Apa yang dimaksud dengan Sepsis Neonatorum?

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinik penyakit sistemik disertai bakteremia pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum dapat dibedakan menjadi sepsis awitan dini (SAD) yang timbul dalam 72 jam pertama kehidupan dan sepsis awitan lambat (SAL) yang timbul setelah umur 72 jam.

Apa yang dimaksud dengan Sepsis Neonatorum ?

Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah neonatus selama bulan pertama kehidupan (Stoll, 2007). Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan (usia 0 sampai 28 hari). Terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis dalam sepuluh tahun terakhir.

Menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC, 2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/ syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian (Depkes, 2007).

Klasifikasi

Secara umum sepsis neonatorum diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya menjadi sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Angka mortalitas sepsis neonatorum awitan lambat lebih rendah 10-20% dibanding dengan sepsis neonatorum awitan dini.

Sepsis neonatorum awitan dini terjadi pada 48-72 jam setelah lahir dan merupakan penyebab terpenting dalam morbiditas dan mortalitas pada neonatus. Angka kejadian sepsis neonatorum awitan dini sebanyak 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas 15-50%.

Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal (Depkes, 2007).

Etiologi

Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis. Berbagai macam patogen seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada sepsis neonatorum. Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bakteri gram negatif merupakan penyebab terbanyak kejadian sepsis neonatorum di negara berkembang (Modi dan Carr, 2000).

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang, yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea, dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat tersering yang ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas sp, dan Enterobacter sp (WHO, 1999).

Data etiologi sepsis neonatorum di Indonesia tidak banyak didapatkan. Bakteri terbanyak yang ditemukan di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Jakarta pada tahun 2003 berturut-turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, dan Pseudomonas sp (Depkes, 2007).

Data terakhir pada bulan Desember 2006 sampai Juli 2007 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius adalah kuman yang paling sering didapatkan (14,7%), diikuti Staphylococcus epidermidis (6,9%), Enterobacter aerogenes (4,9%), Pseudomonas sp (3,9%), dan Eschericia coli (3,9%) (Juniatiningsih dkk., 2008).

Bakteri penyebab sepsis neonatorum di RSUP Sanglah Denpasar didominasi oleh bakteri gram negatif (68,3%), terbanyak adalah Serratia marcescens (23,5%). Bakteri gram positif didapatkan proporsi sebesar 31,7%, terdiri dari Staphylococcus coagulase positive (16,4%), Staphylococcus coagulase negative (10,2%), dan Streptococcus viridans (4,6%) (Kardana, 2011).

Perjalanan penyakit (Patogenesis)

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (Depkes, 2007).

Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus
Gambar Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus (Haque, 2005)

Gejala klinis sepsis neonatorum sangat bervariasi sehingga diagnosis sepsis sulit ditegakkan. Kriteria diagnostik sepsis pada neonatus tidak hanya berdasarkan gejala klinis tetapi juga mencakup pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus didasarkan atas perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi empat variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi (Aminullah, 2005).

Tabel Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus
Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus

Variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien sesuai dengan proses tumbuh kembang anak. International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah sepakat mengenai definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik. Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven) (Depkes, 2007).

Tabel Kriteria SIRS
image

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit) Sumber: Goldstein, 2005

Tabel Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, dan syok septik
image

Patofisiologi

Janin relatif aman selama dalam kandungan terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Kemungkinan kontaminasi kuman bagaimanapun juga masih dapat terjadi melalui tiga jalan (Depkes, 2007).

  • Pertama, yaitu pada masa antenatal atau sebelum lahir, kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus, masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin.

  • Kedua, yaitu pada masa intranatal atau saat persalinan.

  • Ketiga, yaitu pada saat ketuban pecah. Paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam (Depkes, 2007).

Infeksi setelah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh (acquired infection), yaitu infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim, misalnya melalui alat pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, dan botol minuman. Bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan antisepsis, rawat inap yang terlalu lama, dan hunian terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial (Depkes, 2007).

Diagnosis

Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum, baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya (Rohsiswatmo, 2005).

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan neonatus. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi faktor risiko mayor dan faktor risiko minor. Neonatus dikatakan mempunyai faktor risiko (faktor risiko positif) bila didapatkan satu faktor risiko mayor atau dua faktor risiko minor (Pedoman Pelayanan Medis IKA FK Unud, 2011).

Pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif pada neonatus yang mempunyai faktor risiko dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work- up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan lebih efisien, sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik (Pusponegoro dkk., 2004).

Tabel Faktor risiko sepsis neonatorum
Faktor risiko sepsis neonatorum

Gambaran klinis pasien sepsis neonatorum tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan penegakan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan neonatus (Shirazi dkk., 2011).

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, dan Perawat di Rumah Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum (Kosim dkk., 2003). Tabel dibawah ini menerangkan manifestasi klinis sepsis neonatorum (Rohsiswatmo, 2005).

Tabel Manifestasi klinis sepsis neonatorum
Manifestasi klinis sepsis neonatorum

Neonatus dikatakan menunjukkan gejala klinis sepsis apabila terdapat satu atau lebih kriteria SIRS disertai dengan satu manifestasi klinis sepsis neonatorum. (Pedoman Pelayanan Medis IKA FK Unud, 2011).

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan kultur darah sampai saat ini merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil kultur akan diketahui dalam waktu minimal tiga sampai lima hari. Kultur darah pada pasien sepsis neonatorum dapat ditemukan hasil yang negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis yang jelas. Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media kultur. Hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada neonatus yang dapat menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa (Depkes, 2007).

Pewarnaan gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini masih sering digunakan di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan untuk identifikasi awal ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas, walaupun dilaporkan terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus serta bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri (Depkes, 2007).

Pemeriksaan lain untuk mendiagnosis sepsis neonatorum adalah pemeriksaan komponen darah. Sekitar 10-60% pasien sepsis neonatorum menunjukkan jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/mm3 dan terjadi pada satu sampai tiga minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan. Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis daripada jumlah trombosit. Enam puluh persen pasien sepsis biasanya disertai perubahan hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I:T) sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum. Sensitivitas rasio I:T ini 60-90%, sehingga untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang lain. C-reactive protein adalah protein yang timbul pada fase akut kerusakan jaringan, meningkat pada 50-90% pasien sepsis neonatorum. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam menegakkan sepsis neonatorum karena dapat meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh (Sundari dkk., 2008; Aminullah, 2010).

Salah satu upaya yang dilakukan akhir-akhir ini dalam menentukan diagnosis dini sepsis neonatorum adalah pemeriksaan biomolekuler dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Kadar sitokin proinflamasi (IL- 2, IL-6, IFN-g, TNF-a) dan antiinflamasi (IL-4, IL-10) pada bayi baru lahir akan terlihat meningkat pada bayi dengan infeksi sistemik (Aminullah, 2010).

Kedua pemeriksaan terakhir (pemeriksaan biomolekuler ataupun respon imun) memerlukan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan biaya mahal yang mungkin belum bisa terjangkau oleh sebagian besar negara berkembang. Dari riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan penunjang ataupun pemeriksaan laboratorium tampaknya belum ada informasi tunggal yang dapat dipakai sebagai indikator sepsis sehingga perlu dipertimbangkan kombinasi berbagai informasi dalam menentukan diagnosis (Aminullah, 2010).

Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Penggunaan antibiotik empiris dapat segera dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan. Antibiotik empiris dapat segera diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Beberapa terapi suportif (adjuvant) juga mulai dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan (Depkes, 2007).

Terapi suportif pada keadaan sepsis sangat dibutuhkan, seperti pemberian oksigen, inotropik, dan komponen darah. Terapi suportif dalam kepustakaan disebut dengan terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), serta inhibitor reseptor IL-1 (Depkes, 2007).

Komplikasi

Komplikasi sepsis neonatorum antara lain meningitis yang dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/ atau leukomalasia periventrikular. Komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan syok septik dapat dijumpai pada pasien sepsis neonatorum. Komplikasi lain adalah berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti tuli dan/ atau toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental bahkan sampai menimbulkan kematian (Depkes, 2007).

Prognosis

Prognosis pasien adalah lebih baik bila diagnosis dilakukan lebih dini dan terapi yang diberikan tepat. Angka kematian dapat meningkat bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum tidak dapat dikenali dengan baik. Rasio kematian pada sepsis neonatorum dua sampai empat kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan (Depkes, 2007).

Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. Sepsis ditandai dengan respon inflamasi sistemik dan bukti infeksi pada bulan pertama kehidupan, berupa perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi, dan takipnea.

Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. Angka kejadian sepsis di Indonesia masih tinggi 8.7 sampai 30.29% dengan angka kematian 11.56 sampai 49.9%. Sepsis awitan dini angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan sepsis awitan lambat.

Sepsis merupakan penyebab kematian utama pada bayi, yaitu sekitar 30 sampai 50% di negara berkembang. Sepsis neonatorum dibagi menjadi dua berdasarkan awitan munculnya sepsis yaitu: Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (SAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SAL).

SAD merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Sepsis awitan lambat biasa bearasal dari lingkungan sekitar dan yang paling sering disebabkan oleh infeksi nosokomial yang didapat pada saat bayi dirawat inap di rumah sakit.

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).

Etiologi

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%).

Faktor risiko

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain. Faktor risiko ibu:

  1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
  2. Infeksi dan demam (lebih dari 38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
  3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
  4. Kehamilan multipel.
  5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
  6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

Faktor risiko pada bayi:

  1. Prematuritas dan berat lahir rendah
  2. Asfiksia neonatorum
  3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan.
  4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
  5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia.

Faktor risiko lain: Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di nicu.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman.

Berdasarkan penelitian hanya sekitar 10% bayi yang pada darahnya ditemukan bakteri akan mengalami demam, lebih banyak yang suhu tubuhnya normal atau malah rendah. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).

Patofisiologi sepsis neonatorum

Infeksi organisme akan melepaskan toksin mikrobial yang merangsang suatu kompleks kaskade untuk menimbulkan respon inflamasi sistemik. Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis.

Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.

Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif.

Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis . Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen.

Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.

Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.