam fikiran dan cara hidup masyarakat (Brown, 2001). Dengan kata lain, hegemoni berlaku jika ideologi, nilai-nilai, keyakinan, cara hidup, dan sistem, daripada golongan yang mendominasi telah diambil alih dan diterima secara sukarela oleh yang didominasi.

Tesis utama Teori Stabilitas Hegemonis menyatakan bahwa, suatu sistem ekonomi dunia yang stabil membutuhkan satu kepemimpinan tunggal yang bersedia menjalankan peranan sebagai penjaga stabilitas. Kekuatan itu mestilah suatu kuasa ekonomi, politik, sosial dan militer yang berkuasa secara dominan dan mampu menjadi “jangkar” bagi berlangsungnya sistem yang ada (Keohane, 1988). Negara atau kekuasaan yang menjadi pemimpin ini hendaklah mampu menegakkan aturan-aturan sedemikian rupa sekaligus pelindung bagi kepentingan negara-negara yang lebih kecil. Dia mampu menyediakan jalan keluar bagi produk-produk negara lain yang sulit dipasarkan, menyediakan modal (sebagai donor) bagi negara-negara lain yang membutuhkan, berperan sebagai pemberi pinjaman bila terjadi krisis financial yang mengancam stabilitas kawasan maupun global, menjaga struktur nilai tukar, dan mengkoordinasikan kebijakan makroekonomi agar tetap seimbang, memiliki kapasitas mengontrol perilaku investasi, dan lain-lain.

Dalam pandangan teori ini struktur kekuatan hegemonis yang didominasi oleh suatu kuasa tunggal akan memberikan kepastian atau suasana kondusif bagi pengembangan rezim internasional yang kuat dan stabil. Ekonomi dunia tidak akan mudah menghadapi guncangan serta tekanan berat sekiranya sang kuasa hegemonis itu mampu bertindak atas nama masyarakat ekonomi internasional. Karena dalam pandangan teoritisi hegemonis, suatu sistem ekonomi yang liberal dan terbuka tidak bisa dibiarkan dengan sendirinya tanpa adanya kendali dari suatu kekuatan hegemonis tertentu. Tanpa adanya kekuatan hegemonis, dikhawatirkan terjadi benturan kepentingan ekonomi yang keras di antara bangsa-bangsa, bahkan juga anarkhi, di mana negara yang kuat akan memangsa negara-negara yang lemah. Dalam kaitan ini Kindleberger lebih sering menyebut istilah “kepemimpinan” ketimbang hegemoni.

Para teoritisi stabilitas hegemonis berpendapat bahwa semua negara berkepentingan untuk menjaga agar struktur kekuatan hegemonis tidak runtuh, karena hal tersebut akan menimbulkan penurunan rezim internasional yang kuat dan stabil. Karena jika struktur kekuatan hegemonis runtuh maka norma-norma, aturan-aturan, dan kerangka ekonomi liberal akan berantakan juga (Keohane, 1988). Sistem perdagangan liberal membutuhkan hadirnya kekuatan hegemonis. Meskipun demikian, teori ini tidak menyatakan bahwa perekonomian internasional tidak berjalan atau tidak berfungsi sekiranya kekuatan hegemonis itu absen. Mereka hanya menegaskan bahwa prinsip-prinsip ekonomi liberal yang non diskriminasi, terbuka, dan fair , dengan segala tertib serta aturan mainnya sukar ditegakkan jika tanpa ada kekuatan hegemonis tertentu yang dapat menjadi “jangkar” penjaga.

Bagaimanapun hegemoni tanpa adanya komitmen terhadap pasar (liberal) akan mengarah menjadi sistem imperial dan menimbulkan hambatan-hambatan ekonomi dan politik atas negaranegara lemah. Negara-negara yang kuat akan dengan mudah dan semaunya memaksakan kepentingannya tanpa mengiraukan adanya tertib internasional. Karena itu, persamaan tujuan sosial dalam mendukung suatu sistem liberal harus ada di antara kekuatan-kekuatan ekonomi utama, khususnya negara-negara besar ( big power ) ataupun negara-negara middle power dengan pengaruh ekonomi, politik, maupun militer yang kuat. Negara-negara tersebut harus dipastikan akan memperoleh keuntungan dalam pertumbuhan hubungan pasar, sekiranya sistem hegemonis tegak. Dalam konteks ini, negara hegemonis dapat mendorong, tetapi tidak dapat memaksa, negara-negara yang memiliki kekuatan lainnya mengikuti aturan-aturan dari suatu perekonomian dunia yang terbuka. Kita bisa memahami contoh ini dengan melihat bagaimana langkah-langkah Amerika Serikat dan negara-negara G-8 dalam mendorong tertib internasional liberal dua dekade belakangan.

Usaha-usaha penegakan kepemimpinan hegemonis dilakukan berdasarkan persetujuan serta kepercayaan umum. Tahapan tersebut dicapai melalui suatu tingkat konsensus ideologi (atau menurut Antonio Gramsci disebut “hegemoni ideologi”) yang didukung negara-negara besar lainnya. Prasyarat dukungan ini sangat diperlukan sebagai kekuatan penyangga sang negara pemimpin. Namun, jika negara-negara besar lainnya itu mulai memandang tindakan dari negara hegemonis sebagai berlawanan dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri, maka sistem hegemonis akan menjadi goyah. Sistem itu juga akan guncang jika rakyat dari kekuatan hegemonis melihat bahwa negara-negara besar lain sedang menipu, ataupun mereka merasa bahwa keuntungan yang diraih sebagai negara pemimpin tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan.

Jaminan adanya keuntungan secara proporsional, baik terhadap sang negara pemimpin maupun kekuatan-kekuatan besar yang menjadi pilar penyokong mutlak diperlukan. Hal yang sama juga berlaku bagi kekuatan-kekuatan (negara-negara) lain yang menjadi pendukung sistem tersebut yang dengan sukarela mensubordinasikan kepentingan mereka terhadap kelanjutan sistem.

Dalam hal ini kemampuan negara hegemonis sangat diperlukan. Sebagaimana dikemukakan oleh Gilpin & Gilpin (2002: XVI):

Negara-negara individual dan kelompok-kelompok berkuasa di dalam negara-negara yang percaya bahwa ekonomi dunia berfungsi tidak adil dan merugikan mereka, atau yang ingin mengubah sistem demi keuntungan mereka sendiri dan merugikan yang lain, adalah ancaman yang selalu ada terhadap sistem ini. Sistem kapitalisme internasional tidak mungkin dapat bertahan tanpa adanya kepemimpinan yang kuat dan bijak. Kepemimpinan internasional harus mendorong kerjasama internasional untuk membangun dan memperkuat aturan-aturan yang mengatur perdagangan, investasi asing, dan hubungan-hubungan moneter…kepemimpinan perlu meyakinkan akan setidaknya terdapat pengamanan minimum terhadap mereka yang kalah oleh kekuatan-kekuatan pasar dan proses penghancuran kreatif; mereka yang kalah setidaknya harus percaya bahwa sistem berfungsi secara adil.

Dalam sejarah perkembangan ekonomi politik internasional terlihat bagaimana selama abad ke 19 sistem ekonomi liberal berkembang dengan stabil dengan kepemimpinan hegemonis Inggris. Dengan kemampuan yang dimilikinya, baik ekonomi, politik, maupun militer, Inggris sanggup menyangga norma-norma ekonomi liberal dan mampu menjadi stabilizer perekonomian internasional. Sepanjang abad tersebut tidak ada satupun kekuatan utama dunia yang mampu menyaingi pengaruh Inggris. Namun demikian, memasuki abad ke abad 20 pergeseran-pergeseran baru terjadi dan secara alamiah hegemoni Inggris mengalami kemerosotan.

Puncaknya adalah ketika terjadi malaise ekonomi (krisis ekonomi) besar pada tahun 1930 yang menyebabkan kepemimpinan hegemonis Inggris runtuh. Negara tersebut dianggap gagal menjaga stabilitas, tertib, dan norma-norma ekonomi liberal. Pengaruhnya dalam kepemimpinan ekonomi dan politik dunia diambil alih oleh Amerika Serikat. Pasca Perang Dunia II pengaruh Amerika Serikat semakin kuat sebagai negara adidaya, dan secara bersamaa n muncullah Sistem Bretton Woods yang menjadi dasar dari sistem ekonomi liberal dewasa ini. Sebagai negara besar dengan segala kemajuan di segala bidang Amerika Serikat kemudian menjadi kekuatan hegemonis baru yang sampai sejauh ini sukar ditandingi.

Brawley mengungkapkan bahwa hegemoni yang bertahan lama berarti hegemoni negara tersebut cenderung stabil. Stabilitas hegemoni didukung oleh aspek kemampuan suatu negara dalam menyediakan kebutuhan negara-negara secara bebas dan menjadi pusat dalam sistem internasional. Pemusatan tersebut dapat dilihat dari koalisi kolektif yang dilakukan negara-negara dengannya.

Sehingga menurut Adam Watson dan Gerry Simpson stabilitas hegemoni dapat dilihat melalui dua unsur yaitu: pertama, dari kolektivitas (kuantitas dan kualitas perjanjian dan kerja sama antara negara anggota dengan hegemon), kemudian kedua dari legitimasi hegemoninya (diterimanya hegemoni negara tersebut)

Dimensi stabilitas hegemoni dengan begitu menjadi patokan model pengukuran dalam menilai bentuk dan sifat institusi yang hadir, yang terdiri dari: koletivitas, singularitas, inklusivitas, dan koalisi. Keempat dimensi tersebut merupakan inti dari stabilitas hegemoni suatu negara di dunia.

Suatu negara dalam menjaga stabilitas hegemoni, dapat berperan dan menempatkan diri secara individu, kolektif, atau keduanya; melalui kerja sama yang inklusif dan universal. Model hegemoni perlu disertakan dalam bentuk horizontal guna untuk memperlihatkan adanya upaya penyebarluasan, serta menjadi pembanding hegemoni negara-negara yang berlaku. Hal ini juga dapat digunakan sebagai bentuk analisis untuk melihat pergerakan hasil dan periode hegemoni dan stabilitasnya. Model horizontal tersebut diperlihatkan dalam gambar berikut.

image

Ada tiga elemen utama yang perlu dipertimbangankan dan diperhitungkan guna membandingkan hegemoni yang ada, antara lain: kesetaraan power hegemoni antar negara, aksi great powers, posisi negara hegemoni berupa upaya-upaya yang legitimasi aksinya untuk mendapat penerimaan dari negara lain (negara yang posisinya berada di bawahnya).

  1. Kesetaraan power hegemoni yang diukur dari elemen power hegemoni.

  2. Aksi negara berkekuatan melalui kerja sama, yaitu terdiri dari kuantitas dan kualitas kerja sama yang dilakukan.

  3. Posisi dari atas yaitu terdiri dari upaya-upaya negara hegemon yang bersifat legitimasi dan diterima dari bawah (negara lain).

Tahap yang dilakukan oleh negera hegemoni setelah analisa perbandingan hegemoni antar negara menurut Keohane adalah membentuk kerja sama formal yang di dalamnya berisikan institusi atau aturan-aturan untuk disepakati dan mengikat negara anggotanya.

Kerja sama formal merupakan tingkat kerja sama dengan legalitas tertinggi yang membawa norma atau aturan yang mampu mengatur perilaku negara anggota sehingga negara hegemon dapat mengontrol negara mitranya.