Apa yang Dimaksud dengan Sosiologi Kriminalitas dan Penyimpangan Sosial?


Salah satu interdisipliner dari sosiologi adalah sosiologi kriminalitas dan penyimpangan sosial.

Apa yang dimaksud dengan sosiologi kriminalitas dan penyimpangan sosial?

Para kriminolog menganalisis sifat, sebab, dan kontrol dari kegiatan kejahatan (kriminalitas). Mereka membutuhkan bantuan dari gabungan atau perpaduan dari metode ilmu sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (behavioral sciences).

Sosiologi penyimpangan sosial memfokuskan pada tindakan dan tingkah laku yang melanggar norma, termasuk kejahatan dan pelanggaran terhadap norma-norma budaya. Hal ini menuntut sosiologi untuk mempelajari bagaimana norma-norma berada dalam masyarakat dan bagaimana hal itu berubah dari waktu ke waktu, serta bagaimana norma-norma dipaksakan oleh kekuatan sosial yang dominan dan bagaimana kemungkinan norma baru muncul yang dimulai dengan perlawanan norma. Konsep “penyimpangan” (deviance) adalah istilah penting dalam pendekatan sosiologi struktural-fungsional dan teori sistem. Robert K. Merton, misalnya, melontarkan tipologi penyimpangan dan juga menetapkan istilah “model peran” (role model), “akibat-akibat tak disengaja” (unintended consequences), dan “kemampuan memenuhi diri sendiri” (self-fulfi lling prophecy).

Banyak kalangan yang saat ini mengeluhkan terjadinya banyak kejahatan yang ada di masyarakat, mulai dari kejahatan seksual, kejahatan moral, dan kejahatan fi sik. Meskipun demikian, sebagian besar dari mereka juga masih melihat sebab-sebab kejahatan berasal dari diri manusia, dan bukannya dari kondisi sosial-ekonomis yang tersedia di masyarakat. Dalam perspektif ini, unsur kejahatan itu adalah nafsu dan pelaku dari kejahatan itu adalah manusia. Lebih jauh dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur, yaitu unsur setan dan malaikat. Unsur nafsu setan disebut nafsu amarah, yaitu nafsu melawan, dan membangkang perintah Tuhan. Sedangkan, unsur nafsu malaikat disebut dengan nafsu mutmainah, yaitu nafsu untuk tunduk dan menjalankan perintah Tuhan. Dalam konteks itu, kejahatan yang merajalela hanya dilihat sebagai akibat kekalahan manusia dalam mengendalikan nafsu. Bukan karena faktor kemiskinan atau ekonomi, melainkan karena manusia tidak belajar dari hakikatnya.

Lalu, bisakah kita berandai-andai dan mengharapkan bahwa setiap anggota masyarakat akan mampu memahami hakikat dirinya atau keadaan masyarakatnya? Bukankah ini berkaitan dengan bagaimana setiap orang dapat mengakses informasi dan menerima sosialisasi penuh tentang realitas—yang dalam banyak hal didapat dari pendidikan? Sementara faktanya, kondisi dan struktur sosial yang ada menjauhkan manusia mayoritas dari akses pendidikan. Artinya, penilaian bahwa kejahatan dan kekerasan di masyarakat terjadi karena diri individu tersebut akan menyesatkan, dan tentunya akan melahirkan pemahaman bahwa negara dan pemerintah tidak punya tanggung jawab sedikit pun tentang masalah sosial masyarakatnya. Inilah kegunaan teori sosiologi dan ilmu sosial modern dalam memberikan penjelasan tentang kejahatan, kriminalitas, dan kekerasan di masyakat.

Seperti pernah ditegaskan Johan Galtung, seorang peneliti dan pecinta perdamaian dari Norwegia, ada proses sosialisasi ketika kondisi-kondisi kekerasan menjadi bagian dari pikiran, persepsi, dan sikap manusia. Salah satu konsep kunci Galtung adalah kekerasan struktural (structural violence). Ketika menggunakan istilah “kekerasan”, biasanya kita berpikir tentang kekerasan langsung atau kekerasan fi sik. Akan tetapi, Galtung telah menunjukkan bahwa kekerasan memiliki banyak wajah, dan kejahatan bisa berada dalam cara baik yang halus (subtle) maupun yang kasar (evil). Kekerasan struktural adalah kekerasan yang tidak melukai atau membunuh dengan pukulan, senjata, atau bom, tetapi melalui struktur sosial yang memproduksi kemiskinan , kematian, dan penderitaan-penderitaan yang lain. Kekerasan ini bisa bersifat politis, represif, ekonomis, dan eksploitatif. Ia terjadi ketika tatanan sosial, baik langsung atau tidak langsung, menyebabkan manusia menderita.

Lebih tepatnya, struktur sosial telah mengatur hubungan antar-manusia, termasuk membaginya dalam posisi dan status serta kepemilikan produksi dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Proses pembentukan struktur itu terjadi melalui perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah yang panjang inilah yang membuat kita kadang lupa bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah produk sejarah itu yang terbentuk dan terlembagakan. Karena lembaga juga menghasilkan suatu fungsi-fungsi pemahaman dan ideologis di masyarakat, tak heran jika manusia lupa akan posisi dirinya, dan seakan apa yang menimpa diri dan wataknya sematamata diakibatkan oleh dirinya.