Apa yang dimaksud dengan sistem sosial?

sistem sosial

Sebagai manusia yang bermasyarakat kita pernah mendengar dengan istilah sistem sosial. Lalu apa itu sistem sosial?

Sistem sosial adalah keseluruhan organisasi hubungan sistemik antara posisi-posisi atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Sistem sosial dapat dipandang sebagai struktur sosial dan proses sosial.

  • Sistem sosial sebagai struktur sosial memiliki arti bahwa sistem sosial merupakan ruang multidimensi ( multidimensional space ) di mana posisi sosial dan afiliasi kelompok didistribusikan.

  • Sistem sosial sebagai proses sosial menunjuk pada proses berbagai posisi sosial dan kelompok, yang terjalin ke dalam hubungan sistemik satu sama lain.

Dengan pengertian yang demikian maka pemahaman sistem sosial sebagai struktur ataupun proses tak dapat dipisahkan. Dalam pengertian yang semacam ini maka berbicara mengenai pengertian sistem sosial akan sangat lekat dengan parameter struktur sosial, yakni kriteria implisit yang membedakan para anggota masyarakat di dalam hubungannya satu sama lain. Terdapat 2 jenis parameter struktur sosial, yaitu parameter nominal dan parameter gradual.

  • Parameter nominal mendistribusikan warga masyarakat ke dalam kelompok-kelompok dengan batas- batas yang bersifat diskrit, tanpa adanya konotasi perbedaan jenjang. Beberapa contoh dari parameter nominal, antara lain seks, ras, agama, suku bangsa, marga, mata pencaharian, tempat kerja, tempat tinggal, status perkawinan, afiliasi politik, kebangsaan, dan bahasa.

  • Parameter gradual membedakan populasi suatu masyarakat ke dalam berbagai status sosial berjenjang ( status rank order ). Parameter ini tak membedakan berbagai strata secara tegas, contohnya pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewenangan, umur, dan kecerdasan.

Dalam sistem sosial, sosialisasi dan kontrol sosial adalah mekanisme utama yang memungkinkan sistem sosial mempertahankan keseimbangannya. Contoh dari sistem sosial adalah semua jenis kehidupan kolektif, namun sistem sosial khusus dan sangat penting adalah masyarakat. Masyarakat adalah kolektivitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri melalui elemen-elemen dalam dirinya sendiri.

Membicarakan sebuah masyarakat dalam perspektif sistem sosial akan mengarah pada diskusi mengenai kemajemukan masyarakat berdasarkan struktur sosial yang membentuknya, integrasi sosial ataupun konflik dalam masyarakat. Masyarakat dengan setting tradisional ataupun modern juga menjadi kajian yang sangat menarik dalam sistem sosial. Sebuah proses yang terjadi di masyarakat bisa membawa dampak sosial dan politik yang tak sederhana. Misalnya saja proses industrialisasi yang berlangsung dalam sistem masyarakat Indonesia yang berlatar belakang agraris, tradisional, primordial, dan pre-kapitalis membawa dampak sosial yang berpengaruh pada bekerjanya sistem kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun H konflik H yang terjadi secara sosial H budaya H.

Komponen-komponen Sistem Sosial


Menurut Talcott Parsons, sistem sosial adalah sistem yang terdiri dari beberapa elemen pokok, yaitu :

  • Pertama , sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik.
  • Kedua , aktor- aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan.
  • Ketiga , adanya sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural.

Perhatian utama Parsons lebih tertuju pada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor di dalam sistem. Konsep-konsep kunci dalam sistem sosial adalah aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan kultur.

Persyaratan Sistem Sosial


Parsons menjelaskan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial.

  • Pertama , sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya.

  • Kedua , untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain.

  • Ketiga , sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.

  • Keempat , sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.

  • Kelima , sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.

  • Keenam , apabila konflik akan menimbulkan kekacauan, harus dikendalikan.

  • Ketujuh , untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa.

Struktur Sistem Sosial


Di dalam masyarakat, terdapat empat struktur yang penting berdasar fungsi-fungsi AGIL.

  • Pertama , subsistem ekonomi, yaitu subsistem yang menjalankan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya melalui tenaga kerja, produksi, dan alokasi.

  • Kedua , sistem politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan sistem sosial dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor serta sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan.

  • Ketiga , sistem fiduciary (sekolah, keluarga) menangani fungsi pemeliharaan pola (latensi) dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur itu.

  • Keempat , fungsi integrasi dilaksanakan oleh komunitas kemasyarakatan (contoh hukum), yang mengoordinasikan berbagai komponen masyarakat.

Konflik Sistem Sosial


Dalam sistem sosial, para penganut teori konflik berpendapat bahwa masyarakat bisa tereintegrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-Hpranata sosialH. Konflik- konflik yang terjadi secara vertikal dan horizontal dalam masyarakat Indonesia menunjukkan kekompleksan integrasi yang sangat dan harus dibenahi di dalam masyarakat Indonesia. Persoalan kadang bertambah sulit ketika hubungan sosial di dalam masyarakat yang semestinya damai tersisipi oleh kekuatan lain yang tidak menginginkan hal itu terjadi. Dalam hal terjadinya konflik semacam itu, hal yang paling perlu dipakai untuk mencari solusinya adalah tidak dengan saling menyalahkan, serta waspada terhadap potensi masuknya pengaruh-pengaruh lain yang bermain demi kepentingan mereka masing-masing.

Konflik vertikal

Konflik vertikal terjadi antara golongan masyarakat dengan elit pemerintah dalam struktur formal.

Sebagai contoh, kejadian tahun 1998, yang bermuara pada jatuhnya rezim Orde Baru, disebabkan oleh ketidaksepakatan antara masyarakat dan penguasa terhadap capaian hasil dan cara-cara pembangunan yang dijalankan. Dari kacamata sejarah, peristiwa itu adalah sesuatu yang harus dan dalam kenyataan sudah terjadi. Dari kacamata analisis sosial, kejadian itu bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan dicarikan pemecahan masalahnya. Konflik ini pun bisa dicegah dari sisi kerugian sosial yang ditimbulkannya kalau deteksi dini terhadap potensi konflik dilakukan secara cermat dan tidak terjebak pada kepentingan politik yang cenderung menjadi panglima pada saat itu.

Konflik horizontal

Konflik horizontal terjadi antara kelompok-kelompok dalam masyarakat yang setara. Pada tingkatan ini konflik dapat berupa ketidaksepahaman masyarakat dalam menentukan prioritas hubungan sosial atau karena kecenderungan untuk mendapat klaim politik sebagai suatu kelompok yang lebih unggul dan harus diperhatikan. Konflik horizontal yang demikian terjadi karena faktor-faktor riil penyebab konflik muncul ke permukaan, namun dapat pula terakselerasi oleh hasil kerja pihak lain yang menginginkan instabilitas tertentu di dalam satuan sosial tertentu. Istilah adanya aktor intelektual, master mind , dan provokator secara mudah menunjukkan adanya faktor luas pemicu konflik sosial.

Hal yang lebih perlu dicermati sesungguhnya adalah bagaimana faktor-faktor itu bekerja, motivasi pemunculan konflik, dan benar atau tidaknya provokator itu masuk ke dalam suatu satuan sosial. Bukan tidak mungkin apabila provokator sekadar dipakai sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan dalam mengungkap konflik yang terjadi atau adanya benturan serta kesulitan dalam menyelesaikan konflik itu.

Pemicu konflik sangat beragam dan kerap dikaitkan dengan ragam konflik yang terjadi. Sebagai contoh, konflik dalam konteks suku, agama, ras dan antar golongan yang biasa dikenal dengan istilah konflik SARA. Berkaca pada kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, konflik-konflik yang demikian sangat berkemungkinan sekali terjadi. Upaya untuk menyatukan kemajemukan dengan membangun kultur tunggal pun kerap sekali gagal karena pada dasarnya kemajemukan tidak perlu ditunggalkan. Tentu hal ini terkait pula dengan kecerdasan hati dan kedewasaan cara pandang untuk melihat perbedaan. Apabila dua hal ini dimiliki, kemajemukan tidak perlu disesali dan secara nyata harus diterima sebagai kekayaan yang wajar dan harus ada.

Pada satu titik, konflik horizontal yang mudah meletus adalah konflik karena agama dan konflik karena alasan suku.

  • Agama dapat menjadi pemicu konflik sosial yang cepat karena hal-hal yang diyakini dari suatu ajaran agama merupakan suatu hal yang bersifat sensitif untuk diperdebatkan dan dipertentangkan. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya konflik ini tentunya dengan menjauhkan agama dari potensi perdebatan, menghindarkan diri dari usaha mencela agama lain, dan lebih mengarahkan pendewasaan dan perbaikan cara beragama secara internal.

    Menempatkan agama sebagai persoalan pribadi dan kemudian membenahinya secara bertahap ke keluarga, lingkungan sosial terkecil dan baru kemudian ke lingkungan yang lebih besar dapat dipandang sebagai cara yang lebih bijak daripada memaksakan kebenaran dan memaksa orang lain untuk mengikuti. Pengendalian diri dan memberi teladan keagamaan menjadi langkah yang lebih terpuji dalam hal ini.

  • Persoalan berbasis kesukuan juga menjadi penyebab kuat terjadinya konflik horizontal di dalam masyarakat. Peristiwa dan kasus konflik yang dilandasi kesukuan ini sering terjadi di Indonesia dan membutuhkan kedewasaan tersendiri dalam menyikapinya. Dasar dari upaya itu adalah menyadari bahwa ketika diskriminasi perlakuan terjadi karena perbedaan suku dan karena agama juga sesungguhnya maka pelanggaran terhadap hak- hak asasi manusia telah dilakukan. Hal inilah yang kerap tidak disadari dan kemudian menempatkan konflik antarsuku sebagai konflik yang biasa. Tentu kita mudah mengenali terjadinya konflik antarsuku yang pernah ada di Indonesia. Sebagai contoh, konflik yang kemudian ditengarai sebagai pertentangan antara pribumi dan nonpribumi, serta konflik yang terjadi di Kalimantan dan Papua beberapa tahun belakangan ini.

Hal yang perlu terus dicermati adalah eskalasi konflik yang dapat terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan konflik awal. Konflik antarsuku dapat berkembang menjadi konflik antaragama atau sebaliknya, apabila kemajemukan juga terjadi lintas suku. Konflik pribadi atau perseorangan dapat membesar pula menjadi jenis konflik yang lain, ketika solidaritas dibawa-bawa, tribalisme disertakan atau agama dikaitkan dengan konflik perseorangan itu. Tentu saja dalam hal ini solidaritas serta sifat kesukuan dan agama hanya dipakai sebagai akselerator konflik dan bukan sebagai sumber konflik yang sebenarnya.

Dalam suasana kemasyarakatan Indonesia yang mengarah ke demokratis, konflik seperti itu sering kali tak terhindarkan.

  • Pertama , masyarakat bisa jadi memang belum siap dengan masalah “perbedaan” dan keharusan untuk menyikapi “perbedaan” yang jamak terjadi dalam suasana demokrasi.

  • Kedua , sebagian masyarakat masih merasa perlu untuk melakukan dominasi dan pemaksaan kehendak terhadap sebagian masyarakat yang lain.

  • Ketiga , pemaknaan demokrasi dilakukan tidak secara menyeluruh.

  • Keempat , karakter masyarakat yang tidak sadar tentang makna hakiki asasi manusia cenderung menjadikan konflik fisik sebagai cara cepat untuk menyelesaikannya.

Sumber : Dr. Nunung Prajarto, Sistem Sosial, Sistem Politik, dan Sistem Komunikasi, Universitas Terbuka