Apa yang dimaksud dengan taubat?

Taubat

Seringkali kita makhluk ciptaan Allah swt membuat dosa, apabila dosa tersebut sangat besar maka kita harus melakukan taubat. apa yang kamu ketahui tentang taubat?

Menurut bahasa kata taubat mempunyai arti kembali kepada kebenaran. Kemudian menurut istilah taubat adalah meninggalkan sifat dan perilaku yang tidak benar atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, meninggalkan salah atau dosa dengan disertai rasa penyesalan dan berniat atau berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Taubat adalah menyadari, menyesali dan berhenti dari berbagai perbuatan/perilaku yang menyebabkan mendapat dosa yang telah dilakukan, kemudian memohon ampun kepada Allah swt Yang Maha Pengampun, selanjutnya adalah berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.

Taubat juga dapat diartikan suatu tindakan mengganti perbuatan yang buruk (perbuatan yang berdosa) dengan perbuatan yang baik atau amal shalih.

https://www.kitapunya.net/2015/08/pengertian-taubat-dan-cara-bertaubat.html

Secara bahasa kata taubat berasal dari bahasa Arab yang artinya kembali dari maksiat dan kepada ketaatan. Taubat berakar dari kata taba, dimana kata yang searti dengan kata taba adalah anaba dan aba. Orang yang taubat karena takut azab Allah disebut ta’ib (isim fa’il dari anaba), dan bila karena mengagungkan Allah SWT disebut awwab.

Secara istilah Menurut Imam Nawawi, taubat adalah tindakan yang wajib dilakukan atas setiap dosa. Kalau dosa yang diperbuat itu adalah maksiat dari seorang hamba terhadap Tuhannya, yang tidak bersangkutan sesama anak Adam, maka syarat taubat kepada Tuhan itu ada tiga perkara :

  • Pertama berhenti dari maksiat itu seketika itu juga,

  • Kedua merasakan menyesal yang sedalam-dalamnya atas perbuatan yang salah itu,

  • Ketiga mempunyai tekad yang teguh bahwa tidak akan mengulanginya lagi. Apabila kurang salah satu dari ketiganya, maka tidak sahlah taubatnya.

  • Dan jika maksiat itu bersangkutan dengan sesama anak Adam, maka syarat taubatnya empat perkara; pertama, kedua, dan ketiga ialah syarat taubat kepada Allah tadi, ditambah dengan yang keempat, melepaskan dengan sebaik-baiknya hak orang lain yang telah diambil. Jika hak orang lain itu adalah harta benda atau yang seumpamanya maka segeralah kembalikan. Kalau menuduh atau memfitnah, segeralah meminta maaf kepadanya. Kalau dia dipergunjingkan (diumpat) dibelakangnya, akuilah kesalahan itu terus terang dan minta maaflah.

Al-Kalbiy mengartikan: “Taubat Nashuha ialah menyesal dalam hati, minta ampunan dengan lidah, berhenti disaat itu juga dari dosa tersebut dan meneguhkan 'azam tidak hendak mendekat kesana lagi.”

Sa’id bin Jabair berkata; “Taubat Nashuha ialah yang diterima Tuhan. Untuk diterima taubatnya itu hendaknya memenuhi tiga syarat, pertama, takut taubatnya tidak akan diterima, kedua, mengharap agar diterima, ketiga, memulai saat itu memenuhi hidup dengan taat.

Menurut Sa’id bin Al-Musayyab; “Taubat Nashuha ialah menasihati diri karena telah bersalah dan patuh menuruti nasihat itu.

Imam Al-Ghazali menjelaskan, bahwa taubat itu ialah: kembali mengikuti jalan yang benar dari jalan sesat yang telah ditempuhnya.

Ibnu Katsir berpendapat: “taubat nasuha adalah, taubat yang haq dilakukan sepenuh hati akan menghapus keburukan- keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya.”

Istilah Taubat


Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan tuhannya, antara lain taba (taubat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi) ,dan shafah. Masing–masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.

Taubat Secara langsung

Dosa bisa dibagi menjadi dua bagian, dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan dosa yang berkaitan dengan hak hamba. Dosa yang berkaitan dengan Allah, maka syarat taubatnya adalah

  1. mencabut perbuatan (akar) maksiat yang telah dilakukan.
  2. menyesali perbuatan yang telah dilakukan itu.
  3. berpegang teguh pada niat (azam) bahwa tidak akan kembali lagi melakukan perbuatan dosa itu.

Adapun bentuknya adalah sebagai berikut:

  1. Taubat

    Al-Quran telah mengisyaratkan tentang adanya dua pelaku taubat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam taubat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya taubat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Taubat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al- Quran surat Al-Baqarah ayat 186,

    Artinya: “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q.S Al-Baqarah: 186)

    Kata ‘ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf ya’ (sebanyak 17 kali) maupun- tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya. Kemudian firman-Nya:

    Artinya; “ (29). Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, (30). masuklah ke dalam syurga-Ku. (Q.S. Al-Fajr (89): 29-30).

    Dan firman-Nya:

    Artinya “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al- Zumar (39): 53)

    Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan. bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertaubat. Taubat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:

    Artinya “kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2): 37)

    Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu taubat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. “Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan” itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah. Langkah pertama dan taubat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang taubat-Nya.

    Artinya “Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Nisa’ (4): 26)

    Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama taubat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya. Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana.

    Artinya “Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al- Maidah (5): 39)

    Kedua, taubat kepada Allah yang benar-benar telah taubat. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah Swt. Dalam penutup surat Al- Maidah telah berbicara tentang taubat Allah, tetapi kali ini dia benar-benar telah “taubat” (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa telah bertaubat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

  2. Al-Shafh (Lapang Dada)

    Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada. Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.

    Artinya “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak- anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS- Al-Thaghabun (64): 14)

  3. Al-Ghufran

    Al-Ghufran terambil dari kata kerja “Ghafara” yang pada mulanya berarti menutup. Rambut yang disemir hingga tertututp putihnya disebutkan dengan Ghafara asy- sya’ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata Ghafarah yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahiadalah “perlindungan-Nya dari siksa neraka”. Dalam Al-Qur‟an surat al-Imran (3): 31 dinyatakan bahwa,

    Artinya: katakanlah, “jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Peyayang.” (QS. Al-Imran (3): 31)

    Di antara pepatah yang dikenal di kalangan ulama menyebutkan, “Hak-hak Allah dilandaskan kepada tenggang rasa, sedangkan hak-hak hamba dilandaskan kepada kekikiran.” Pasalnya, Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Pengampun, Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam, bahkan lebih Pemurah dari segala yang pemurah, lebih mulia dari segala yang mulia. Maka tidak heran jika Dia tenggang rasa terhadap hak- hak-Nya, mengampuni orang yang meremehkan-Nya, hanya karena dia kembali kepada’ Nya dengan cara yang sangat mudah dan sederhana, atau karena dia membuat sedikit pengakuan untuk bersandar kepada-Nya. Sedangkan manusia mempunyai tabiat kikir dan bakhil,

    Sebagaimana firman-Nya, dalam Q.S An-Nisa 821 :

    Artinya “dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S An- Nisa’: 128),27

    Terutama pada hari kiamat yang merupakan hari egoisme secara mutlak, setiap manusia tidak memikirkan kecuali dirinya sendiri dan keselamatannya. Boleh jadi seseorang hanya membutuhkan satu kebaikan saja untuk memperberat timbangan kebaikannya, sehingga dia berhak masuk surga, karena timbangan keburukannya lebih berat dengan selisih satu keburukan, yang bisa membuatnya masuk neraka. Karenanya pada hari itu setiap orang akan berkata, “Diriku, diriku.”

    Artinya “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (Luqman (31): 33).

    Artinya: “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkan.” (Abasa (80): 34-37).

    Cukup banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti meninggalkan sebagian perintah, mengerjakan sebagian yang dilarang, minum khamr, mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri sendiri, memboroskan harta, membuat tatto, menyambung rambut, mencabuti alis, mengikir gigi, merubah bentuk fisik karena alasan keindahan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, laki-laki yang menyerupai wanita atau kebalikannya dan lain sebagainya. Taubat dari semua ini ialah dengan cara menyesalinya, membebaskan diri darinya dan bertekad untuk membenahi diri.

Tidak Langsung

Taubat dalam hubungannya dengan manusia termasuk taubat yang tidak langsung, maka syarat taubatnya di samping tiga syarat sebagaimana telah dikemukan di atas, maka ditambah syarat keempat yaitu: tindak penyelesaian terhadap orang yang bersangkutan.

Diantara benuk taubat secara tidak langsung adalah sebagai berikut:

  • Al-'Afw (Maaf).

    Kata al-'afw terdapat dalam Al-Qur’an surat Al- Baqarah ayat 219

    Artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS Al Baqarah (2): 219).

    Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan: Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.
    Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang taubat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha manusia untuk bertaubat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Ayat-ayat tersebut adalah:

    Artinya “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah (2): 187).

    Artinya “Semoga Allah mema’afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (QS Al-Taubah (9): 43).

    Artinya “Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS Al-Syura (42): 40).

    Dalam firman-Nya pada surat Ali-Imran ayat 152 dan 155, juga Al-Maidah ayat 95 dan 101. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf. Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]: 22).

    Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata, “Tiada maaf bagimu”, karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt. Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan kesalahan-kesalahan besar. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan lembu:

    Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang yang dzalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-
    Baqarah (2): 51 -52).

  • Takfir.

    Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al- Qur’an juga menggunakan istilah TaIkfir. Kata ini, terambil dari kata kaffara yang berarti menutup. Al- Qur’an menggunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya adalah Allah SWT. Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa besar. Misalnya firman Allah:

    Artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa- dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS-Al-Nisa : 31)

    Setiap manusia memiliki dosa baik dosa besar maupun kecil, dan manusia yang baik bukanlah yang tak pernah bersalah, namun manusia yang baik adalah yang ketika melakukan kesalahan ia tidak mengulangi untuk kedua kalinya. Mengantisipasi keadaan yang demikian Allah SWT memberi jalan untuk meminimalisir dosa melalui taubat. Untuk itu taubat merupakan keharusan bagi setiap manusia yang menyadari bahwa hidup ini bersifat fana, dan tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Macam-Macam Taubat


1. Wajib

Taubat yang wajib adalah taubat dari meninggalkan perintah atau meninggalkan larangan. Taubat jenis ini wajib dilaksanakan bagi semua orang mukallaf sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya, dan yang melalui lidah para utusan-Nya.

2. Dianjurkan (Sunnah)

Sedangkan taubat yang dianjurkan adalah taubat yang dilakukan karena meninggalkan perkara-perkara yang dianjurkan (sunah) atau mengerjakan perkara- perkara yang tidak disenangi (makruh). Barang siapa yang melakukan taubat jenis pertama, maka ia termasuk diantara orang-orang yang baik dan barang siapa yang melakukan taubat jenis yang kedua maka ia merupakn bagian dari orang-orang yang paling dulu masuk surga lagi didekatkan (kepada Allah)

Dan barang siapa yang tidak mengerjakan taubat jenis pertama, maka ia termasuk orang-orang yang dzalim, adakalanya ia termasuk orang-orang kafir, dan adakalanya ia termasuk orang-orang fasik (pendosa).

Allah SWT Berfirman:

Artinya: “…dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan alangkah sengsaranya golongan kiri .dan orang- orang yang paling dahulu masuk surga adalah orang – orang yang didekatkan kepada Allah berada dalam surge kenikmatan,” (Al- Waqi’ah:7-11).

Allah SWT berfirman:

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rizqi serta surge kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar didalam neraka. (Al-Waqi’ah: 88-94)

Allah SWT berfirman

Artinya “……lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah,” (QS. Fathir; 32)

Yang dimaksud dengan orang yang Menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya Amat banyak dan Amat jarang berbuat kesalahan.

Allah SWT berfirman

Artinya “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur55, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Q.S Al-Insaan(76) : 3-6)

Referensi :

  • Al-imam al-'Allamah Jamaluddin Abi Fadli Muhammad bin Makrom bin Mandur al-Anshori, Lisaanl 'Arab, dar Al-kotob al-Ilmiyah, BEIRUT
  • Ahmad Warson Al-Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1989
  • Ibn Taimiyyah, Memuliakan diri dengan taubat, Mitra Pustaka, Yogyakarta

Secara terminologi, terdapat berbagai rumusan tentang taubat namun pada intinya sama dan hanya berbeda dalam redaksinya:

  • Menurut Imam Al-Ghazali (1995), taubat adalah meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad tidak melakukannya lagi.

  • Menurut Imam Al-Qusyairi (2002), hakikat taubat menurut arti bahasa adalah “kembali”. Kata “taba” berarti kembali, maka taubat maknanya juga kembali; artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari’at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari’at.

  • Menurut Ibnu Taimiyyah (2003), taubat adalah menarik diri dari sesuatu keburukan dan kembali kepada sesuatu tindakan yang dapat membawa seseorang kepada Allah.

  • Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif (2004), taubat adalah kembali dari dosa yaitu kembali dari apa yang dibenci Allah, baik lahir maupun batin, kepada apa yang dicintai-Nya, baik lahir maupun batin.

  • Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah (2003), hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.

  • Menurut TM. Hasbi ash-Shiddieqy (2001), taubat adalah menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah lalu, keluar dari kemungkaran pada diri kita dengan sebersih-bersihnya, lalu melaksanakan amal saleh. Dalam rumusan lain, taubat adalah berpindah dari keadaan yang dibenci dan dikutuki Allah kepada keadaan yang diridai dan dicintai-Nya.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa taubat kepada Allah mengandung arti antara lain datang atau kembali kepada-Nya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada-Nya; dengan kata lain ia mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan, atau pendirian yang lebih baik dan benar.

Setiap manusia yang terperosok dan tergelincir dalam berbuat kesalahan dan maksiat. Maka Allah menghendaki untuk segera bertaubat, memohon ampun dan kasih sayang-Nya. Agar manusia tidak terbentuk oleh karakter maksiat dan tidak jauh dari posisi naungan-Nya (Asad, 1988). Itulah sebabnya Allah tidak menerima taubat dari orang yang menunda-nunda taubatnya hingga ajal datang, sebagaimana firmannya.

Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah mereka. mengatakan. Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih. (QS. An-Nisaa’: 18).

Macam-Macam Taubat

Para sufi memiliki konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini merupakan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang dilakukan secara bertahap dalam menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqamat (tingkatan-tingkatan) dan ahwal (keadaan-keadaan) kemudian berakhir dengan mengenal ( ma’rifat ) kepada Allah (Al-Taftazani, 1985).

Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Tingkatan-tingkatan taubat seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • Pada tingkat terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan.

  • Pada tingkat menengah, di samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya.

  • Pada tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.

  • Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah (Al-Ghazali, tth).

Taubat agaknya diakui secara umum dalam pembahasan tasawuf sebagai maqam pertama yang harus dilalui dan dijalani oleh seorang salik .

Dikatakan, Allah tidak mendekati seseorang sebelum bertaubat. Karena dengan taubat, jiwa seorang salik bersih dari dosa. Tuhan dapat didekati dengan jiwa yang suci.

Menurut Dzun Nun Al-Mishri, taubat dibedakan atas dua macam, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain ia mengatakan dosa bagi al-muqarrabin (orang yang dekat kepada Allah) merupakan kebaikan bagi al-abrar. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa taubat ialah "engkau melupakan dosamu" (Solihin, 2003).

Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu sepenuhnya menjauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya. Ruwaim berkata: "Arti taubat adalah bahwa engkau harus bertaubat atas taubat itu." Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh Rabi’ah: "Aku memohon ampun kepada Tuhan karena ketidaktulusan dalam berbicara; aku mohon ampun kepada Tuhan."

Al-Husain al-Maghazili, ketika ditanya mengenai taubat, berkata: "Apakah yang engkau tanyakan, mengenai taubat peralihan, atau taubat tanggapan?" Yang lain berkata: "Apakah arti taubat peralihan itu?" Ruwaim menjawab: "Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu." Yang lain bertanya: "Dan apakah taubat tanggapan itu?" Ruwaim menyahut: "Bahwa engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu." (Al-Kalabadzi, 1990).

Dzu’l-Nun Al-Mishri berkata: "Taubat orang awam adalah taubat dari dosanya; taubat orang terpilih adalah taubat dari kekhilafannya; taubat para nabi adalah taubat dari kesadaran mereka akan ketidakmampuan mencapai apa yang telah dicapai orang lain." Al-Nuri berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan." Ibrahim al-Daqqaq berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali (Al- Kalabadzi, 1990).

Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut, Dzun Nun Al-Mishri membedakan taubat atas tiga tingkatan, yaitu:

  • Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya

  • Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Allah.

  • Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya (Solihin, 2003).