Apa yang dimaksud dengan Teori Etologi dalam perkembangan manusia?

Teori Etologi

Teori Etologi merupakan salah satau yang dapat menjelaskan perkembangan manusia. Apa yang dimaksud dengan Teori Etologi dalam perkembangan manusia ?

Teori Etologi atau Ethology menekankan bahwa perilaku adalah produk dari evolusi dan ditentukan secara biologis. Tiap spesies mempelajari adaptasi apa yang penting untuk bertahan hidup, dan melalui proses seleksi alam, yang paling baiklah yang mampu hidup untuk mewariskan sifat-sifatnya kepada keturunannya.

Konrad Lorentz (1903-1989) merupakan ahli etologi peraih hadiah Nobel, meneliti pola-pola perilaku dari kawanan angsa dan menemukan bahwa anak angsa terlahir dengan instink untuk mengikuti induknya (Santrock 1995; Rice, 2002). Perilaku ini ada sejak lahir dan merupakan bagian dari instink mereka untuk bertahan hidup. Lorentz juga menemukan bahwa jika anak angsa tersebut ditetaskan dalam inkubator, mereka akan mengikuti benda yang pertama bergerak yang mereka lihat, yang mempercayai benda itu sebagai induknya. Lorents bersiaga ketika tutup inkubator diangkat. Ia adalah orang pertama yang anak angsa lihat, jadi sejak itu anak angsa tersebut mengikuti Lorentz seolah ia induknya. Anak angsa tersebut bahkan mengikuti Lorentz ketika ia berenang.

Lorentz menyebut proses ini sebagai imprinting , yang meliputi pengembangan kasih sayang yang cepat pada benda pertama yang dilihat. Lorentz menemukan bahwa ada periode kritis, tak lama seteah penetasan, selama mana imprinting akan terjadi.

Bonding & Attachment Theories


Bonding ─pembentukan hubungan yang erat antara seseorang dan seorang anak. Attachment theory ─-deskripsi dari proses dengan mana bayi mengembangkan ketergantungan emosional yang dekat pada satu atau lebih banyak pengasuh dewasa.

Upaya-upaya telah dilakukan untuk menerapkan prinsip-prinsip ethologi pada manusia. Meskipun tidak ada manusia yang sama dengan imprinting , bonding (pertalian) menunjukkan beberapa kesamaan. Ada beberapa bukti menunjukkan bahwa kontak orangtua-bayi selama jam-jam dan hari-hari pertama kehidupan adalah penting bagi hubungan orangtua-anak selanjutnya (Klaus & Kennel, dalam Rice, 2002). Beberapa studi di Case Western Reserve University di Cleveland menegaskan perasaan keibuan dimana ikatan emosional antara ibu dan bayi dipekuat oleh kontak yang intim selama jam-jam pertama kehidupan Satu kelompok ibu diberi waktu 16 jam kedekatan ekstra selama tiga hari pertama hidup─satu jam setelah lahir dan lima jam setiap siang hari. Ketika bayi berusia satu bulan dan ketika berusia satu tahun, ibu tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menjalani rutinitas rumah sakit seperti biasa. Para ibu yang memiliki waktu lebih bersama bayinya lebih memanjakan, mencari kontak mata yang dekat, dan merespon tangisan mereka. Para peneliti menyimpulkan bahwa membiarkan ibu dan bayinya bersama selama satu jam pertama setelah lahir memperkuat “kepekaan keibuan” sang ibu dan memperlama pemisahan ibu-bayi selama beberapa hari pertama akan berefek negatif.

Meskipun kontak awal orangtua dan bayi adalah penting, namun studi- studi lain gagal menegaskan hasil temuan Klaus dan Kennel bahwa ada periode kritis selama masa bonding pasti terjadi, dan bahwa jika hal itu tidak terjadi efek membahayakan akan dirasakan dan berlangsung terus. Sebaliknya, Egeland & Vaughn (Rice, 2002) menemukan tidak adanya insiden yang lebih besar dari masalah-masalah pengabaian, kekerasan, sakit, atau penyesuaian diantara bayi yang telah dipisahkan dari ibunya selama sesaat setelah lahir. Satu hal yang penting adalah bahwa kepentingan dari beberapa jam krusial langsung setelah kelahiran belum terbentuk secara meyakinkan.

John Bowlby memberikan banyak penerangan tentang subyek ini dalam pembahasannya tentang attachment theory (Bretheton, dalam Rice, 2002)). Bayi tidak dilahirkan dengan attachment pada siapapun: ibu, ayah atau orang lain. Namun karena kelangsungan hidup bayi bergantung pada pengasuh yang mencintai, bayi perlu mengembangkan attachment . Bowlby menyatakan bahwa selama enam bulan pertama, attachment bayi cukup luas. Bayi menjadi lekat pada orang-orang secara umum, sehingga mereka nampak tidak memiliki preferensi khusus akan siapa yang merawatnya. Namun, dari enam bulan ke depan, attachment menjadi lebih spesifik. Anak bisa mengembangkan multiple attachment , tapi semua itu dengan berbagai pihak, seperti ibu, ayah, pengasuh sehingga anak gelisah ketika ditinggalkan bersama pengasuh yang tidak dikenalnya.

Hinde: Periode Perkembangan Sensitif


Etholog Robert Hinde, dosen Psikologi di Cambridge University, Inggris, lebih menyukai istilah periode sensitif daripada “periode kritis” pada masa-masa tertentu ketika organisme lebih dipengaruhi oleh jenis-jeis pengalaman khusus. Istilah periode sensitif , yang awalnya digunakan oleh Maria Montessori, nampak lebih luas dan merupakan konsep yang lebih fleksibel daripada konsep yang lebih sempit dari periode kritis. Dengan anak-anak manusia, nampak ada periode sensitif secara khusus pada perkembangan bahasa, ikatan emosional, atau hubungan sosial. Ketika defisit terjadi selama masa sensitif tersebut, pertanyaan yang ada apakah mereka bisa dipulihkan selama periode perkembangan selanjutnya. Hal ini ternyata tergantung pada sejauh mana pengalaman awal dan pengaruh lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan individu tersebut.

Peran terhadap Perkembangan


Teori ini menekankan bahwa perilaku individu adalah produk dari evolusi dan ditentukan secara biologis. Teori ini juga tetap menghargai adanya peran lingkungan dalam memenuhi berbagai kebutuhan individu, sehingga pengalaman individu pada awal kehidupan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan individu tersebut di masa selanjutnya.

Sumber : Rita Eka Izzaty dkk, (2007), Perkembangan Peserta Didik, Universitas Negeri Yogyakarta