Apa yang dimaksud dengan Subjective Well-Being?


Apa yang dimaksud dengan subjective well-being dalam ilmu psikologi?

1 Like

Diener (2000) mengenalkan teori evaluasi, dimana kesejahteraan subjektif ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Hal ini melibatkan proses kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Cara-cara yang digunakan untuk mengevaluasi suatu peristiwa, juga dipengaruhi oleh temperamen, standar yang ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang terjadi dan dialami saat itu serta pengaruh budaya. Dengan kata lain kesejahteraan subjektif mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan.

Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif:

  • Harga diri positif. Campbell (dalam Compton, 2000) menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.

  • Kontrol diri. Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.

  • Ekstraversi individu. Penelitian Diener dkk, (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain (Compton,2005)

  • Optimis secara umum. Orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentnag masa depan. Scheneider (dalam Campton, 2005) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.

  • Relasi sosial yang positif. Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang didalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.

  • Memiliki arti dan tujuan dalam hidup. Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, akan memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.

Definisi subjective well-being , atau yang seringkali disebut sebagai kebahagiaan atau happiness dalam keseharian (Linley dan Joseph, 2004; Diener, 2009) didefinisikan berdasarkan beberapa kategori.

  • Kategori yang pertama adalah definisi subjective well-being berdasarkan kriteria eksternal. Subjective well being menurut pandangan ini didefinisikan sebagai kepemilikan seseorang akan kualitas yang diinginkan. Definisi ini dipandang bersifat normatif karena mereka harus mendefinisikan apa saja yang dapat disebut desirable atau diinginkan (Coan, 1997 dalam Diener, 2009).

  • Definisi yang kedua melihat subjective well being berdasarkan penilaian individu mengenai apa saja standar yang mereka gunakan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, di mana seringkali definisi ini dikaitkan dengan kepuasan hidup. Shin dan Johnson (1978 dalam Diener, 2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian global seseorang mengenai kalitas hidupnya menurut kriterianya sendiri. Selain itu, Chekola (1975 dalam Diener, 2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai sebuah harmoni kepuasan dari keinginan serta tujuan atau goal seseorang. Definisi subjective well-being menurut kategori ini didasarkan oleh hasil penelitian Andrews dan Withey (1976 dalam Diener, 2009) yang menemukan bahwa 99% partisipannya memang melakukan asesmen atau penilaian mengenai kehidupannya berdasarkan kriteria mereka masing- masing.

  • Kriteria yang ketiga dalam mendefinisikan subjective well-being menekankan pada gambaran emosi positif yang jauh lebih banyak dibandingkan emosi negatif (Bradburn, 1996 dalam Diener, 2009). Definisi pada pandangan ini menekankan pada pengalaman emosional seseorang, di mana seseorang biasanya mengalami emosi yang menyenangkan dalam periode kehidupannya, sehingga menjadi sebuah predisposisi dalam dirinya meskipun mereka sedang mengalami hal atau emosi yang tidak menyenangkan (Diener, 2009).

Dalam Diener (2009) dikemukakan mengenai tiga kriteria spesifik dalam menjelaskan subjective well-being.

  1. Pertama adalah subjective well being bersifat subjektif, dan ada dalam pengalaman tiap individu (Campbell, 1976 dalam Diener, 2009).

  2. Kedua adalah pengukuran subjective well-being menggunakan pengukuran yang bersifat positif, dan tidak hanya terfokus pada ketidakhadiran faktor-faktor negatif.

  3. Ketiga adalah pengukuran subjective well-being yang biasanya menekankan pada penilaian individu secara menyeluruh mengenai keseluruhan aspek kehidupannya. Meskipun aspek afeksi serta kepuasan hidup kemungkinan akan turut diukur, namun pada akhirnya akan tetap ditekankan mengenai penilaian kehidupan seseorang yang terintegrasi (Diener, 2009).

Dalam kesimpulannya, subjective well- being merepresentasikan penilaian atau evaluasi seseorang mengenai kualitas dari kehidupan mereka, di mana penilaian tersebut didasari kriteria mereka masing-masing mengenai arti dari hidup yang baik (Shin dan Johnson, 1978 dalam Diener, 2009)

Hal yang sering dikaitkan dengan subjective well-being adalah kepuasan individu mengenai ranah yang spesifik dalam kehidupannya, serta kepuasan hidup secara menyeluruh. Dalam mengukur kepuasan hidup sehubungan dengan subjective well-being seseorang, Pavot dan Diener (1993) beranggapan bahwa pengukuran kepuasan hidup secara menyeluruh lebih efektif dibandingkan pengukuran kepuasan hidup dalam domain-domain tertentu. Mereka menyatakan bahwa tiap individu memiliki “standar” kesuksesan yang berbeda untuk tiap domain yang berbeda, sehingga pengukuran yang dikhususkan pada domain tertentu seringkali menjauhi hasil yang didapat dari gambaran kepuasan utuh individu tersebut. Hasil pengukuran kepuasan hidup juga ditemukan lebih stabil dan konsisten, serta lebih dapat menggambarkan perspektif individu dalam jangka panjang. Kepuasan hidup sendiri didefinisikan sebagai proses penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidup mereka berdasarkan kriteria mereka masing-masing (Shin dan Johnson, 1978 dalam Pavot dan Diener, 1993).

Menurut Diener (2009) definisi subjective well-being dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective well-being bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki seseorang. Kedua, subjective well-being merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang menunjuk pada berbagai macam kriteria. Ketiga, subjective well-being jika digunakan dalam percakapan sehari – hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar dari pada perasaan negatif.

Diener & Suh (dalam Rachel Dodge dkk 2012) mengatakan bahwa subjective well-being terdiri dari dua komponen yang saling berhubungan: Kepuasan hidup, dan perasaan menyenangkan. Perasaan menyenangkan ini menunjuk pada mood dan emosi, sedangkan kepuasan hidup menunjuk pada penilaian kognitif pada kepuasan dalam hidup.

Komponen Subjective well-being

Menurut Diener (dalam Eid & Larsen, 2008:97) subjective well-being terbagi dalam dua komponen utama, yaitu :

1. Komponen Kognitif (Kepuasan Hidup)

Komponen kognitif adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup adalah kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 1999). Komponen kognitif subjective wellbeing ini juga mencakup area kepuasan / domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang.

2. Komponen Afektif

Komponen dasar dari subjective well-being adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak (Diener, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective well – being

Menurut Argyle, Myers, dan Diener (dalam Compton, 2000) terdapat enam variabel yang dihubungkan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup, yaitu:

1. Harga diri positif

Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.

2. Kontrol diri

Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.

3. Self-compassion

Self-compassion diartikan sebagai sikap belas kasih terhadap diri sendiri ketika menghadapi kesulitan. Self-compassion membuat seseorang lebih menyikapi segala kesulitan dan perasaan-perasaan negatif yang dirasakan secara lebih baik tanpa melibatkan reaksi yang berlebihan.

4. Ekstraversi

Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.

5. Optimis

Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentang masa depan. Scheneider (dalam Campton, 2000) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.

6. Relasi sosial yang positif

Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang didalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalahmasalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik. h. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.

Menurut McGilivray dan Clarke Subjective well being melibatkan evaluasi multidimensional kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup dan evaluasi afektif emosi dan suasana hati. Beberapa ekonom menggunakan frase ―kesejahteraan subyektif‖ sebagai sinonim untuk ―kebahagiaan tetapi dalam psikologi, kebahagiaan adalah konsep sempit dari SWB).

SWB adalah salah satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat. Para Filsuf telah memperdebatkan bagaiman kehidupan yang baik selama ribuan tahun, dan satu kesimpulan yang muncul dari debat ini adalah bahwa kehidupan yang lebih baik adalah kebahagiaan (walaupun filsuf sering berbeda mengenai definisi kebahagiaan).

Subjective well being mengacu pada berbagai jenis evaluasi, baik positif maupun negatif, manusia dalam kehidupanya. Hal ini mencakup refleksi evaluasi kognitif, seperti kepuasan hidup dan kepuasan kerja, ketertarikan dan hubungan (pertunangan) sertareaksi afektif terhadap peristiwa kehidupan seperti kegembiraan dan kesedihan.

Kesejahteraan subyektif (SWB) mencerminkan sejauh mana orang berpikir dan merasa bahwa kehidupan meeka berjalan dengan baik. Ini pembangunan, yang sering disebut lebih bahasa sehari-hari sebagai kebahagaiaan memainkan sedikit dari peran yang tidak biasa dalam psikologi lepribadian. Di satu sisi, tidak dua sebelumnya edisi dari buku pegangan Hogan, johnson, dan Briggs’s Handbook of Personality Psychology termasuk bab tentang ini (meskipun ini buku pedoman itu alamat topik emosi).

Teori Subjective well being

Ada banyak pandangan teoritis mengenai bagaimana well-being diuji, beberapa teori SWB adalah sebagai berikut:

  1. Teori Telic

Teori telic mengenai SWB menyatakan bahwa individu mencapai kebahagiaan ketika titik akhir, seperti tujuan atau kebutuhan yang dicapai. Into dari teori ini adalah dari tujuan akhirnya.

  1. Teori Top-Down Vs Bottom-Up

Debat mengenai teori well-being “top-down” dan “bottom-up” merupakan hal yang penting dalam bidang ini. Teori “bottom-up‖ menyatakan bahwa saat-saat atau peristiwa-peristiwa dalam hidup seseorang ditambahkan dalam rangka menghasilkan perasaan Subjective well being individu.

  1. Teori Kognitif

Sama seperti pendekatan “ top down ”, teori kognitif dari well-being fokus pada kekuatan proses kognitif dalam menentukan well-being individu.

  1. Toeri Evolusioner

Teori evolusioner muncul belakangan ini dan berpendapat bahwa perasaan senang dan well-being dihasilkan oleh hal yang membantu manusia untuk bertahan. Evolusioner menilai bahwa emosi-emosi negatif (misalnya, takut, marah, dan cemas) yang menolong leluhur kita bereaksi dalam lingkungan yang mengancam.

  1. Relative Standart

Teori relative standards berpendapat bahwa well-being berasal dari perbandingan antara beberapa standar, seperti masa lalu seseorang, masa lalu orang lain, tujuan-tujuan, atau cita-cita, dan kondisi aktual.

Komponen Subjective well being

Komponen SWB dapat dibagi menjadi dua, yaitu komponen kognitif (penilaian atau judgement) dan afektif (emosional). Penjelasan komponen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Komponen Kognitif Subjective well being

Komponen kognitif dari SWB adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi 2, yakni kepuasan hidup dan kepuasan domain:

  • Kepuasan Hidup

Adalah bagaimana seseorang mengevaluasi hidupnya atau menilai hidupnya secara keseluruhan. Ini dimaksudkan agar mewakili secara global bagaimana orang memandang kehidupannya.

  • Kepuasan Domain

Adalah penilaian seseorang dalam membuat evaluasi dalam ranah kehidupanya, biasanya meliputi kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, santai, hubungan sosial, dan keluarga.

2. Komponen Afektif Subjective well being

Pada dasarnya komponen afektif SWB merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Komponen afektif dari SWB adalah emosi positif dan emosi negatif, penjelasan dari kedua hal tersebut adalah sebagai berikut:

  • Emosi Positif

Emosi positif mempresentasikan mood, suasana hati dan emosi yang menyenangkan, seperti gembira dan kasih sayang.

  • Emosi Negatif

Termasuk suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, dan merupakan respon negatif dari pengalaman seseorang sebagai reaksi terhadap hidup mereka, kesehatan, peristiwa, dan keadaan.

Subjective Well-Being (SWB)

Menurut Diener (2009: 12) definisi dari SWB dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, SWB bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, SWB merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari SWB jika digunakan dalam percakapan sehari-hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif. Merujuk pada pendapat Campbell (dalam Diener, 2009: 13) bahwa SWB terletak pada pengalaman setiap individu yang merupakan pengukuran positif dan secara khas mencakup pada penilaian dari seluruh aspek kehidupan seseorang.

Menurut Diener dan Pavot (dalam Ningsih, 2013: 582) SWB merupakan kategori yang luas mengenai fenomena yang menyangkut respon-respon emosional seseorang, domain kepuasan dan penilaian-penilaian global atas kepuasan hidup. Definisi lain oleh Russel (dalam Ningsih, 2013: 585) SWB adalah persepsi manusia tentang keberadaan atau pandangan subyektif mereka dalam pengalaman hidupnya.

Menurut Ariati (2010: 119) SWB adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.

Diener, Suh, dan Oishi (dalam Eid & Larsen 2008: 45) menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki SWB tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan kegembiraan,dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki SWB rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa SWB adalah persepsi dan penilaian seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.

Aspek SWB

Ryff dan Keyyes (dalam Lopez & Snvder, 2007: 414) menghasilkan suatu model kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang terdiri atas enam fungsi psikologis positif, yaitu:

1. Penerimaan diri

Penerimaan bukan berarti bersikap pasif atau pasrah, akan tetapi pemahaman yang jelas akan peristiwa yang terjadi sehingga individu dapat memberikan tanggapan secara efektif (dalam Lopez, 2007: 642).

2. Hubungan positif dengan sesama

Diener dan Seligman menemukan bahwa hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk membuat SWB seseorang tinggi. Artinya, hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang mempunyai SWB yang tinggi, namun seseorang dengan SWB yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial yang baik.

3. Autonomi

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki autonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standard personal.

4. Penguasaan lingkungan

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.

5. Tujuan dalam hidup

Seseorang yang mempunyai komitmen dalam mengejar tujuan hidupnya, dia akan dapat memahami makna hidup dan mampu mengatasi masalah. Hal itu memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam kehidupan. Sedangkan orang yang komitmen dalam hidupnya kurang maka dia tidak mampu memaknai hidup.

6. Pertumbuhan pribadi

Pribadi yang mampu berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai alat evaluasi, dimana seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi mengevaluasi diri dengan menggunakan standard pribadinya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek SWB terdiri dari: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi/kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pribadi yang berkembang.

Referensi

https://lib.unnes.ac.id/21924/1/1511411104-s.pdf