Apa yang dimaksud dengan Teori Experential Learning ?

Pembelajaran Eksperiensial

Pembelajaran Eksperiensial atau Experential Learning adalah proses belajar melalui pengalaman, dan lebih spesifik didefinisikan sebagai “belajar melalui refleksi tentang melakukan”

Apa yang dimaksud dengan Teori Experential Learning ?

1 Like

Model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang diharapkan dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna, dimana murid mengalami apa yang mereka pelajari. Melalui model ini, murid tidak hanya belajar tentang konsep materi belaka karena dalam hal ini murid dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk dijadikan suatu pengalaman. Hasil proses pembelajaran experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi juga subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan menstransformasi pengalaman.

Pepatah mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Hal yang sama telah dikemukakan oleh confusious beberapa abad lalu

what I hear, I forget, what I hear and I see, I remember a little, what I hear, see and ask questions about or discus with some one else, I begin to understand, what I hear see, discus and I do, I acquire knowledge and skill what I teach to another I master”.

Jika pernyataan confusius tersebut dikembangkan secara sederhana, maka akan didapat suatu cara belajar berupa cara belajar dengan mendengar akan lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengar, melihat dan mendiskusikan dengan murid lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, dan mendiskusikan dengan murid lain akan paham dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara menguasai pelajaran yang terbaik adalah dengan cara mengerjakan. Dengan mengalami materi belajar secara langsung, diharapkan murid dapat lebih membangun makna serta kesan dalam memori atau ingatannya.

Seperti halnya sebuah proses pembelajaran kontekstual yang menghubungkan dan melibatkan murid dengan dunia nyata, model ini pun lebih mengedepankan model connected knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata) dengan demikian pembelajaran dianggap sebagai bagian dari integral dari sebuah kehidupan.

Konsep Model Experiential Learning


Experiential learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran Experiential learning , dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980 an. Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistic dalam proses belajar. Dalam Experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “experiential” disini untuk membedakan antara belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih dari pada afektif. Dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar.

Model experiential learning adalah suatu model proses belajar mengejar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, Experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuan dalam proses pembelajaran.

Mahfudin menyimpulkan bahwa model Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus-menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar. Tujuan dari model ini adalah untuk mempengaruhi murid dengan tiga cara, yaitu:

  • Mengubah struktur kognitif murid,
  • Mengubah sikap murid, dan
  • Memperluas keterampilan-keterampilan murid yang telah ada.

Ketiga elemen itu saling berhubungan dan memengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena apabila salah satu elemen tidak ada, maka kedua elemen lainnya tidak akan efektif.

Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan murid secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh murid sendiri, dan adanya efek yang membekas pada murid. Model experiential learning memberi kesempatan kepada murid untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi focus mereka, keterampilan-keterampilan apa yang ingin mereka kembangkan, dan bagaimana mereka membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami.

Melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang dilakukannya tersebut. Pengalaman yang sudah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrakyang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out). Sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategori dalam proses penerapan (taking action).

Menurut experiential learning theory agar proses belajar mengajar efektif, seorang murid harus memiliki empat kemampuan, yaitu :

  • Concrete experience (CE) : Murid melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman baru. Hal yang paling diutamakan adalah Feeling (perasaan)

  • Reflection observation (RO) Murid mengobservasi dan merefleksikan atau memikirkan pengalaman dari berbagai segi. Hal yang paling diutamakan adalah
    Watching (mengamati)

  • Abstract conceptualization (AC). Murid menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat. Hal yang paling diutamakan adalah Thinking (berfikir)

  • Active experimentation (AE). Murid menggunakan teori untuk memecahkan masalah-masalah dan mengambil keputusan. Hal yang paling diutamakan adalah Doing (berbuat)

Siklus Pembelajaran Experiential Learning


Terdapat beberapa siklus dalam pembelajaran experience. Menurut Kolb (1984), model experiential learning adalah proses dimana pengetahuan diperolah melalui transformasi pengalaman (Kolb,1984). Pernyataan ini melahirkan sebuah model siklus pembelajaran yang terdiri atas empat tahapan, yaitu:

  • Pengalaman konkret (concrete experience)
  • Refleksi observasi (reflection observation)
  • Penyusunan konsep abstrak (abstract conceptualization)
  • Aplikasi

Keempat tahapan ini membentuk sebuah siklus seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

image
Gambar Experiential Learning Cycle. (Kolb’s, 1984)

Siklus belajar menurut pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) seperti gambar diatas dimulai dari sebuah pengalaman konkret dilanjutkan dengan proses refleksi dan observasi terhadap pengalaman tersebut. Hasil refleksi ini ini akan diasimilasi/diakomodasi dalam struktur kognitif (konseptualisasi abstrak) dan selanjutnya dirumuskan suatu hipotesis baru untuk diuji kembali pada situasi baru (eksperimen). Hasil dari tahap eksperime akan menutun kembali pembelajar menuju tahap pengalaman konkret.

Tahapan-tahapan dalam Kolb’s experiential learning cycle dapat diuraikan pada contoh berikut:

  • Pertama, pengalaman konkret. Pada tahap ini pembelajar disediakan stimulus yang mendorong mereka melakukan sebuah aktivitas. Altivitas ini bias berangkat dari suatu pengalaman yang pernah dialami sebelumnyabaik formal maupun informal ataupun situasi yang realistic. Aktivitas yang disediakan bias didalam ataupun diluar kelas dan dikerjakan oleh pribadi ataupun kelompok.

  • Kedua, refleksi observasi. Pada tahap ini pembelajar mengamati pengalaman dari aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan panca indra atau dengan bantuan alat peraga. Selanjutnya pembelajar merefleksikan pengalamannya dan dari hasil refleksi ini mereka menarik pelajaran. Dalam hal ini preses refleksi akan terjadi bila guru mampu mendorong murid untuk mendeskripsikan kembali pengalaman yang diperolehnya, mengomunikasikan kembali dan belajar dari pengalaman tersebut.

  • Ketiga, penyusunan konsep abstrak. Setelah melakukan observasi dan refleksi, maka dalam tahap pembentukan konsep pembelajar mulai mengonseptualisasi suatu teori atau model dari pengalaman yang diperoleh dan mengintegrasikan dengan pengalaman sebelumnya. Pada fase ini dapat ditentukan apakah terjadi pemahaman baru atau proses belajar pada diri pembelajar atau tidak. Jika terjadi proses belajar, maka :

    1. pembelajar akan mampu mengungkapkan aturan-aturan umum untuk mendeskripsikan pengalaman tersebut;

    2. pembelajar menggunakan teori yang ada untuk menrik kesimpulan terhadap pengalaman yang diperoleh;

    3. pembelajar mampu menerapkan teori yang terabstraksi untuk menjelaskan pengalaman tersebut.

  • Keempat, active experimentation atau aplikasi. Pada tahap ini, pembelajar mencoba merencanakan bagaimana menguji kemapuhan model atau teori untuk menjelaskan pengalaman baru yang akan diperoleh selanjutnya. Pada tahap aplikasi akan terjadi proses bermakna karena pengalaman yang diperoleh pembelajar sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman atau situasi problematika yang baru. Setiap individu memiliki keunikan sendriri dan tidak pernah ada dua orang uyang memiliki pengalaman hidup yang sama persis. Dua anak yang tumbuh dalam lingkungan yang sma dan mendapatkan perlakuan yang sma, belum tentu akan memiliki pemahaman, pemikiran dan pandangan yang sma terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing memiliki cara pandang sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya cara pandang tersebut yang disebut sebagai gaya belajar.

Kolb mengenalkan empat gaya belajar yang sesuai dengan tahapan- tahapan dalam siklus belajar sebagai berikut:

  • Assimilator, (AC/RO), kombinasi dari berfikir dan mengamati (thinking and watching). Anak pada tipe assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta merangkumnya ke dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian kepada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak.

  • Converger, (AC/AE). Kombinasi dari berpikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Bisanya mereka punya kemampuan yang lebih baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebi menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) dari pada masalah soaial atau hubungan antar pribadi.

  • Accommodator, (CE/AE). Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukan sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung bertindak berdasarkan analisis logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) disbanding analisis teknis.

  • Diverger, (CE/RO). Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe diverger unggul dalam melihat situasi konkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntunnya untuk menghasilkan ide-ide, biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.

Hamalik (2011), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential llearning adalah sebagai berikut:

  • Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuaka (open minded) yang meiliki hasil- hasil tertentu.

  • Guru harus bias memberikan rangsangan dan motivasi.

  • Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok didalam belajar berdasarkan pengalaman.

  • Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memcahkan masalah dan bukan dalam situsai pengganti.

  • Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusn sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut.

  • Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang dialami sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksankan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman.

Langkah menantang bagi guru dalam experiential llearning adalah memikirkan atau merancang aktivitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa baik yang individu maupun yang kelompok. Aktivitas pembelajaran harus berfokus pada peserta belajar (student-centered learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang arus mereka lakukan, apa yang harus kita katakana atau sampaikan harus secara detail kita rancang dengan baik. Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang dibutukan juga arus benar-benar tela tersedia dan siap untuk digunakan (Roem,1986).

Prinsip Experiential learning


Proses belajar dalam experiential learning merupakan kegiatan merumuskan sebuah tindakan, mengujinya, menilai hasil dan memperoleeh feedback, merefleksikan kembali sebuah tindakan berdasarkan prinsip-prinsip yang harus dipahami dan diikuti.

Prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada teori Kurt Lewin berikut:

  • Experiential learning yang efektif akan memengaruhi cara berpikir siswa, sikap, nilai-nilai persepsi dan perilaku siswa, misalnya, belajartentang berbuat baik pada orang tua. Seorang pelajar harus mengembangkan sebuah konsep tentang apakah berbuat baik kepada orang tua, bagaimana sikap yang baik kepada orang tua, dan bagaimana mewujudkan sikap baik kepada orang tua dalam bentuk perilaku.

  • Sikap lebih memercayai pengetahuan yang mereka temukan sendiri daripada pengetahuan yang diberikan oleh orang lain. Menurut Lewin, berdasarkan hasil eksperimen yang dia lakukan bahwa, pendekatan belajar yang didasarkan pada pencarian ( inquire) dan penemuan (discovery) dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar dan komitmen mereka untuk mengimplementasikan penemuan tersebut pada masa yang akan datang.

  • Belajar akan lebih efektif bila konsep atau mempraktikkan dan mencobanya, maka siswa akan memahami lebih sempurna dan mengintegrasikannya dengan apa yang dia pelajari sebelumnya serta akan dapat mengingatnya lebih lama. Banyak dari konsep-konsep atau teori- teori yang akan dipahami sampai siswa mencoba untuk menggunakannya, misalanya pelajaran matematika, fisika dan lain sebagainya.

  • Perubahan hendaknya tidak terpisah-pisah antara kognitif, afektif dan perilaku, tetapi secara holistic. Ketiga elemen tersebut merupakan sebuah system dalam proses belajar yang saling berkaitan satu sama lain, teratur, dan sederhana. Mengubah salah satu dari ketiga elemen tersebut menyebabkan hasil belajar tidak efektif.

  • Experiential learning lebih dari sekedar memberi informasi untuk pengubahan koqnitif, afektif , maupun perilaku. Mengajarkan siswa untuk dapat berubah tidak berarti bahwa mereka mau berubah. Memberikan alasan mengapa harus berubah tidak cukup memotivasi siswa untuk berubah. Membaca sebuah buku atau mendengarkan penjelasan guru tidak cukup untuk menghasilkan penguasaan dan perhatian pada materi, tidak cukup mengubah sikap dan meningkatkan keterampilan social. Experiential learning merupakan proses belajar yang menumbuhkan minat belajar pada siswa terutama untuk melakukan perubahan yang diinginkan.

  • Perubahan persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum melakukan pengubahan pada koqnitif, afektif dan perilaku. Menurut Lewin, tingkah laku, sikap dan cara berpikir seseorang ditentukan oleh persepsi mereka. Persepsi seorang siswa tentang dirinya dan lingkungan di sekitarnya akan memngaruhi dalam berperilaku, berfikiran dan merasakan.

  • Perubahan perilaku tidak akan bermakna bila koqnitif, efektif, dan perilaku itu sendiri tidak berubah. Keterampilan-keterampilan baru mungkin dapat dikuasai atau dipraktikkan, tetapi tanpa melakukan perubahan atau belajar terus-menerus. Maka keterampilan-keterampilan tersebut akan menjadi luntur dan hilang.

Dari prinsip-prinsip belajar berdasarkan pengalaman ini, model Experiential learning pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang mencakup model pembelajaran lainnya seperti humanizing the classroom, active learning, the accelerated, quantum learning, quantum teaching dan contektual teching and learning.

Referensi :

  • Abdul Majid, S.Ag, M,Pd, *“Belajar Dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012)
  • Sofan Amri, Pengembangan Dan Model Pembelajaran Kurikulum 2013 , (Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2013)

Menurut David Kolb (1984), Tahapan dari Experiental Learning adalah ; 1) Menkonkretkan pengalaman, 2) Observasi dan refleksi, 3) Konsep yang abstrak dan umum, 4) merasakan penerapan

Proses pembelajaran model Experiental Learning menurut Kolb dalam Eveline dan Siregar (2011), yaitu:

1. Tahap Pengalaman Konkret

Proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami peserta didik. Pada tahap ini, seorang peserta didik diupayakan ikut mengalami suatu kejadian, dimana peserta didik belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.

2. Tahap Observasi Refleksi

Pengalaman konkret tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi, para peserta didik akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Pada tahap ini, peserta didik lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.

3. Tahap Konseptualisasi atau Berpikir Abstrak

Proses refleksi menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta perkiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru).

Pada tahap ini, peserta didik mulai belajar membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah diamatinya. Diharapkan pada tahap ini peserta didik sudah mampu untuk membuat aturan-atuan umum dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

4. Tahap Pengalaman Aktif atau Penerapan

Proses implementasi merupakan situasi dan konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut.

Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Pada tahap ini peserta didik sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi baru. Dalam mata pelajaran matematika, misalnya peserta didik tidak hanya memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah
ditemui sebelumnya.

Karakteristik Experiential Learning


David Kolb (1984) berpendapat bahwa Experiential Learning mempunyai enam karakteristik utama:

  1. Belajar adalah suatu proses bukan dalam hal hasil.

  2. Belajar merupakan proses yang berkesinambungan didasarkan pada pengalaman

  3. Belajar memerlukan resolusi konfik antara gaya yang berlawanan secara dialektis.

  4. Belajar adalah suatu proses yang holistik

  5. Belajar melibatkan hubungan antara seseorang dan lingkungan.

  6. Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan.

Kelemahan dan Kelebihan Model Experiential Learning


Menurut Kolb dalam Mel Silberman (2014), Model Experiental Learning memiliki kelemahan dan kelebihan dalam proses pelaksanaannya. Kelemahan dan kelebihannya sebagai berikut:

1. Kelemahan Model Experiential Learning

Kelemahannya terletak pada bagaimana Kolb menjelaskan teori ini masih terlalu luas cakupannya dan tidak dapat dimengerti secara mudah.

2. Kelebihan Model Experiential Learning

Model ini mempunyai kelebihan, hasilnya dapat dirasakan bahwa pembelajaran lewat pengalaman lebih efektif dan dapat mencapai tujuan secara maksimal.

Metode pembelajaran berbasis pengalaman ( experiential learning ) merupakan suatu metode pembelajaran yang bertujuan mengaktifkan siswa untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalaman secara langsung. Oleh sebab itu, metode pembelajaran ini akan berfungsi ketika siswa berperan serta dan bersikap kritis dalam melakukan kegiatan.

Menurut Sudjana (2005) experiential learning merupakan metode yang bertumpu pada proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam situasi pengalaman, dalam tugas sehari-hari, maupun pengalaman dalam tugas pekerjaan. Metode experiential learning sangat cocok jika digunakan dalam pembelajaran keterampilan.

Karakteristik Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman ( Experiental Learning )

Menurut Kolb (1984) metode experiential learning memiliki enam karakteristik utama, yaitu sebagai berikut.

  1. Belajar terbaik dipahami sebagai suatu proses. Tidak dalam kaitannya dengan hasil yang dicapai.

  2. Belajar adalah suatu proses berkelanjutan yang didasarkan pada pengalaman.

  3. Belajar memerlukan resolusi konflik-konflik antara gaya-gaya yang berlawanan dengan cara dialektis.

  4. Belajar adalah suatu proses yang holistik.

  5. Belajar melibatkan hubungan antara seseorang dan lingkungan.

  6. Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan yang merupakan hasil dari hubungan antara pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi.

Prinsip-prinsip Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman ( Experiential Learning )

Sutrisno (dalam Sofia, 2012) menjabarkan prinsip-prinsip experiential learning berdasarkan pada teori Kurt Lewin sebagai berikut.

  1. Experiential learning yang efektif akan mempengaruhi cara berpikir siswa, sikap dan nilai-nilai, persepsi dan perilaku siswa.

  2. Siswa lebih mempercayai pengetahuan yang mereka temukan sendiri daripada pengetahuan yang diberikan orang lain.

  3. Belajar akan efektif bila merupakan sebuah proses yang aktif. Pada saat siswa mempelajari sebuah teori, konsep atau mempraktikkan dan mencobanya, maka siswa akan memahami lebih sempurna dan mengintegrasikannya dengan apa yang dipelajari sebelumnya akan dapat mengingatnya lebih lama.

  4. Perubahan hendaknya terpisah-pisah antara kognitif, afektif, dan perilaku, tetapi ketiga elemen tersebut merupakan sebuah sistem dalam proses belajar yang saling berkaitan satu sama lain, teratur dan sederhana. Mengubah salah satu dari ketiga elemen tersebut menyebabkan hasil belajar tidak efektif.

  5. Experiential learning lebih dari sekedar memberi informasi untuk pengubahan kognitif, afektif maupun perilaku mengajarkan siswa untuk dapat berubah tidak berarti bahwa mereka mau berubah.

  6. Pengubahan persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum melakukan pengubahan pada kognitif, afektif, dan perilaku. Tingkah laku, sikap dan cara berpikir seseorang ditentukan oleh persepsi mereka.

  7. Perubahan perilaku akan bermakna bila kognitif, afektif, dan perilaku itu sendiri tidak berubah.

Manfaat Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman ( Experiential Learning )

Menurut Kolb (1984) ada beberapa manfaat metode pembelajaran berbasis pengalaman ( experiential learning ) dalam membangun dan meningkatkan kerjasama kelompok sebagai berikut.

  1. Menumbuhkan rasa saling membutuhkan antara sesama anggota kelompok.

  2. Membantu memecahkan masalah dan berani mengambil keputusan.

  3. Menumbuhkan bakat yang tersembunyi.

  4. Mampu menumbuhkan rasa empati antar sesama anggota kelompok.

Manfaat model experiential learning secara individual, antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Menumbuhkan rasa percaya diri.

  2. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan dapat memecahkan masalah.

  3. Menghadapi situasi yang buruk.

  4. Menumbuhkan rasa percaya antar sesama anggota kelompok.

  5. Menumbuhkan semangat kerja sama dan kemampuan untuk berkompromi.

  6. Menumbuhkan rasa tangung jawab.

  7. Menumbuhkan kemauan untuk memberi dan menerima bantuan.

  8. Mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi.