Apa yang dimaksud dengan Tasawuf Falsafi ?

Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah.

Apa yang dimaksud dengan Tasawuf Falsafi ?

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran fisafat yang telah memengaruhi para tokohnya.

Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya beru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafiini dengan sendirinya ini telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi- terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.

Masih menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lenih berorientasi pada panteisme.

Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi

  1. Ibn ‘Arabi (560-638 H).
  2. Al-Jili ( 1365-1417 M).
  3. Ibn Sab’in ( 614-669 H)

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaran dan konsepsinya disusun secara mendalam dengan bahasa-bahasa yang simbolik-filosofis. Sehingga tidak heran apabila mayoritas sufi yang mempunyai paham tasawuf ini mengalami sikap ekstasi (kemabukan spiritual) dan mengeluarkan statement yang terkesan tidak awam (syathahat).

Seperti yang diucapkan Ibn ‘Arabi dengan slogan “Ana al-Haqq”. Tokoh-tokoh lainnya antara lain Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, al-Jilli dan sebagainya.

Tasawuf falsafi juga sering disebut dengan tasawuf teoritis karena cenderung menekankan pada aspek teori atau konsep pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (makrifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud).

Para sufi falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan yang kemudian melahirkan konsep mistik semi-filosofis “ ittihad ” dan “fana’ - baqa” yang dibangun oleh Abu Yazid al-Busthami, konsep “ hulul ” yang dialami oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, maupun konsep tasawufnya Ibn ‘Arabi yang dikenal dengan “ wahdat al-wujud ”, konsep “ isyraqiyah ” yang dirumuskan oleh Suhrawardi almaqtul, al-hikmah al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra, dan lain sebagainya.

Tasawuf falsafi juga adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, sedangkan terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.

Sejarah Tsawuf Falsafi


Para pengamat tasawuf dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Julian Baldic, wacana-wacana Al-Quran memang sangat mendukung tasawuf. Spencer Trimingham secara afirmatif menyatakan

Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam, the underlying mystery of the Qur’an.,

Selanjutnya pendapat sebagian ilmuwan Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi Saw, di mana jiwa Nabi Saw. disinari cahaya Allah Swt. berupa Alquran, sehingga tepat sekali bila dikatakan bahwa wahyu Alquran sebagai sumber tasawuf. Bahkan misalnya Lynn Wilcox, seorang tokoh dan Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini, dengan mengutip pendapat Abu Yazid al-Bustami, secara ekspresif dan ilustratif dia menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada masa Nabi Adam As. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh As. dan berbunga semasa Nabi Ibrahim As. Anggur pun berbentuk pada masa Nabi Musa As. dan buahnya matang pada masa Nabi Isa As. Kemudian di masa Nabi Muhammad Saw. semua itu dibuat menjadi hasil air anggur yang murni.

Meskipun demikian, sebagian ilmuwan Muslim mengakui sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan sumber fundamental tasawuf memang Alquran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat dan tabi’in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacana-wacana tasawuf dalam perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsur-unsur luar, terutama tasawuf falsafi yang merupakan pengaruh Persia (Yunani) yang rasional dan filsafat India yang mistis.

Menurut Fazlur Rahman, tasawuf falsafi ini juga terkena pengaruh Grego-gnostik dan doktrin-doktrin Kristen yang dikembangkan oleh Ibn Arabi. Sehingga bagaimana pun juga tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke-VI dan ke-VII Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi (w. 587 H), Ibn Arabi (w. 638 H), Ibn Faridh (w. 632 H), dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan fundamental para sufi adalah Alquran dan Sunnah.

Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian.

Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis, dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan agama Nasrani. Akan tetapi orsinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam.

Corak dari pada tasawuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan tasawuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawuf ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme. Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah (teologi dan filsafat) tampil sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.

Ajaran Pokok


Pemaduan filsafat dengan tasawuf pertama kali dilakukan oleh para filsuf Muslim ketika sedang mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf Muslim yang membahas tentang Tuhan dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus seperti al-Kindi. Dalam filsafat emanasinya Plotinus disebutkan bahwa roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Di sisi lain ada Pythagoras yang menyebutkan bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia yang kotor tidak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi dan bila ruh terus berusaha untuk membersihkan diri maka dapat kembali kepada Tuhan. Maka dari konsep ini dapat ditarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang juga berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir dari sifat Tuhan. Sehingga jiwa atau ruh harus kembali kepada Tuhan dan tentunya dalam keadaan yang bersih.

Ajaran tasawuf falsafi lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dan mengedepankan akal mereka serta ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional. Adapun yang termasuk kategori ajaran tasawuf falsafi adalah:

  • Fana’ dan Baqa’, yakni lenyapnya kesadaran dan kekal.

  • Ittihad, yaitu persatuan antara manusia dengan Tuhan.

  • Hulul, yaitu penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.

  • Wahdah al-Wujud, yaitu alam dan Allah adalah sesuatu yang satu.

  • Isyraq, yaitu pancaran cahaya atau iluminasi.

Fana’ dan Baqa’

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan al-fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Bagi sufi, fana mempunyai banyak pengertian, misalnya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur, sebagai definisi yang mereka berikan, yaitu fananya sifat jiwa atau sirnanya sifat-sifat yang tercela. Kemudian, sebagai akibat dari fana adalah baqa . Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.

Dalam pengalaman para sufi, fana selalu diiringi dengan baqa di mana keduanya ini merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan dan datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:

“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.

Sebagian orang mengisyaratkan, bahwa fana itu adalah meninggalkan sifat-sifat tercela, sedangkan baqa itu melahirkan sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, seseorang tidak akan kosong dari kedua sifat tersebut. Tidak mungkin jika hanya didapati adanya salah satu sifat dari kedua sifat tersebut karena orang yang kosong dari sifat-sifat tercela, maka tentu akan nampak sifat-sifat terpuji. Barang siapa yang dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat terpuji akan tertutup.

Ittihad

Pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinya bersatunya manusia denganTuhan.

Dengan demikian, dalam baqa dan fana, sejalan dengan pendapat Mustofa Zahri yang mengatakan fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh al-Baidawi

“yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain”.

Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.

Hulul

Secara harifah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana . Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan. Di mana sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri, lalu Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia pun cinta pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyaknya ini.

Al-Hallaj berkesmimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul .

Penjelasan di atas maksudnya bahwa al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan menyatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas. Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seseorang insan telah suci bersih dalah menempuh perjalanan hidup kebatinan.

Demikian juga dengan manusia, mempunyai sifat kemanusian ( nasut ) dan mempunyai sifat ketuhanan ( lahut ) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 34:

Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat; sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang kafir. (QS.2:34).

Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma ( hulul ) dalam diri ‘Isa a.s. Allah swt menjelma dalam diri Adam, berarti Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan adanya paham ini dapat berpangkal pada hadits yang berpengaruh besar bagi kaum sufi:

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya.”

Banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya al-Hallaj bersifat majazi , tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul al-Hallaj, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad , diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya diri al-Hallaj yang tidak hancur. Dalam paham ittihad , yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.

Wahdat al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud . Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

Wahdat al-Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dia-lah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud , yaitu wahdatul syuhud yaitu kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Tuhan.

Wahdatul wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para walilah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah al-Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.

Syaikh Sa’id Fudah berkata:

Adapun wusul menurut golongan sufi yang berpaham wahdatul-wujud adalah penzahiran bahwa wujud kita ialah ‘ain wujud Tuhan. Maka, ini adalah suatu penzahiran ittihad wujud kita dengan wujud Tuhan. Adapun wusul menurut golongan sufi yang beraqidah ahlus-sunnah wal jamaah ialah beri’tiqad dengan kefakiran makhluk kepada Tuhan, dalam masa yang sama mengekalkan wujud kita berlainan dengan wujud Tuhan, namun tiada ittihad dalam ahlus- sunnah.

Isyraq

Kata isyraq dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur ( sharq ). Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan lain-lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Timur tidak hanya berarti secara geografis tetapi awal cahaya, realitas.

Konsep tasawuf al-isyraq barangkali adalah tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran perkiraan ini cukup beralasan mengingat, bahwa Suhrawardi al-Maqtul sebagai konseptornya. Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-kasyf . Akan tetapi bila dilihat pada inti ajaran ini, maka al-Isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau illuminasi . Menurut Suhrawardi, sumber dari segala yang ada iala cahaya yang mutlak ia disebut dengan nurul al-anwar , mirip matahari.

Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward. Sejak kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar kepada Al Mardini.

Referensi :

  • M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
  • Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia , (Bandung: Mizan 2001)
  • Jamil, Cakrawala Tasawuf (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004)
  • Julian Baldick, Mystical Islam an Introduction to Sufism (New York:New York University Press, 1992)
  • J. Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam (New York : Oxford University Press, 1973)
  • Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1989)
  • Seyyed Hassein Nasr,”Al-quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed Hassein Nasr, Vol. I (Bandung: Mizan, 2003)
  • Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti Bagoesoka, (Jakarta: Serambi, 2003)
  • Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003)
  • Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979)

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

Terdapat beberapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf.

  • Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-Islam.

  • Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme).

  • *Ketiga; tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.

Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya

“Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”.

Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya

“yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”.

Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya.

Sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.