Apa yang dimaksud dengan Shopaholic?

Shopaholic atau gila belanja

Shopaholic atau gila belanja adalah orang yang memaksakan diri untuk berbelanja dan mungkin merasa dirinya tidak memiliki kontrol atas perilaku tersebut. Dengan kata lain, seorang shopaholic dapat kita sebut menderiat kecanduan berbelanja.

Apa yang dimaksud dengan shopaholic ?

1 Like

Menurut Ruth Engs, seorang profesor ilmu kesehatan terapan dari Indiana University, beberapa orang menjadi shopaholic karena pada dasarnya mereka senang dengan apa yang dirasakan otak mereka saat berbelanja. Dengan berbelanja, otak mereka melepaskan endorfin (hormon kenikmatan) dan dopamin (hormon kesenangan), dan dari waktu ke waktu, perasaan ini menjadi sangat adiktif. Engs mengklaim bahwa 10-15% dari populasi cenderung telah mengalaminya.

Beberapa hal yang ada dalam pikiran seorang shopaholic sejati adalah sebagai berikut:

1. Shopaholic akan terus berusaha disukai orang lain

Menurut penelitian, seorang shopaholic biasanya memiliki kepribadian yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan subjek penelitian non-shopaholic, yang berarti mereka baik hati, simpatik, dan tidak kasar kepada orang lain. Karena mereka sering kesepian dan terisolasi, pengalaman berbelanja menyediakan shopaholic untuk berinteraksi secara positif dengan penjual dan berharap bahwa jika membeli sesuatu maka mereka akan meningkatkan hubungan dengan orang lain.

2. Shopaholic memiliki harga diri yang rendah

Harga diri yang rendah merupakan salah satu karakteristik yang paling umum ditemukan dalam studi mengenai kepribadian shopaholic. Menurut para shopaholic, berbelanja adalah cara untuk meningkatkan harga diri, terutama jika objek yang diinginkan terkait dengan citra (image) yang ingin dimiliki oleh pembeli. Namun, harga diri rendah juga dapat menjadi konsekuensi dari shopaholic, terutama banyaknya utang yang dimiliki dapat meningkatkan perasaan tidak mampu dan tidak berharga.

3. Shopaholic memiliki masalah emosional

Shopaholic memiliki kecenderungan untuk memiliki ketidakstabilan emosional atau perubahan suasana hati. Penelitian juga menemukan bahwa shopaholic juga sering menderita kecemasan dan depresi. Belanja sering digunakan oleh mereka untuk memperbaiki mood, meskipun hanya berlaku untuk sementara waktu.

4. Shopaholic memiliki kesulitan untuk mengontrol impuls

Impuls merupakan sesuatu yang alami, yang secara tiba-tiba mendorong Anda untuk melakukan sesuatu sehingga Anda akan merasa perlu untuk bertindak. Kebanyakan orang merasa cukup mudah untuk mengontrol impuls mereka kerena mereka telah belajar untuk melakukannya di masa kanak-kanak. Di sisi lain, shopaholic memiliki impuls berlebih dan tak terkontrol untuk berbelanja.

5. Shopaholic selalu memanjakan fantasi

Kemampuan shopaholic untuk berfantasi biasanya lebih kuat dibandingkan dengan orang lain. Ada beberapa cara yang membuat fantasi memperkuat kecenderungan untuk membeli terlalu banyak, yaitu shopaholic dapat berfantasi mengenai sensasi berbelanja ketika terlibat dalam kegiatan lain. Mereka dapat membayangkan seluruh efek positif dari membeli objek yang diinginkan, dan mereka dapat melarikan diri ke dunia fantasi dari kerasnya realita kehidupan.

6. Shopaholic cenderung materialistis

Penelitian menunjukkan bahwa shopaholic lebih materialistis dibandingkan dengan pembeli lain, namun mereka menunjukkan adanya cinta yang rumit terhadap harta benda. Secara mengejutkan, mereka sama sekali tidak memiliki ketertarikan untuk memiliki benda-benda yang mereka beli dan mereka kurang memiliki dorongan untuk memperoleh harta benda dibandingkan dengan orang lain. Hal itu menjelaskan mengapa shopaholic cenderung membeli hal-hal yang tidak mereka butuhkan.

Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari maupun tidak. Shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan (Oxford Expans dalam Rizka, 2007).

Dari landasan teori itu maka dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa “Shopaholic adalah seseorang yang memiliki pola belanja eksesif yang dilakukan terus menerus dengan menghabiskan begitu banyak cara, waktu dan uang hanya untuk membeli atau mendapatkan barang-barang yang diinginkan namun tidak selalu dibutuhkan secara pokok oleh dirinya”.

Faktor-Faktor Penyebab Shopaholic

Shopaholic dapat disebabkan oleh berbagai faktor dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Menurut Klinik SERVO dalam Putri Kumala Dewi (2009), ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab shopaholic, yaitu:

  1. Seseorang yang menganut gaya hidup hedonis (materialis).

  2. Seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti mobil, rumah, dan jabatan). Hal ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan akan kebutuhannya.

  3. Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu, seperti kemiskinan dan penghinaan.

  4. Iklan-iklan yang ditampilkan di berbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres. Seperti iklan kartu kredit, diskon, dan produk-produk yang dapat di cicil pembayarannya dapat membuat konsumen tertarik dan tidak berpikir panjang akan dampaknya di masa yang akan datang.

  5. Adanya pikiran-pikiran obsesi akan sesuatu namun tidak rasional. Pengaruh lingkungan sosialisasi, pendidikan dan tempat tinggal.

Sedangkan menurut Rizky Siregar (2010) ada tiga faktor yang dapat menjadi menyebabkan seseorang shopaholic, yaitu:

  1. Pengaruh dari dalam diri sendiri. Seorang shopaholic biasanya memiliki kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi sehingga merasa kurang percaya diri dan tidak dapat berpikir positif tentang dirinya sendiri sehingga beranggapan bahwa belanja bias membuat dirinya lebih baik.

  2. Pengaruh dari keluarga. Peran keluarga, khususnya orang tua dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang menjadi shopaholic . Orang tua yang membiasakan anaknya menerima uang atau barang-barang secara berlebihan, secara tidak langsung mendidik anaknya menjadi konsumtif dan percaya bahwa materi adalah alat utama untuk menyelesaikan masalah.

  3. Pengaruh dari lingkungan pergaulan. Lingkungan pergaulan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Memiliki teman yang hobi berbelanja dapat menimbulkan rasa ingin meniru dan memiliki apa yang dimiliki juga oleh temannya.

Gejala Shopaholic


Seseorang yang shopaholic akan menunjukkan gejala-gejala tidak biasa dalam penerapan pola belanja sehari-hari. Menurut Erma (2010) terdapat 5 gejala seseorang mengalami shopaholic yaitu:

  1. Sangat bersemangat membicarakan rencana jalan-jalan untuk berbelanja. Jika tidak bisa merealisasikannya dalam waktu satu minggu, akan merasa kecewa.

  2. Emosi sering berubah. Saat berbelanja, perasaan menjadi gembira, namun dapat berubah muram ketika uang yang dimiliki menipis atau habis.

  3. Melihat acara pernikahan, pesta, reuni dan lainnya sebagai alasan untuk berbelanja baju baru.

  4. Dalam lemari terdapat pakaian, sepatu, perhiasan, dan peralatan kosmetik yang baru dipakai sekali atau masih terpasang label harga atau belum terpakai sama sekali.

  5. Banyak berutang karena pendapatan tidak bisa mendukung kebiasaan belanja ini.

Menurut klinik SERVO dalam Putri Kumala Dewi (2009), seseorang yang dapat dikategorikan sebagai shopaholic dapat dilihat dari gejala-gejala berikut ini:

  1. Senang menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.

  2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan terhadap apa yang telah dilakukannya.

  3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

  4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang- barang elektronik, yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

  5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

  6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

  7. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan utang-utangnya.

  8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Sedangkan menurut Rizky Siregar (2010), seseorang yang dapat dikategorikan sebagai shopaholic dapat dilihat dari gejala- gejala berikut ini:

  1. Maniak berbelanja dengan intensitas yang eksesif.

  2. Jika perasaan sedang emosi, berbelanja merupakan sarana untuk melepaskan diri dari perasaan tersebut.

  3. Membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, tidak terpakai dan akhirnya hanya menjadi pajangan semata.

  4. Merasa kekurangan apabila keluar dari tempat perbelanjaan tidak membeli apapun.

  5. Sulit menahan diri untuk tidak membeli apapun, hingga pada akhirnya melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebiasaan buruk ini yang berujung pada tindak kriminal.

Shopaholic adalah sebutan bagi seseorang yang mengalami shopping addiction atau yang sering disebut juga sebagi compulsive buying. Menurut Faber dan O’Guinn (dalam Edwards, 1993) defenisi dari shopping addiction atau compulsive buying adalah prilaku berbelanja yang kronis, berulang yang telah menjadi respon utama dalam suatu situasi atau perasaan negative.

Defenisi shopping addiction atau compulsive buying menurut Edwards (1993) adalah suatu bentuk berbelanja yang abnormal dimana konsumen yang bermasalah memiliki kekuatan yang kuat, tidak terkontrol, kronis dan keinginan berulang untuk berbelanja. Compulsive buying merupakan suatu cara untuk menghilangkan perasaan negative seperti stress dan kecemasan.

Tingkatan Shopping Addiction

Shopping addiction atau compulsive buying dikembangkan oleh Edwards (1993) digunakan untuk mengklasifiklasikan konsumen berdasarkan tingkat kompulsivitas dalam berbelanja. Terdapat lima kontinum menurut Edwards yaitu:

  1. Non-compulsive level
    Konsumen dengan tingkat non-compulsive atau normal diasumsikan berbelanja hanya kebutuhan atau yang diperlukan saja.
  2. Recreational spending level
    Konsumen dengan tingkat berbelanja ini terkadang saja atau pada waktu tertentu menggunakan berbelanja untuk menghilangkan stress atau untuk merayakan sesuatu.
  3. Low (borderline) level
    Konsumen dengan tingkat berbelanja ini adalah seseorang yang berada di antara recreational dan komplusif.
  4. Medium (compulsive) level
    Konsumen dengan tingkat berbelanja ini sebagian besar berbelanja untuk menghilangkan kecemasan.
  5. High (addicted) level
    Sama dengan tingkat kompulsif, pada tingkatan ini juga konsumen berbelanja sebagian besar untuk menghilangkan,kecemasan, tetapi pada addicted level ini konsumen memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim dan membuat kesulitan atau gangguan yang serius dalam kehidupan sehari-
    harinya.

Penyebab Shopping Addiction

Masalah yang menjadi penyebab terjadinya Shopping addiction ini adalah sebagian besar dari hal-hal di lingkungan seperti pekerjaan, keluarga, pasangan, pajak, atasa, dan sebagainya. O’Connor (2005) menjelaskan bahwa pengaruh sosial sangat mempengaruhi psikologis dan sikap berbelanja seseorang hingga membuat seseorang menjadi shopaholic.

Berbelanja merupakan suatu simpton utama dan emosi menjadi pemicunya. Adanya studi juga yang menyatakan bahwa compulsive buyer biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi dan tingkat depresi, kecemasan dan obsesi yang tinggi (Scherhorn dkk, 1990 dalam Edwards, 1993).

Siklus Shopping Addiction

Terdapat suatu siklus menurut Edwards (1993) yang menjadi penyebab shopping addiction yang disebut dengan spending cycle yaitu:

  1. Bermula dengan perasaan kekosongan dalam diri seseorang, self esteem yang rendah dan perasaan incompleteness (ketidaklengkapan).
  2. Lingkungan di sekitarnya seperti memberikan sinyal bahwa apabila seseorang memiliki sesuatu maka orang tersebut menjadi penting, berharga, dan disukai. Sinyal ini datang dari keluarga, teman, teman kerja, media dan lainnya yang mempunyai pengaruh pada seseorang.
  3. Seseorang akan berbelanja untuk mendapatkan perasaan sukses dan akan membagi ceritanya kepada lingkungan yang akan kagum pada dirinya

Jenis-Jenis Shopaholic

Orang yang mengalami shopping addiction biasa di sebut juga dengan shopaholic, dan menurut Amelia Masniari (2008 ), ada beberapa macam jenis shopaholic, yaitu:

  1. Shopaholic yang fanatik pada merk tertentu.
  2. Shopaholic yang memakai barangnya hanya 1-3 kali pakai.
  3. Shopaholic yang selalu membeli berdasarkan perkembangan tren. Harus memiliki apapun yang menjadi tren masa kini.
  4. Shopaholic yang selektif dalam soal kualitas, walaupun berharga mahal apabila kualitasnya bagus maka ia akan langsung membelinya tanpa berpikir panjang lagi.
  5. Shopaholic yang menunjukkan gejala impulsif di tempat. Tidak berniat membeli apapun saat di rumah, namun saat datang ke tempat berbelanja ia menjadi sangat mudah tergoda dan akhirnya membeli apapun yang dirasa olehnya bagus.
  6. Shopaholic yang senada. Apapun yang dipakai harus senada dari segi warna, bentuk dan lainnya. Apabila ia ingin memakai satu barang dan tidak memiliki aksesoris dengan warna yang sama, maka ia akan langsung membeli yang baru.
  7. Shopaholic yang senang membeli semua warna. Apabila saat berbelanja ia senang dengan satu jenis barang, maka semua varian warna dari barang tersebut akan dibeli juga.
  8. Shopaholic yang mudah terayu oleh bujukan. Apabila teman atau pelayan toko melebih-lebihkan suatu barang maka ia akan langsung membeli tanpa berpikir panjang lagi.
  9. Shopaholic yang pantang untuk kalah dari orang lain. Apapun yang dimiliki orang lain, maka ia juga harus memilikinya. Bahkan harus memilikinya terlebih dahulu sebelum orang lain.

Motivasi Shopaholic

Motif-motif belanja yang didasari oleh sudut pandang hedonis atau segala sesuatunya dipandang dari segi materinya saja dapat mendorong seseorang untuk menjadi shopping addiction. Melalui studi eksploratoris kualitatif dan kuantitatif oleh Arnold & Reynolds (2003) mengidentifikasi enam faktor motivasi belanja hedonis, yaitu:

  1. Adventure Shopping, yaitu berbelanja untuk petualangan.
  1. Social Shopping, yaitu berbelanja untuk menikmati kebersamaan dan berinteraksi dengan orang lain.
  2. Gratification Shopping, yaitu berbelanja sebagai perlakuan khusus bagi diri sendiri.
  3. Idea Shopping, yaitu berbelanja untuk mengikuti tren dan inovasi baru.
  4. Role Shopping, yaitu kesenangan berbelanja untuk orang lain.
  5. Value Shopping, yaitu berbelanja untuk mendapatkan harga khusus.

Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari maupun tidak. Shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan ( Oxford Expans dalam Rizka, 2007). Shopaholic adalah seseorang yang memiliki pola belanja berlebihan yang dilakukan terus menerus dengan menghabiskan begitu banyak cara, waktu dan uang hanya untuk membeli atau mendapatkan barang-barang yang diinginkan namun tidak selalu dibutuhkan secara pokok oleh dirinya.

Faktor-Faktor penyebab Shopaholic


Shopaholic terjadi karena beberapa faktor luar dan dalam diri seseorang. Menurut Rizky Siregar (2010) ada tiga faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi shopaholic :

  1. Pengaruh dari dalam diri sendiri
    Seorang shopaholic memiliki kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi sehingga merasa kurang percaya diri dan tidak dapat berfikir positif tentang dirinya sendiri. Seorang shopaholic beranggapan bahwa belanja bisa membuat dirinya lebih baik.

  2. Pengaruh dari keluarga
    Peran keluarga khususnya orang tua dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menjadi shopaholic . Orang tua yang membiasakan anaknya menerima uang atau benda-benda secara berlebihan, secara tidak langsung mengajarkan kepada anaknya untuk lebih konsumtif.

  3. Pengaruh lingkungan pergaulan
    Lingkungan pergaulan berpengaruh besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Memiliki teman yang hobi berbelanja dapat menimbulkan rasa ingin meniru dan memiliki apa yang dimiliki oleh teman pergaulannya.

Dari ketiga faktor diatas, tentu saja terdapat faktor yang berpengaruh dan menyebabkan seseorang menjadi penggila belanja, faktor dari internal dan eksternal yang dapat memotivasi dan memberi arahan yang dapat membuat seorang shopaholic lebih baik lagi. Dari faktor diatas tentu akan menimbulkan beberapa gejala yang menyebabkan seseorang menjadi penggila belanja atau yang sering disebut shopaholic .

Gejala Shopaholic


Menurut klinik Servo dalam Putri Kumala Dewi (2009) yang terdapat pada jurnal skripsi dengan judul “gejala shopaholic di kalangan mahasiswa” , seseorang yang dapat dikategorikan sebagai shopaholic dapat dilihat dari gejala - gejala berikut ini :

  1. Senang menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.

  2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan terhadap apa yang telah dilakukannya.

  3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

  4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu, tas dan make-up yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

  5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

  6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

  7. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan utang-utangnya.

  8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Motivasi Belanja bagi Shopaholic


image