Apa yang dimaksud dengan Teori Razim (Regime Theory)?

Regime Theory

Teori rezim adalah sebuah teori hubungan internasional yang berasal dari tradisi liberal. Teori rezim berpendapat bahwa organisasi internasional atau rezim internasional memengaruhi perilaku negara dan pelaku internasional lainnya. Teori ini menyatakan bahwa kerja sama mungkin terjadi dalam sistem anarki dunia karena rezim sendiri adalah hasil dari kerja sama internasional.

Apa yang dimaksud dengan Teori Razim (regime theory) ?

Rezim internasional didefinisikan sebagai seperangkat norma-norma, peraturan-peraturan dan prosedur pembuatan keputusan baik yang eksplisit maupun implisit dimana semua harapan para aktor berkumpul dalam hubungan internasional (1981).

Rezim internasional dianggap memiliki kemampuan mengkoordinasikan prilaku negara .

Rezim harus dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar ”perjanjian sementara” (temporary agreement) yang mengalami perubahan setiapkali terjadi perpindahan atau pergeseran dalam ”power” atau ”interest” 4 (empat) hal yang mutlak ada dalam Rezim Internasional sekaligus menjadi cirinya adalah :

1. Principles
Yaitu kepercayaan atas fact, causation, dan rectitude.

2. Norms
Adalah standar perilaku yang dituangkan dalam hak dan kewajiban

3. Rules
Adalah bentuk ketentuan dan larangan yang spesifik berkenaan dengan perilaku tadi.

4. Decision Making Procedures
Adalah praktek umum untuk membuat dan mengimplementasikan keputusan bersama (Collective Choices).

NORMA DALAM REZIM INTERNASIONAL

Berdasarkan perilaku dalalm membuat prosedur pengambilan keputusan dan perilaku dalam merumuskan serta mengimplementasikan peraturan, ada dua bentuk norma:

  1. Substantive Norms
    Menyediakan standarisasi yang spesifik mengenai aturan prilaku

  2. Procedural Norms
    Memberikan panduan bagaimana negara harus merancang dan mempergunakan mekanisme pembuatan keputusan.

Sedangkan norma berdasarkan asal-usulnya dibagi berdasarkan:

  1. Sovereignity Norms
    Norma-norma yang lahir atau dibentuk oleh struktur dasar politik internasional

  2. Interdependence Norms
    Norma yang muncul dari interdependensi negara dalam isu-isu tertentu yang meningkatkan kebutuhan negara berkolabolari dalam mengejar kesejahteraan.

SIFAT DAN JENIS REZIM INTERNASIONAL

Dilihat dari resiko/uncertainty dalam Rezim, maka ada beberapa tipe Rezim internasional:

  1. Control-oriented Regimes
    Hampir seluruh rezim internasional memiliki sifat control-oriented Masing-masing anggota mempertahankan tingkat pengawasan perilaku masing-masing untuk mengurangi ketidakpastian dan kecurangan dalam aktivitas yang tidak terkondisikan.

    Tipe rezim ini memiliki dua bentuk regulasi:

    1. Internal Regulation
      Diperuntukan pada pengaturan pola dan perilaeku diantara anggota rezim

    2. Environmental Regulation
      Diperuntukan sebagai aturan bagi anggota berperilaku diluar lingkungan rezim.

  2. Mutual-Oriented Regimes
    Tipe ini tidak terlalu banyak dan biasanya disebut sebagai Insurance Regimes.

Menurut Stephen D. Krasner (1982), pengertian rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan yang bersifat eksplisit maupun implicit dan saling berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional.

Sedangkan Donald Puchala dan Raymond Hopkins berpendapat bahwa rezim ada di setiap substantif isu-area dalam hubungan internasional di mana pun ada keteraturan dalam perilaku, beberapa jenis prinsip, norma atau harus ada aturan untuk menjelaskannya.

Dalam perkembangannya, Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, rezim internasional muncul sebagai fokus terpenting dan utama dari hasil penelitian secara empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional.

Akan tetapi, menurut Young ada beberapa komponen dasar yang terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan implementasi.

  • Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturan-aturan rezim.
  • Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama.
  • Ketiga, implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai bersama.

Rezim ini dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama.

Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins yang juga mendukung pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:

  • Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral;

  • Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme atau prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan;

  • Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang;

  • Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan dan mematuhi aturan yang telah dibuat;

  • Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan.

Referensi

T. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, “ Theories of International Regimes”, International Organization, Vol. 41, No. 3 (Summer, 1987).
Oran R. Young, 1982, ”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,published by The MIT Press.

Apa yang dimaksud Teori Rezim (Regime Theory)?

Menurut Oran R. Young, rezim merupakan institusi sosial yang mengatur tindakan anggotanya yang tertarik pada sebuah aktifitas yang spesifik, secara singkat rezim adalah sebuah struktur sosial. Hal ini penting untuk tidak salah mengartikannya sebagai sebuah fungsi, meskipun dalam berjalannya sebuah rezim sering memberikan kontribusi dalam pemenuhan fungsi-fungsi tertentu. Seperti struktur lainnya, rezim mungkin lebih atau kurang formal diartikulasikan, dan mereka mungkin atau mungkin tidak disertai dengan pengaturan organisasi yang eksplisit.

Rezim internasional berkaitan dengan aktifitas-aktifitas anggota sistem internasional. Biasanya, kegiatan ini dilakukan sepenuhnya di luar batas-batas yurisdiksi negara-negara berdaulat, atau memotong melintasi batas-batas yurisdiksi internasional, atau melibatkan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kepentingan dua atau lebih anggota masyarakat internasional. Dalam istilah formal, para anggota rezim internasional selalu negara-negara berdaulat, meskipun pihak-pihak yang melaksanakan tindakan diatur oleh rezim internasional yang lebih sering merupakan organisasi swasta.

Inti dari setiap rezim internasional adalah kumpulan hak dan aturan. Hak adalah sesuatu yang aktor (individu atau sebaliknya) dapatkan sesuai berdasarkan peran yang diakui. Berbeda dengan hak, peraturan adalah panduan yang terdefinisi dengan baik untuk bertindak atau sebuah pengaturan standar atas tindakan-tindakan anggota dari beberapa kelompok yang diharapkan untuk dilakukan (atau untuk menahan dari melakukan) di bawah keadaan tertentu.

Menurut Krasner, “rezim” dapat diaplikasikan sebagai intervening variable dalam menjelaskan hubungan antara peran negara dan institusi internasional yang ada. Definisi “rezim” menurutnya yaitu “ international regimes are defined as principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area .” - Prinsip ( principles ) didefinisikan sebagai kepercayaan atas fakta, variable penyebab ( causation ), dan pembenaran ( rectitude ). Norma (norms) adalah standar perilaku yang mendefinisikan hak dan kewajiban anggotanya. Peraturan ( rules ) adalah resep ( prescription ) atau larangan ( proscription ) atas aksi. Prosedur perumusan kebijakan ( decision-making procedures ) adalah praktik umum dalam perumusan dan pengimplementasian pilihan kolektif. Dengan dasar definisi tersebut, Krasner melanjutkan bahwa sebuah rezim bersifat temporer atau ad hoc .

Evolusi Teori Rezim

Evolusi Teori Rezim

Dengan mengamati substansinya yang mengatur tentang prinsip, norma, aturan, dan prosedur relasi, perjanjian Westphalia dapat digolongkan sebagai suatu rezim. Secara populer, rezim kerap didefinisikan sebagai “ sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a given area. ”Perjanjian Westphalia cocok dengan definisi rezim ini. Berangkat dari kecocokan ini, dengan demikian, diskusi seputar perjanjian Westphalia menjadi lebih komprehensif dan berfaedah dengan menempatkannya pada perdebatan teoritik tentang rezim yang saat ini cukup marak diperdebatkan.

Pada tahun 1980-an terjadi perdebatan tajam di kalangan teoritisi HI mengenai pengaturan ( arrangements ) kerjasama di level antar-negara, atau yang sering disebut-sebut sebagai rezim internasional. Salah satu topik perdebatan yang cukup mendominasi saat itu berkaitan dengan peran rezim dalam memfasilitasi kerjasama dalam konteks anarki. Di salah satu kubu yang disebut-sebut sebagai ‘neoliberal institusionalis’, kerjasama dimungkinkan terjadi di kala partisipan kerjasama tersebut (utamanya negara) memiliki kepentingan yang sama atas manfaat dari kerjasama tersebut. Manfaat ini dengan demikian menjadi keuntungan absolut ( absolute gain ) yang akan didapat seluruh partisipan kerjasama (mis. pencegahan penipisan Ozon, perdamaian dunia, stabilitas makroekonomi global, dst.). Bagi kubu ini, keuntungan absolut merupakan faktor utama terjadinya kerjasama, sekalipun dalam konteks anarki.

Tidak demikian bagi lawan kubu ini, yaitu realis, yang menganggap konsepsi keuntungan absolut justru mengaburkan para neoliberal institusionalis dari kemungkinan-kemungkinan penyelewengan kerjasama secara sengaja. Bagi para realis seperti Joseph Grieco, salah satu yang paling vokal dalam debat ini, kerjasama demikian dapat tidak efektif (bahkan bubar) saat setidaknya salah satu partisipannya melakukan kecurangan. Menurutnya, neoliberal institusionalis terlalu meremehkan anarki; kecurangan, yang notabene “sah-sah saja” dalam konteks anarki, adalah rintangan terbesar yang sangat mungkin terjadi dalam kerjasama diantara aktor-aktor yang rasional dan egoistik di kala tidak ada otoritas sentral dalam dunia internasional.

Rezim internasional pada umumnya bersifat transparan, informasi terdistribusi secara merata di antara segenap partisipan. Akibatnya, setiap pihak dapat mengira-ngira keuntungan yang didapat pihak lainnya. Tepat di sinilah dimensi rasional-egoistik dari aktor kerjasama diaktifkan. Setiap pihak akan khawatir dengan keuntungan relatif, atau keuntungan lain (bonus) di luar keuntungan absolut, yang didapat pihak lain: “kita akan melakukan yang terbaik bagi kepentingan bersama, tetapi yang lebih penting tidak ada yang boleh melebihi saya.” Skenario kecurangan terburuk yang mungkin terjadi adalah pihak tersebut mundur dan menarik diri di tengah-tengah implementasi kerjasama tersebut, dan dengan demikian menggembosi rezim kerjasama tesebut—suatu hal yang tentunya tidak mustahil dalam situasi anarki. Akhirnya, egoisme (subyektivitas) aktor lagi-lagi menjadi halangan bagi terwujudnya kolaborasi bersama.

Adalah John Ruggie yang dengan cermat mengajukan tawaran untuk meninggalkan pesimisme realis akan kerjasama tanpa harus mengulangi kenaifan— sebagaimana anggapan kaum realis terhadap—kubu neoliberal institusionalis. Bagi Ruggie, rezim tidak dapat disamakan dengan institusi, sekalipun keduanya tidak terpisahkan: rezim merupakan perangkat lunak dari institusi. Ia melihat bahwa di antara variabel rezim dan insitusi terdapat variabel lain, yaitu institusionalisasi. Institusi, dengan demikian merupakan efek dari institusionalisasi suatu rezim yang telah ada mendahuluinya ke dalam suatu organisasi legal formal. Hal ini membuat Ruggie menyarankan agar institusi dipandang sebagai perwujudan dari suatu rezim melalui suatu proses institusionalisasi. Akhirnya, segala pembahasan seputar rezim sebaiknya tidak dimulai dari institusi atau organisasi internasional kemana rezim itu terinstitusionalisasi, melainkan justru pada proses institusionalisasi tersebut.

Berdasarkan aktualitasnya (tangibility ), Ruggie melihat tiga level berbeda dalam proses institusionalisasi di dunia internasional: dari yang paling abstrak, yaitu ‘komunitas epistemik’, lalu ‘rezim internasional’, dan akhirnya yang paling kongkrit, ‘organisasi internasional’. Komunitas epistemik merupakan jaringan antara pihak- pihak yang memiliki kesamaan dalam keyakinan dan cara pandang tertentu akan dunia/realitas ( episteme ). Keyakinan dan cara pandang demikian akan tampak pada respon masing-masing pihak atas suatu fenomena global. Pertemuan keyakinan dan cara pandang ini berikutnya akan membentuk suatu kolektivitas respon yang apabila disepakati lebih lanjut, diterjemahkan ke dalam “seperangkat tujuan dan harapan bersama, aturan dan regulasi, rencana kerja, dan komitmen finansial”—rezim. Apabila pihak-pihak yang menyepakatinya adalah negara, maka rezim itu sah disebut sebagai rezim internasional. Institusionalisasi terakhir sekaligus yang paling kongkrit adalah institusi atau organisasi internasional yang merupakan “rumah” bagi rezim internasional tadi. Organisasi internasional merupakan tempat dimana perencanaan, eksekusi, dan evaluasi rezim dilaksanakan. Sehingga jelas perbedaan di antara keduanya: di satu sisi, rezim internasional merupakan cikal-bakal organisasi internasional, tetapi di sisi lainnya organisasi internasional merupakan tempat di mana rezim internasional diawasi implementasinya, dikembangkan, bahkan diciptakan varian-varian barunya.

Sekedar merangkum, sampai di sini pemaparan Ruggie mampu menjelaskan proses terbentuknya suatu rezim internasional dan bagaimana kelangsungannya yang dilembagakan dalam suatu institusi internasional. Pada mulanya adalah kesamaan keyakinan dan pandangan hidup. Komunikasi di antara penganut keyakinan tersebut pada akhirnya berbuah komitmen. Komitmen ini pada gilirannya akan membidani lahirnya suatu rezim internasional, atau manifestasi praktis atas keyakinan dan pandangan hidup tadi. Akhirmya, didirikanlah suatu institusi internasional untuk melestarikan dan mengembangkan rezim tersebut. Namun penjelasan ini nampaknya belum cukup untuk memahami kemunculan suatu rezim tersebut. Dari mana asalnya kesamaan keyakinan dan pandangan hidup tersebut? Apa kriterianya agar ia dapat diproses lebih lanjut menjadi suatu rezim? Dan apa yang akhirnya menjadi kunci sukses suatu institusi dalam merawat rezim internasional?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, adalah penting untuk sejenak melihat kondisi seperti apa yang memungkinkan pertanyaan demikian muncul. Ruggie melihat kondisi ini sebagai ketidak-sesuaian antara epistemologi dan ontologi dalam teori-teori rezim. Sebagaimana dibahas di atas, secara ontologis rezim merupakan pertemuan keyakinan dan pandangan hidup; dengan kata lain rezim merupakan suatu bentuk intersubyektivitas. Namun anehnya, epistemologi dominan dalam analisis rezim hampir seluruhnya positivistik. Positivisme memisahkan secara tegas antara subyek dan obyek, lalu dengan alasan bebas-nilai ia memfokuskan diri pada ranah (yang dikiranya) ‘obyektif’. Akibatnya seluruh fenomena yang terjadi di luar subyek, jatuh pada kategori ‘obyek’ dan dianalisis dengan kacamata ‘obyektif’ pula. Hal serupa diderita kebanyakan analisis rezim. Rezim merupakan fenomena obyektif yang terjadi di luar subyek, namun demikian karakteristik utamanya adalah ‘inter- subyektif’. Saat teori rezim yang positivistik menganalisis suatu rezim, maka seluruh intersubyektivitas rezim tersebut akan tereduksi pada kategori ‘prilaku rasional’ yang dapat (dipaksakan secara brutal untuk) terkuantifikasi. Positivisme nampaknya kekurangan perbendaharaan kata untuk mengartikulasikan daya intersubyektif yang kualitatif ini, sehingga analisisnya akan senantiasa jatuh pada nominalisme dan formalisme.

Ruggie berusaha mengisi kekosongan ini dengan memperhatikan dimensi kualitatif dari rezim internasional. Ia memulainya dengan mereformulasi konsep ‘multilateralisme’. Multilateralisme merupakan salah satu varian/ajektif dari segala bentuk institusionalisasi (komunitas, rezim, organisasi). Sebagai varian, multilateralisme sejajar dengan bilateralisme, unilateralisme dan imperialisme.

Namun demikian, dibandingkan ketiga yang lainnya, multilateralisme merupakan ciri utama dari dimensi institusional hubungan internasional modern. Dalam kalimat Ruggie, “ Multilateralism is a generic institutional form of modern international life,”12 sehingga membicarakan rezim internasional, berarti hampir pasti juga membicarakan suatu bentuk multilateralisme.13 Multilateralisme Ruggian dimulai dari kritik terhadap salah seorang punggawa teoritisi rezim, Robert Keohane, atas konsepsi multilateralismenya.14 Definisi Keohane bahwa multilateralisme merupakan “ the practice of co-ordinating national policies in groups of three or more states ,”15 dianggap Ruggie terlalu nominalis dan mengabaikan dimensi kualitatif multilateralisme itu sendiri. Baginya, kekhasan multilateralisme “ is not merely that it coordinates national policies in groups of three or more states, which is something that other organizational forms also do, but that it does so on the basis of certain principles of ordering relations among those states . ”16 Prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antar negara tersebut dijabarkan lagi sebagai, “ of ‘generalized’ principles of conduct—that is, principles which specify appropriate conduct for a class of actions, without regard to the particularistic interests of the parties or the strategic exigencies that may exist in any specific occurrence.

Dari definisi ini, Ruggie menunjukkan dua modalitas yang menjadi konsekuensi logis dari definisi multilateralismenya: 1) indivisibilitas ( indivisibility ) dan 2) ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang ( diffuse reciprocity ). Modalitas pertama, invidivisibilitas, yaitu keuntungan yang mutlak didapat oleh setiap pihak yang berpartisipasi dalam suatu rezim.19 Hal ini wajar semenjak dasar pembentukan rezim tersebut, yang darinya indivisibilitas berasal, merupakan prinsip-prinsip umum yang menyatukan para partisipan rezim. Lalu dikatakan ‘mutlak’ karena indivisibilitas merupakan alasan paling utama (sekalipun bukan satu-satunya), pertama, sekaligus terakhir bagi setiap pihak untuk ikut menyelenggarakan rezim dan melaksanakan kesepakatan yang dihasilkannya. Dengan bahasa yang sedikit retorik, indivisibilitas berbicara tentang perkara “ambil atau mati.” Sementara modalitas kedua akan mengikuti ( contingent ) setelah tercapainya/ terkonstruksinya modalitas pertama. Dengan kata lain, semenjak indivisibilitas merupakan perkara “ambil atau mati,” maka efek dari rezim yang disepakati tersebut tentunya diharapkan bertahan untuk kurun waktu yang panjang, bahkan selama- lamanya.

Hal yang perlu ditekankan terkait kedua modalitas multilateralisme diatas adalah bahwa keduanya merupakan suatu konstruksi sosial ! Prinsip-prinsip umum yang menyatukan tadi bukanlah suatu universalitas yang turun dari kayangan dan sekonyong-konyong merangkul seluruh partisipan; sebaliknya, ia merupakan hasil dari kerja universal- isasi, general -isasi, umum -isasi . Tidak berhenti di sini, prinsip yang dijadikan umum ( general- ized) tadi nantinya akan (dan harus) diyakini oleh segenap partisipan. Jadi, semisal dalam skema collective security,states behave as if peace were indivisible and thereby make it so ,” dan “ each state had to believe that its current sacrifices would in fact yield a long-run return, that others would not renege on their implicit commitments when they found themselves in tempting position"

Sampai di sini sangat jelas bahwa “pekerjaan rumah” terberat bagi suatu rezim agar dapat sukses adalah mengkonstruksi suatu indivisibilitas yang dapat merangkul kepentingan, ekspektasi, bahkan identitas segenap partisipan di satu sisi, dan di sisi lain meyakinkan segenap partisipan tadi bahwa partisipasi dalam rezim adalah pilihan terbaik—sekaligus yang dapat “menyelamatkan” mereka.