Apa yang dimaksud dengan sense-making?

Sense-making

Sense-making atau Sensemaking adalah proses di mana orang memberi makna pada pengalaman kolektif mereka.

Sense-making merupakan pendekatan yang mengemukakan bahwa pencarian-informasi dan penggunaan-informasi muncul saat individu menemukan diri mereka sendiri tidak mampu maju melalui sebuah situasi khusus tanpa membentuk suatu jenis “pengertian” baru tentang sesuatu. Kebutuhan informasi itu dengan demikian terikat dengan situasi (Dervin, 1986).

Beberapa asumsi inti Sense-Making adalah diskontinuitas. Terdapat jurang antara entitas, waktu, dan ruang. Setiap individu adalah entitas bergerak melalui waktu dan ruang, berurusan dengan entitas lain yang termasuk orang lain, artefak, sistem, atau institusi. Pembuatan makna (sense) individu sebagai sebuah strategi untuk menjembatani jurang tersebut merupakan metafora sentral dari Pendekatan Sense-Making (Spurgin).

Sense-Making didefinisikan sebagai perilaku internal dan eksternal yang memungkinkan individu mengkonstruksikan dan merancang perjalannya melintasi ruang dan waktu (Atikah, 2002).

Metafora  Sense-Making
Gambar Metafora Sense-Making

Gambar diatas menunjukan metafora seorang manusia yang sedang berjalan menuju jembatan. Manusia berjalan membawa masalah (situasi problematik) dan berusaha membangun sebuah jembatan berupa informasi yang ia maknai (sensemaking). Di bawahnya ada jurang (gap) yang harus ia lewati untuk menuju situasi tujuan.

image

Secara lebih sederhana, konsep Sense-Making dapat dilihat pada Gambar diatas. Konsep ini berfokus pada triangulasi antara tiga unsur dasar pada diri manusia, yang selalu bergerak dalam ruang dan waktu. Tiga unsur dasar yang penting dalam proses tersebut adalah situasi, jurang, dan hasil/kegunaan.

Dervin mendefinisikan situasi sebagai konteks ruang dan waktu dimana sense-making dikonstruksikan. Konsep kesenjangan (gap) adalah salah satu aspek ketidakjelasan dari situasi di mana orang merasakan kebutuhan untuk mencari kejelasan agar dapat melanjutkan gerakannya. Beberapa penelitian menyamakan kesenjangan ini dengan kebutuhan informasi atau pertanyaan-pertanyaan dalam diri pemakai. Konsep manfaatkan adalah hasil yang diperoleh individu setelah terciptanya sense baru (Atikah, 2002).

Situasi tersebut merujuk pada peristiwa dalam kehidupan seseorang yang menciptakan kekurangan pengertian, atau jurang. Jurang itu, hanya dilihat dalam mata kesadaran, diterjemahkan ke dalam bentuk pertanyaan dan jawaban pada pertanyaan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah jembatan yang melintasi jurang tersebut. Elemen ke-tiga dari model tersebut adalah kegunaan yang dibuat dari jawaban - apa yang diharapakan pencari/pengguna setelah melintasi jembatan. Ketiga elemen dilihat sebagai elemen yang terpisah tetapi terkait dari sebuah triangulasi proses sense-making (Dervin dan Dewdney).

Seperti yang jelaskan oleh Donald Walker (1981), Informasi dalam hal ini tidak intrinsik dalam data, melainkan nilai bagi pengguna yang berfungsi memenuhi kebutuhan informasi.

Untuk mengukur situasi, Dervin menggunakan beberapa variable, antara lain:

  • bentuk gerakan situasional (situasional movement state),
  • kejelasan situasi (situation clarity),
  • keterkaitan sosial (social embeddednes),
  • pentingnya situasi (situation importance),
  • pengalaman masa lalu (post experience),
  • kemampuan menghadapi situasi (ability to deal with situation),
  • kekuatan merubah situasi (power to change situation),
  • situasi dalam komunikasi yang terbuka (openness to communication in situation),
  • status situasi (status in situation),
  • jarak situasi (distance into situation).

Sementara itu kesenjangan (gap) diukur dengan beberapa variable, antara lain: 5W +1 H, waktu, valensi, entitas dan gerakan.

Konsep manfaat (uses) memiliki 2 (dua) ukuran berupa variable: sifat dari hurt (=blocking, dalam pengertian bebas adalah hambatan) dan sifat dari help (manfaat dari informasi) (Atikah, 2002).

Brenda Dervin mengembangkan sebuah teori yang diberinama Teori Sense-Making (selanjutnya TSM) untuk membantu peneliti bidang informasi memahami fenomena kebutuhan dan pencarian informasi. Agar dapat memahami dan menggunakan TSM, kita perlu memahami aspek ontologi dan epistemologi yang mendasarinya. Secara sederhana, “ontologi” adalah unsur “apa” (hakikat fenomena) sedangkan “epistemologi” adalah unsur “bagaimana memahami” unsur apa itu. Artinya, setiap teori selalu menegaskan apa yang patut diteliti dan bagaimana menelitinya.

Secara umum, TSM menganjurkan agar penelitian bidang informasi memfokuskan perhatian pada bagaimana seseorang “make sense” (memaknai, memahami, mengenali, mengerti) dunia sekelilingnya melalui persentuhan dengan berbagai institusi, media, pesan, dan situasi. Landasan TSM adalah paham fenomenologi ( phenomenology ), yakni paham yang percaya bahwa manusia secara aktif membentuk dunia sekeliling mereka dengan melakukan observasi dan pemaknaan terhadap segala yang terjadi. Dengan kata lain, “dunia sekeliling” terdiri dari “dunia buatan” yang dibentuk di pikiran manusia melalui persepsi, pandangan, dan pemaknaan. Dunia sekeliling bukanlah semata-mata “dunia fisik”. Justru unsur terpenting dalam kehidupan manusia adalah “dunia buatan” itu. Dalam bahasa sehari-hari, dunia buatan ini seringkali disebut sebagai “realita kehidupan”.

Dalam menggunakan pendekatan Sense Making maka didapatkan delapan kerangka agar pendekatan ini lebih masuk akal yaitu (Palmer et al, 2006, p191):

1. Sense Making and Identity Construction

Cara-cara yang berbeda dimana karyawan menerima dengan masuk akal kejadian perubahan organisasi dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan pengertian mereka mengenai identitas yang dibangun dalam organisasi.

2. Social Sense Making

Kebutuhan dimana karyawan perlu menerima dengan masuk akal situasi tidak hanya sebagai individu pribadi tetapi juga sebagai individu sosial yang berhubungan dengan variasi dari adanya pengaruh kepada mereka.

3. Extracted Cues of Sense Making

Kebutuhan manajer perubahan untuk mengetahui bagaimana cara karyawannya menggambarkan petunjuk, ide atau tindakan yang diambil dari lingkungan luar dengan tujuan membuat masuk akal berbagai keputusan.

4. Ongoing Sense Making

Sense Making berubah sepanjang waktu selama ide-ide baru didapatkan dan kejadian-kejadian baru dialami.

5. Retrospection

Karyawan merasa masuk akal akan perbuatannya yang dapat dilihat pada masa lalu (retrospectively).

6. Plausibility

Cara dimana program manajemen perubahan butuh untuk dijual sehingga cerita mengenai perubahan dapat dipercaya daripada kebutuhan akan akurasinya.

7. Enactment

Lebih kepada penerapan akan sense of action (rasa untuk melakukan tindakan)

8. Projective Sense Making

Kemampuan seorang agen perubahan untuk memproyeksikan sense making ke dalam situasi, dan membentuk interpretasinya untuk orang lain.