Apa yang dimaksud dengan Tari Ganjur?

Tari Ganjur

Halo sobat! Pasti sudah tahu kan, bahwasanya kini sudah banyak terdapat tarian di Indonesia. Salah satunya adalah Tari Ganjur. Lalu, apa informasi lain yang kamu ketahui tentang Tari Ganjur tersebut?

Tari Ganjur merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakan alat yang bernama Ganjur. Tarian ini diiringo oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tari Jawa.

Tari Ganjur merupakan kesenian yang berbentuk ritual dalam sebuah upacara adat yaitu Upacara Erau adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura, yang dilestarikan oleh masyarakat kota Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.Tari Ganjur merupakan tarian Klasik yang dimiliki oleh Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dalam bentuk koreografi kelompok, karena dapat dilihat dari bentuk pertunjukan tari ganjur yang ditarikan oleh empat penari laik-laki. Tari Ganjur adalah tarian yang menurunkan Sangyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur. Tarian ini bermaksud untuk meminta restu kepada Sangyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur agar pada saat Bepelas sultan dijauhkan dari roh-roh jahat. Tarian ini memakai Gada berwarna kuning bertingkat tiga, yang ditarikan oleh empat laki-laki yang bertujuan untuk menjaga keamanan sekitar Tiang Ayu ( Harry Bachroel, 2009).

Sebelum dimulainya tari Ganjur terlebih dahulu Pawang Dewa melaksanakan memang untuk mengundang Pangeran Sri Ganjur, yang diiringi oleh alunan seruling dan diikuti oleh Dewa menaruhkan empat buah ikat kepala dan empat buah gada pada dua buah baki, dengan diiringi Dewa memang maka turunlah empat laki-laki , dua orang di sisi kanan dan dua orang di sisi kiri untuk menarikan tari Ganjur. Penari memasang ikat kepala dan memegang Gada sambil menari menempati empat sudut, berputar diiringin gamelan alunan irama ganjur. Pada saat tari Ganjur dimulai, empat pakwon bini berdiri di sudut menyalakan lilin sampai tarian selesai.

Tarian ini terdapat kesamaan gerak dengan gerak-gerak tari Klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta, terdapat ukel, nyempurit dan ngithing. Gerakan kakinya segaris membuka serta agak merendah seperti mendhak seperti tari klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta. Tarian ini berjalan ke arah empat sudut, kemudian bertemu di tengah-tengah, sambil mengadu Ganjur yang disebut perang Ganjur, bentuk gerak perang ini sama seperti perang Gada pada tarian Klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta. Tarian diiringi dengan seperangkat Gamelan Kutai yang slendro terdiri dari Demung, Saron, Bonang, Gender, dan Kendang yang sama persis dengan Gamelan yang berada di Jawa. Tata rias dan busana merupakan bagian yang penting dalam sebuah pertunjukan.

Tata rias pada Tari Ganjur ini tidak ada riasan khusus untuk para penarinya. Melainkan tidak berias atau natural karena yang menarikan juga pria. Tarian ini bersifat sakral dan ritual maka tidak adanya riasan yang khusus untuk penari Ganjur ini. Kostum yang digunakan untuk penari Pria disebut miskat untuk bagian atas dan celana hitam untuk bagian bawah yang dipadukan oleh sarung Samarinda dan ikat kepala dari tali besar yang terjalin menjadi satu dalam tiga warna yaitu, merah, kuning, dan hitam. Tempat Pentas Tari Ganjur pada Upacara Erau adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura menggunakan ruangan tertutup. Penonton menyaksikan tarian ini hanya kalangan keraton, atau kerabat keraton, serta tamu undangan saja, seperti pejabat daerah setempat.

Tempat pementasannya di dalam Museum Mulawarman, yang dahulu adalah Keraton Kutai Kartanegara. Namun beralihnya masa pemerintahan maka keraton diberikan kepada Pemerintahan Daerah Kutai Kartanegara dan dijadikan sebuah museum, yaitu Museum Mulawarman. Tempat pementasan Tari Ganjur ini tidak dibuatkan panggung khusus, melainkan di tempat yang sederhana yaitu di sekeliling Tiang Ayu. Area atau tempat pentas Tari Ganjur disebut dengan stinggil. Tari Ganjur pada Upacara Erau adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai tari Klasik Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang bersifat ritual dan memiliki kekuatan sakral yang sangat tinggi. Sehingga keberadaannya pun tidak terlepas dari dukungan masyarakat kalangan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan Upacara Erau adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura pada acara Bepelas Sultan.