Apa yang dimaksud dengan Suluk dalam Islam ?

Suluk

Suluk berarti perjalanan ruhani seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, memohon ampunan-Nya, dan mencari ridho Allah SWT

Apa yang dimaksud dengan Suluk dalam Islam ?

Suluk, secara bahasa berarti memasuki, melalui jalan. Dan menurut istilah, adalah upaya seseorang untuk menempuh jalan menuju kepada Allah. Upaya tersebut bisa berupa memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).

Salik adalah orang yang melakukan suluk.

Menurut Miftahul Lutfi Muhammad, Suluk adalah perjalanan ruhani seorang hamba yang diniatinya secara khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan melalui berbagai macam riadlatun nafs (latihan kejiwaan), dengan dipandu oleh seseorang yang ahli di bidang ilmu suluk dan laku suluk. Untuk menekuni dunia suluk, seseorang tersebut harus benar-benar telah memahami ilmu akidah, ilmu syari‘ah dan ilmu tasawwuf.

Peran pemandu (guru suluk) sangatlah penting, karena dia di samping telah berpengalaman di bidangnya, dia dapat memberikan pendidikan langsung yang berupa keteladanan-keteladan, dan pembelajaran atas akidah, syari‘ah dan tasawwuf. Tujuan lain adalah agar salik (orang yang sedang melakukan suluk) senantiasa berjalan bersama al-Qur‘an dan al-mizan Rasulullah SAW dalam menempuh liku-liku perilaku suluknya.

Riyadlatun nafs adalah upaya untuk melatih dan mengimunisasi jiwa dalam rangka untuk memperoleh kondisi jiwa yang bersih (tazkiyatun nafs). Sedangkan tazkiyatun nafs merupakan metode (thariqah) untuk mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ilallah).

Dalam proses thariqah inilah dibutuhkan kesungguhan (mujahadah) di dalam bertaubat kepada-Nya. Karena tanpa taubat yang sungguh-sungguh mustahil seorang salik dapat melakukan pembersihan jiwanya. Sedangkan untuk melakukan taubat yang sungguh-sungguh dibutuhkan niat yang benar atas sebuah penyesalannya. Karena hanya dengan niat suatu amaliah itu diterima oleh Allah SWT.

Jadi, suluk yang benar adalah yang dikerjakan seorang salik dengan dasar komperehensifnya ilmu pengetahuan yang dimiliki, dan pengalaman atas agama Islam dengan meliputi : akidah, syari‘ah dan akhlak; yang didorong dengan niat dan hasrat yang suci semata-mata ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, agar mendapatkan ridha-Nya. Demikianlah pencapaian ruhani yang tertinggi dalam melakukan suluk.
Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.

Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.

Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci oleh-Nya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara’, meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya.

Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah SWT, bukan sekedar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang asyik dengan amaliyahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.

Dalam menempuh jalan rohani menuju Tuhan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), ada stasiun-stasiun (al-Maqamat) yang mesti ditempuh oleh seorang salik. Maqam adalah kedudukan atau tahapan (posisi) dimana seorang sufi berada. Kedudukan ini hanya akan didapat oleh seorang sufi atas usahanya sendiri dengan penuh kesungguhan dan istiqamah. Sedangkan ahwal yang bentuk mufrodnya ―hal” adalah kondisi yang dialami oleh seorang sufi dalam dirinya atau batinnya sebagai hasil dari usahanya dalam maqamat tadi. Dengan demikian perbedaan maqam dan ahwal ialah maqam merupakan usaha seorang sufi untuk berada dalam tingkatan tertentu sedangkan ahwal adalah suatu pemberian (karunia) Allah yang diberikan kepada seseorang sebagai hasil usahanya dalam maqam tadi.

Konsep seorang sufi dengan sufi yang lain tidak selalu sama tentang sistematika maqamat tersebut. Abu Nasr as-Sarraj di dalam kitab monumentalnya al-Luma menyebutkan ada tujuh maqam yang mesti ditempuh oleh seorang salik agar bisa dekat dengan Allah. Ketujuh maqam tersebut adalah at-taubah, al-Wara‟, az-Zuhd, al-Faqr, as-Sabr, at-Tawakkal, ar- Ridha. Sementara Ibrahim Basyumi berpendapat ada lima maqam yang mesti dijalani oleh seorang salik menuju Allah, yaitu at-taubah, az-Zuhd, at- Tawakkal, ar-Ridha, al-Khalwah dan az-Dzikr.

Demikian juga ahwal bertingkat-tingkat. Pada umumnya para sufi menulis sepuluh tingkatan. Kesepuluh tingkatan ahwal tersebut adalah al- Muraqabah, al-Qurb, al-Mahabbah, al-Khauf, ar-Raja‟, as-Sauq, al-Uns, at- Tumakninah, al-Musyahadah, dan al-Yaqin.

1. At-Taubah

At-Taubah adalah maqam pertama yang mesti dilalui oleh setiap salik. Secara etimologis taubah artinya kembali. Yang dimaksud adalah kesadaran hati terhadap kelalaian diri dan memandang diri dalam keadaan serba kurang karena tercemar dengan berbagai dosa.

At-Taubah ada tiga tingkatan, yaitu :

  • Taubah orang yang sadar
    Awalnya kebiasaan yang terjadi dalam lingkungan beragama tetapi akhirnya menjadi tinggi dalam perasaan dan bertambah menjadi peringatan.

  • Taubah Salik
    Taubah seorang salik bukan dari dosa dan kesalahan dan bukan dari penyesalan dan istighfar akan tetapi terjadi karena perpindahan kondisi jiwa yang naik menjadi sempurna, sehingga menghadirkan Allah dalam setiap gerak nafasnya.

  • Taubah Arif
    Taubah Arif (orang yang makrifat) bukan dari dosa atau dari menyalahi jiwa, tetapi taubah dari kelupaan terhadap dirinya sendiri bahwa dirinya itu berada dalam genggaman Tuhannya.

Zun Nun al-Misri menjelaskan bahwa taubah orang awam dari dosa- dosa, sementara taubah orang-orang khawas adalah dari kelupaan.

2. Al-Wara‘

Secara lughawi, wara‘ artinya hati-hati. Secara istilah wara‟ adalah sikap menahan diri agar hatimu tidak menyimpang sekejap pun dari mengingat Allah.28 Sufi yang lain mengemukakan bahwa wara‘ adalah seorang hamba tidak berbicara melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan ridha maupun dalam keadaan marah. Sahl at-Tustari mengatakan:

Orang yang tidak wara‘, memakan kepala gajah pun tidak akan kenyang.

Wara‘ ada 4 tingkatan, yaitu : wara‘ orang ‗awam, wara‘ orang saleh, wara‘ Muttaqin, wara‘ orang benar.

3. Az-Zuhud

Awal mula Zuhud adalah sikap wara‘ dalam beragama, yakni menjauhi hal-hal yang diharamkan syara‟. Memang kewara‘an dapat menimbulkan keinginan untuk berlaku zuhud secara rohani dan mendalam. Hanya makna zuhud secara sufistik lebih jauh dari itu. Misalnya halal menurut syari‘at adalah apa-apa yang tidak menyalahi aturan Allah, sementara halal secara sufistik adalah apa-apa yang tidak menyebabkan lupa kepada Allah.

Al-Qasyani berkata, sebagaimana dikutip oleh an-Najjar;

  • Zuhud orang awam adalah membersihkan diri dari berbagai syubhat setelah meninggalkan hal-hal yang haram karena takut mendapat cela.

  • Zuhud seorang salik adalah membersihkan diri dari kelbihan dengan cara meninggalkan hal yang melebihi kadar kebutuhan pokok, lalu menghiasi diri dengan pakaian para nabi dan kaum sufi.

  • Zuhud orang pilihan adalah berpaling dari segala hal selain Allah, berupa berbagai kepentingan jiwa.

  • Zuhud dalam zuhud adalah menganggap rendah apa yang engkau zuhudi.

Dengan demikian, zuhud terhadap dunia adalah keburukan dalam pandangan orang-orang pilihan sebab segala sesuatu selain al-Haqq adalah benda, sehingga apalah artinya senang atau benci terhadapnya.

Orang-orang yang benar-benar mendalam dengan paham zuhud, maka ia akan menilai sama terhadap berbagai keadaan yang terjadi, baik miskin atau kaya. Karena dirinya mengetahui kemenyeluruhan kehendak Allah terhadap berbagai hal yang dikehendaki.

4. Al-Faqr

Faqr berarti kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sikap faqr harus dimiliki oleh seorang salik sewaktu menjalankan suluknya. Kekayaan seringkali menjadikan manusia lebih dekat kepada kemaksiatan, paling tidak memalingkan manusia dari hanya berkosentrasi beribadah kepada Allah.

5. As-Sabr

Sabar berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri. Sabar juga dapat berarti tetap merasa cukup meskipun kenyataannya tidak memiliki apa-apa.

Jika sabar dilakukan dalam rangka mengekang keinginan nafsu dan amarah, maka dinamai kesabaran jiwa (as-Sabr an-Nafs). Sedangkan dalam rangka menahan terhadap penyakit fisik, dinamai sabar badani (as- Sabr al-Badani). Kedua sabar ini penting dimiliki sebab kenyataannya setiap manusia tidak lepas dari berbagai kesulitan, baik kesulitan yang bersifat rohani maupun jasmani.

6. As-Syukr

Syukur yang arti dasarnya berterima kasih diperlukan dalam kehidupan, sebab apa-apa yang kita lakukan dan apa-apa yang menjadi milik kita pada hakikatnya merupakan karunia Allah. Allah lah yang memberikan nikmat dan barakah kepada umat manusia. Betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada manusia sehingga tidak dapat menghitungnya.

Ridha selalu dibarengi dengan syukur. Setiap kali syukur bertambah, maka bertambah pula ridha. Allah berfirman : jika kamu bersyukur maka Kami akan menambah nikmat kepadamu, (QS. Al- Baqarah: 7).

7. At-Tawakkal

Tawakkal arti dasarnya berserah diri kepada allah .secara sufistik tawakal adalah menyerahkan diri hanya kepada ketentuan allah .jika mendapat nikmat ia bersyukur ,sebaliknya jika ia mendapat musibah ia bersabar dan berserah dirikepada ketentuan allah. Kata sebagaian sufi tawakal adalah rahasia antara seorang abdi dg tuhan nya .

8. Ar-Ridha

Ridha artinya meninggalkan ikhtiar. Menurut al-Muhasibi, ― ridha adalah tentramnya hati di bawah naungan hukum‖. Sementara Zun Nun al- Misri menyatakan ridha adalah senangnya hati dengan berjalannya ketentuan Allah. Dalam arti menerima ketentuan hokum-hukum Tuhan dengan senang hati.
Ibnu Athaillah as-Sakandari berpendapat bahwa ridha adalah hati memandang Allah pada apa yang telah ditentukan Allah dan merupakan pilihan Allah yang terbaik bagi yang bersangkutan. Sebab Allah memilih bagi setiap orang yang terbaik baginya.

9. Al-Makrifat

Makrifat artinya mengenal, atau melihat. Dan yang dimaksud adalah melihat Tuhan dengan mata hati. Dzun Nun al-Misri membagi makrifat menjadi 3 bagian: Makrifat mukmin, makrifat ahli kalam, makrifat Auliya Muqarrabin

Sufi membagi manusia pada tiga klasifikasi.

  • Pertama, tingkatan kaum arif yang mendapatkan kebahagiaan sebab hikmah.

  • Kedua, tingkatan orang-orang mukmin yang mendapatkan kebahagiaan karena memiliki keimanan.

  • Ketiga, tingkatan orang-orang bodoh dan mereka ini orang-orang yang binasa.

Kebahagiaan yang didapat dengan makrifat jauh lebih utama ketimbang kebahagiaan yang didapatkan dengan iman dan amal saleh.

Rukun suluk

Untuk mendapatkan suluk yang paripurna, seorang salik harus memenuhi rukun, yakni: istiqamah dalam dzikrullah dan mudawamah dalam belajar kepada orang ahli di dalam suluknya.

Sedangkan dzikrullah dan shuhbah (persahabatan) merupakan dua sayap yang mesti ada di dalam melakukan suluk. Supaya dzikrullah dan shuhbah dapat berjalan dengan benar, maka salik harus mencari sahabat baik dan senantiasa membiasakan wirid. Dan ukuran sahabat yang baik adalah terdapatnya perilaku ma’rifat, hal dan maqamat yang benar pada dirinya.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan suluk:

  1. Inner strong Intention

    Kesiapan yang tidak dibarengi dengan kemauan dan niat, sudah barangtentu tidak akan membawa keberhasilan dalam suluk. Sedangkan kemauan yang kuat dari dalam (inner strong intention) dapat dijadikan satu-satunya gantungan tanpa harus melibatkan yang lainnya. Dan dengan niat yang benar seorang salik bisa melakukan suluk yang mampu mengantarkannya ke ridha-Nya.

    Niat merupakan satu-satunya fasilitas spiritual-intuisional yang menunjukkan jalan. Dan kemauan yang kuat dari dalam, satu-satunya alat yang menunjukkan pencarian. Jika pencarian dan jalan penghubung terhimpun menjadi satu, tentu tujuan akan tercapai.

  2. Tiga neraca dzikrulah

    Dzikrullah yang paling utama dan paling bermanfaat adalah yang memenuhi tiga neraca dzikrullah, yaitu yang melibatkan lidah (bil lisan), yang melibatkan hati (bil lisan), dan yang melibatkan tindakan (bil arkan). Inilah dzikirnya para nabiyullah dan waliyullah. Karena dengan begitu, seseorang yang berdzikir kepada Allah akan dapat menghayati makna dan maksudya.

  3. Menyibukkan diri dengan Allah

    Seorang salik selalu sadar bahwa di kehidupannya yang 24 jam; 12 jam siang hari dan 12 jam malam hari, benar-benar tidak boleh lalai dari kehadiran Allah SWT di dalam hatinya. Hatinya harus senantiasa sibuk dengan menyebut, mengingat, memahami dan menerima kehadiran-Nya. Untuk selanjutnya melaksanakan segala yang diperintahkan dan segala yang dilarang-Nya.

Empat faktor penting bagi salik guna menunjang keberhasilan perilaku suluk rabbaniyah, maka seorang salik harus memenuhi adab-adabnya, yaitu:

  1. Taubat
  2. Husnudzan dengan Allah
  3. Tidak menyepelekan dosa
  4. Tidak menilai besar amal perbuatannya.