Apa yang dimaksud dengan Taqarrub ?

Taqarrub

Taqarrub, secara bahasa, mempunyai arti sebagai mendekatkan diri kepada Allah. Apa yang dimaksud dengan Taqarrub secara lebih rinci ?

Taqarrub kepada Allah adalah setiap aktivitas yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Swt., baik dengan melaksanakan kewajiban, melaksanakan amalan-amalan sunnah nafilah maupun bentuk-bentuk ketaatan lainnya. Pengertian taqarrub kepada Allah tidak hanya terbatas pada aktivitas ibadah, sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan kaum Muslimin dewasa ini, namun mencakup pula seluruh aktivitas mu’amalat, akhlaq, math’umat (berkaitan dengan makanan), malbusaat (berkaitan dengan pakaian) bahkan uqubat (pelaksanaan sanksi hukum di dunia oleh negara Islam/ Khilafah). Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Swt. berfirman:

“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusuka daripada menjalankan kewajibannya”. (Shahih Bukhari Juz 11, hal.292-297)

Berkata Imam Ibnu Hajar: “Termasuk dalam lafadz tersebut adalah seluruh kewajiban, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, sehingga dapat pula diambil pengertian darinya bahwa pelaksanaan perbuatan-perbuatan fardhu adalah aktivitas yang paling disukai Allah Swt.”

Perbuatan-perbuatan fardhu dimaksud dapat disebutkan mulai dari melaksanakan shalat, menunaikan zakat, berbakti kepada kedua orangtua, menuntut ilmu, berjihad fi sabilillah, ber-amar ma’ruf nahi munkar, bersikap jujur dan ikhlas lillahi ta’ala dan istiqomah dalam setiap perbuatan, memakan makanan yang halal dan baik, menutup aurat, hingga pelaksanaan hukum-hukum hudud syar’iyah oleh negara Islam/ Khilafah atas tindak kriminal seperti perbuatan zina, liwath, mencuri, riddah (keluar dari Islam), membunuh dan lain sebagainya. Melaksanakan seluruh aktivitas tersebut pada hakekatnya adalah termasuk ke dalam cakupan pengertian pendekatan-diri seorang hamba yang mu’min kepada Rabb-nya.

Al-Qur’an telah menyebutkan beberapa kewajiban dan menganggapnya sebagai qurbah (pendekatan). Salah satu di antaranya adalah infaq fi sabilillah, yaitu berinfak untuk kepentingan perang di jalan Allah. Dalam hal ini Al Qur’an telah menganggapnya sebagai pendekatan yang besar (pengorbanan yang besar) yang diberikan oleh seorang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

“Di antara orang-orang Arab Badui terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan menjadikan harta yang dia nafkahkan (dalam jihad fi sabilillah) sebagai pendekatan di sisi Allah dan jalan untuk mendapatkan do’a Rasulullah. Ketahuilah itu memang merupakan pendekatan bagi mereka. Allah akan memasukkan ke dalam rahmat-Nya (Surga). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Terjemah Makna Qur’an Surat At-Taubah 99)

Al-Qur’an pun telah menjelaskan bahwa taqarrub kepada Allah dapat ditempuh dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan dan ibadah serta amal-amal shalih. Allah Swt. berfirman:

“Orang-orang yang mereka (orang-orang kafir) sembah, mereka itu sendiri mencari jalan menuju Tuhannya. Siapa di antara mereka yang lebih dekat. Mereka mengharap Rahmat-Nya (Surga-Nya) takut terhadap adzab-Nya (neraka)” (Terjemah Makna Qur’an Surat Al-Israa 57)

“Bukanlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian yang dapat mendekatkan diri kalian kepada kami; akan tetapi orang-orang beriman dan beramal shalih, merekalah yang mendapatkan pahala yang berlipat ganda karena apa yang mereka kerjakan. Dan mereka akan berada di tempat-tempat yang tinggi (Surga) dalam keadaan aman.” (Terjemah Makna Qur’an Surat Saba’ 37)

As-Sunnah menjelaskan pula bahwa di antara aktivitas yang akan mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya adalah melaksanakan perbuatan-perbuatan sunnah, mandub, nafilah, dan ketaatan-ketaatan lainnya. Dalam hadits Qudsiy Allah Swt. berfirman:

Tiada henti-hentinya seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah, sehingga Aku mencintainya.” (Shahih Bukhari, XI/292-297)

Amalan nafilah adalah setiap aktivitas yang merupakan tambahan dari amalan yang wajib, baik berupa shadaqah, shalat, maupun puasa dan sebagainya. Ada sebuah hadits yang memberi motivasi untuk menambah ketaatan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Annas r.a. dari Nabi Saw. bahwasanya Beliau meriwayatkan dari Rabb-nya:

Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta; jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa; jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari.” (Shahih Bukhari XI/199)

Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah nafilah dan ketaatan akan mengangkat martabat seorang hamba di sisi Rabb-nya. Hal ini menjadikannya layak untuk mendapatkan pertolongan, bantuan dan dukungan dari Allah Swt. pada setiap aktivitas yang dilakukannya dalam rangka taat kepada Allah dan mencari keridhoan-Nya. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. mengangkat derajat seorang hamba yang ber-taqarrub kepada-Nya sehingga Allah mengabulkan do’anya, mendukungnya dengan pertolongan, bantuan dan bimbingan-Nya. Hadits dimaksud adalah:

“Tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah sehingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengarkan dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya akan Kuberi yang ia minta; dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku, niscaya Aku lindungi.”

Dalam lafadz yang lain disebutkan:

Dan jika ia memohon (kemenangan) kepada-Ku, niscaya Kutolong.” (Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari, XI/341-345)

Martabat tersebut tidak akan dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah melakukan kewajiban-kewajiban dan menambahnya dengan mengerjakan amalan sunnah nawafil, ketaatan, mandubaat, dan bukan oleh orang-orang yang melakukan kegiatan sunnah tetapi meninggalkan perbuatan wajib atau bahkan melakukan bid’ah dan perbuatan haram.

Taqarrub secara bahasa berasal dari kata qurbun, dalam Kamus Arab al-Munawwir berarti dekat, mendekati. Istilah Taqarrub ini berasal dari nash-nash syariah yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, antara lain hadis qudsi dari Nabi saw. bahwa Allah SWT berfirman:

Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya.” (HR al-Bukhari & Muslim)

Taqarrub menurut arti istilah adalah upaya seseorang melakukan suluk untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melalui ibadah, amal saleh, tadabbur dan tafakkur. Istilah Para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan arti kedekatan yang dimaksud bukanlah kedekatan fisik, akan tetapi dipahami secara majazi (kiasan), sehingga taqarrub adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Hamzah Ya‘qub mengatakan bahwa taqarrub adalah usaha dan kegiatan menghampirkan diri kepada Allah SWT., sehingga dapat menduduki tempat yang terhormat dan mulia dengan jalan mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Wasilah bertaqarrub

Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, hendaknya seorang mencari jalan yang bisa menyampaikan kepada-Nya (wasilah). Allah SWT berfirman dalam al-Qur‘an, yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah dan carilah jalan yang bisa menyampaikan kamu kepada-Nya dan hendaklah kamu bersungguh-sungguh di jalan-Nya. Supaya kamu beruntung. (QS. Al-Maidah: 35)

Adapun wasialah atau sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah dan menaiki jenjang-jenjang kemuliaan rohani yang dibentangkan itu, tidak lain kecuali amal shaleh dan bukan dengan perantaraan berhala-berhala atau kuburan orang-orang yang mulia seperti anggapan kaum musyrik. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah :

Tidaklah kami sembah mereka, melainkan supaya mereka menghampirkan kami pada satu kedekatakan kepada Allah…… (QS. Az- Zumar: 3).

Adalah keliru mencari wasilah dengan memuja nai-nabi dan orang-orang shalih itu sendiri mencari wasilah kepada Tuhan dengan amal shaleh mereka sesuai dengan garis-garis yang diajarkan Allah. Allah berfirman:

“ mereka yang dipuja itu, mencari wasilah kepada Tuhan mereka, siapakah diantara mereka terlebih dekat?. ” (QS. Al-Isra: 57)

Wasilah yang dimaksudkan disini bukan juga harta dan anak-anak, melainkan iman dan amal shaleh.

“Dan tidaklah harta-harta kamu dan juga tidak anak-anak kamu bisa menghampirkan kamu satu derajat di sisi Kami, kecuali orang-orang yang beriman dan beramalk shaleh, maka bagi mereka ganjaran berganda dengan sebab amal mereka tenteram di dalam mahligai-mahligai.” (QS. Saba‘: 37).

Jelaslah bahwa wasilah mendekatkan diri kepada Allah adalah amal shaleh termasuk ibadah langsung kepada-Nya. Sebagian daripadanya adalah patut mengerjakan kewajiban dan rajin mengerjakan yang sunnah-sunnah (nawafil).

Bertaqarrub sesuai dengan kondisi

Sesungguhnya Allah itu dekat, dan tiada sesuatu makhluk yang mampu mencegah seseorang yang sungguh-sungguh ingin bertaqarrub kepada Allah SWT, dan juga tiada sesuatu yang dapat menghalangi Allah menghampiri hamba-Nya yang Ia kasihi. Allah SWT berfirman :

“ dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 186)

Artinya: “mereka berkata: “Hai Syu’aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.” (QS. Hud: 91)

Artinya: “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (QS. Qaf: 16)

Artinya: “tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Mujadalah: 7)

Dan banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur‘an yang menggambarkan bahwa Allah itu dekat atau bersama hamba-Nya yang ia kasihi. Akan tetapi bukan berarti Allah itu bertempat dalam diri makhluk‘, sebagaimana faham al-Hulul atau Allah bergabung (bersatu) dengan makhluk‘ sebagaimana faham al-Ittihad. Jadi pengertian Allah dekat itu atau bersama hamba-Nya ialah dengan penjagaan-Nya, pengawasan-Nya, pemeliharaan-Nya, rahmat dan kasih sayang-Nya.

Setiap manusia dianugerahi kemampuan, nakat, watak dan kelebihan tertentu. Dan hendaknya setiap manusia bertaqarrub sesuai dengan kemampuan, kelebihan dan bakatnya masing-masing. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya. (QS. Al-Isra: 84)

Pada prinsipnya setiap insan tidak perlu merasa terhalang dalam taqarrub kepada Allah dan dapat saja bertaqarrub menurut ukuran keadaan, bakat, keahlian dan kelebihan masing-masing yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dan jika rintangan-rintangan itu menantang dan menghadang, hendaklah berusaha menyingkirkannya dengan mujahadah.