Apa yang dimaksud dengan Struktur dan Agen dalam Sosiologi?

Dalam sosiologi pendidikan terdapat istilah struktur dan agen.

Apa yang dimaksud dengan struktur dan agen dalam sosiologi?

Teori yang juga disebut teori “reproduksi sosial” ini secara kuat merupakan hasil elaborasi oleh Pierre Bourdieu karena banyak yang mengakui bahwa dialah seorang teoretikus sosial dan fi lsuf yang banyak memberi perhatian pada dikotomi antara suatu yang objektif dan subjektif, atau dalam bahasa yang lain juga sering disebut dikotomi antara struktur dan agen.

Bourdieu telah membangun kerangka teoretis yang berkaitan dengan konsep-konsep penting seperti “habitus” dan “kapital budaya”. Konsep-konsep tersebut didasarkan pada ide bahwa struktur objektif menentukan kesempatan bagi individu, melalui mekanisme habitus, yaitu individu-individu menginternalisasi struktur-struktur tersebut. Habitus juga dibentuk oleh, misalnya, posisi individu di berbagai lapangan (fields) seperti dalam keluarga atau di mana pun mereka menghadapi pengalaman keseharian. Oleh karenanya, berbeda dengan cara pandang Marxis, posisi kelas tidak ditentukan oleh kesempatan hidup seseorang meskipun ia memerankan bagian yang penting, bersamaan dengan faktor-faktor yang lainnya. Lebih jauh ia ingin membangun teori hubungan antara kekayaan budaya, penyampaian pewarisan budaya, rekayasa dan apropriasi kekayaan budaya tersebut.

Dalam kaitannya dengan pendidikan, pandangan Bourdieu dan Jean-Claude Passeron dalam tulisannya Les Heritiers (1964) memecah kebekuan dengan memfokuskan pada pendekatan sosiologi. Menurut Bourdieu, kesenjangan sosial dalam pendidikan sangat terasa, terutama ketika membandingkan kesempatan untuk masuk perguruan tinggi bagi peserta didik dari kelas atas kemungkinannya 80%. Sedangkan, mereka yang berasal dari kelas petani dan buruh hanya 40%.

Bagi Bourdieu, sekolah dianggap berperan aktif dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial. Ada hubungan antara, di satu pihak sekolah yang dipahami sebagai lembaga reproduksi budaya yang berlaku, dan di pihak lain kelas-kelas sosial yang ditandai oleh kemampuan menyerap secara efektif komunikasi pedagogis. Ternyata, tradisi yang hidup di kelas atas lebih dekat dengan budaya sekolah. Maka, kecenderungan kemampuan untuk menyerap komunikasi pedagogis di sekolah pada kelompok kelas sosial ini lebih efektif dibandingkan dengan peserta didik kelas bawah.

Dalam upaya memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar (membaca, berbicara runtut, menghitung, dan problem solving) peserta didik dari kelas sosial rendah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran untuk mengembangkan kepribadian dan intelektual (pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap). Padahal, pada jenjang ini peserta didik dituntut untuk bisa mengembangkan kemampuan untuk hidup dan bekerja secara bermartabat. Jadi, kelas atas diuntungkan oleh sistem sekolah dan lebih siap bersaing dengan budaya sekolah sesuai dengan habitus mereka.

Kekayaan budaya (cultural capital ) dari kelompok dominan, dalam bentuk praktik dan hubungan terhadap budaya, diasumsikan oleh sekolah sebagai hal yang alami (natural) dan hanya dianggap sebagai modal budaya yang tepat, dan karenanya terlegitimasi. Hal itu, menurut Bourdieu, menuntut penyeragaman dari semua murid apa yang seharusnya tak diberikan pada mereka (uniformly of all its students that they should have what it does not give).

Proses reproduksi sosial bukanlah suatu yang sempurna maupun komplet, melainkan masih dan hanya sedikit saja murid yang memiliki sedikit hak istimewa yang bisa sukses. Bagi mayoritas murid-murid yang sukses di sekolah ini, mereka harus menginternalisasi nilai-nilai kelas dominan dan menggunakannya sebagaimana miliknya, untuk kerugian bagi habitus asli dan budaya mereka. Oleh karena itulah, cara pandang Bourdieu menyatakan bahwa struktur objektif memainkan peran menentukan bagi capaian dan prestasi individu di sekolah, tetapi mengikuti bagaimana dijalankannya agen individu-individu untuk mengatasi hambatannya walaupun pilihan ini bukanlah suatu yang tanpa akibat.