Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) diturunkan dari kata bahasa Yunani Kuno sema (bentuk nominal) yang berarti
“tanda” atau “lambang”. Bentuk verbalnya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata “sema” itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure.
Tanda linguistik terdiri dari komponen penanda (Prancis: signifie) yang berwujud bunyi, dan komponen petanda (Prancis: signifie) yang berwujud konsep atau makna.
Kata semantik ini, kemudian disepakati oleh banyak pakar untuk menyebut bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda linguistik itu dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna-makna yang terdapat dalam satuan-satuan bahasa. Oleh karena itu, semantik secara gamblang dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari makna.
Selain semantik, dalam studi tentang makna ada pula bidang studi yang disebut semiotika (sering juga disebut semiologi dan semasiologi). Bedanya, kalau semantik objek studinya adalah makna yang ada dalam bahasa maka semiotika objek studinya adalah makna yang ada dalam semua sistem lambang dan tanda. Jadi, sebetulnya objek kajian semiotika lebih luas daripada objek kajian semantik. Malah sebenarnya, studi semantik itu sesungguhnya berada di bawah atau termasuk dalam kajian semiotik, sebab bahasa juga termasuk sebuah sistem lambang.
Dalam hal ini kiranya perlu dijelaskan dulu perbedaan antara lambang dengan tanda.
-
Lambang adalah sejenis tanda dapat berupa bunyi (seperti dalam bahasa), gambar (seperti dalam tanda-lalu lintas), warna (seperti dalam lalu lintas), gerak-gerik anggota tubuh dan sebagainya yang secara konvensional digunakan untuk melambangkan atau menandai sesuatu. Misalnya, kata yang berbunyi (kuda), digunakan untuk melambangkan sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dan warna merah dalam lampu lalu lintas untuk melambangkan tidak boleh berjalan terus.
-
Tanda adalah sesuatu yang menandai sesuatu yang lain. Misalnya, adanya asap hitam membubung tinggi di kejauhan adalah tanda adanya kebakaran atau rumput-rumput di halaman basah adalah tanda telah terjadinya hujan dan sebagainya. Jadi, bisa disimpulkan, kalau lambang itu bersifat konvensional, sedangkan tanda bersifat alamiah.
Sudah disebutkan di atas bahwa semantik objek studinya adalah makna bahasa. Lalu, apakah semantik mempelajari juga makna-makna, seperti yang terdapat dalam ungkapan bahasa bunga, bahasa warna, dan bahasa perangko? Tentu saja tidak, sebab makna-makna yang terdapat dalam ungkapan bahasa bunga, bahasa warna dan bahasa perangko itu bukanlah merupakan makna bahasa melainkan makna dari sistem komunikasi yang lambangnya berupa bunga, warna dan perangko. Jadi, sebenarnya tidak termasuk objek kajian semantik, melainkan menjadi objek kajian semiotika.
Berlainan dengan sasaran analisis bahasa lainnya, semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai kenyataan bahwa Kegunaan kata-kata tertentu untuk menyatakan suatu makna dapat mendapat identitas kelompok dalam masyarakat.
Seperti penggunaan kata uang dan duit meskipun kedua kata itu memiliki makna yang sama, tetapi jelas menunjukkan kelompok sosial yang berbeda. Bidang studi antropologi mempunyai kepentingan dengan semantik, antara lain karena analisis makna sebuah bahasa dapat memberikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris tidak ada kata untuk membedakan konsep padi, “gabah”, “beras”, dan “nasi” karena masyarakat Inggris tidak memiliki budaya makan nasi. Untuk keempat konsep itu bahasa Inggris hanya punya satu kata, yaitu rice, sedangkan bahasa Indonesia memiliki kata untuk keempat konsep itu karena masyarakat Indonesia memiliki budaya makan nasi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang tidak pernah digeluti salju hanya mempunyai satu kata untuk konsep salju, yaitu salju. Itu pun merupakan kata serapan dari bahasa Arab, padahal dalam bahasa Eskimo ada lebih dari 20 kata untuk mengungkap konsep salju karena barangkali sepanjang waktu bangsa Eskimo selalu bergelut dengan salju.
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti atau mempelajari makna bahasa. Lalu, kita tahu bahwa bahasa itu terdiri dari sejumlah tataran yang bila diurutkan dari yang terkecil adalah tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana. Di samping itu, masih ada tataran lain, yaitu tataran leksikon.
Maka, menjadi persoalan apakah semua tataran itu menjadi objek kajian semantik?
Leksikon
Kita lihat dari yang terbawah, yakni leksikon. Asal kata leksikon adalah dari kata leksem, yakni satuan bahasa yang mempunyai makna tertentu di dalam kesendiriannya atau makna di luar konteks apa pun. Kumpulan leksem atau daftar leksem disebut leksikon. Dalam hal ini ada pakar yang memadankan kata dan pengertian leksikon itu dengan kata/istilah kosakata.
Bentuk ajektif dari leksikon adalah leksikal. Oleh karena setiap leksem, sebagai satuan leksikon memiliki makna maka pada tataran leksikon ini ada studi semantik. Objek penelitiannya adalah makna leksem itu, yang lazim disebut makna leksikal. Menurut Verhaar (1978) cabang studi linguistik yang meneliti makna leksikal disebut semantik leksikal.
Fonologi
Tataran fonologi lazim dibagi 2, yaitu fonetik dan fonemik. Satuan dalam studi fonetik adalah fon (atau bunyi bahasa). Fon ini tidak bermakna dan tidak dapat membedakan makna kata. Oleh karena itu, pada tingkat fonetik ini tidak ada studi dan masalah semantik. Satuan dalam tataran fonemik adalah fonem, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna kata. Meskipun fonem ini dapat membedakan makna kata, tetapi sesungguhnya fonem Itu sendiri tidak memiliki makna.
Oleh karena itu, pada tataran fonemik ini pun tidak ada persoalan semantik atau dengan kata lain, fonemik tidak menjadi objek studi semantik. Namun, dalam hal ini perlu diketahui adanya fonem-fonem bermakna yang disebut fonestem, seperti bunyi (i) yang katanya memiliki makna kecil seperti terdapat pada kata detik, titik dan jentik. Berbeda dengan bunyi (a) yang memiliki makna besar, seperti pada kata detak, derak dan kelap. hanya perlu dipahami makna dalam fonestem ini tidak melewati batas morfem.
Morfologi
Pada tataran morfologi ada masalah semantik, sebab morfem yang merupakan satuan terkecil dalam studi morfologi lazim diberi definisi satuan gramatikal terkecil yang bermakna. Studi morfologi selalu berkenaan dengan proses pembentukan, baik dengan menggunakan afiks, dengan pengulangan maupun dengan penggabungan (komposisi). Proses-proses pembentukan kata ini akan melahirkan makna-makna yang disebut makna gramatikal sebab studi morfologi termasuk dalam lingkup gramatika.
Sintaksis
Pada tataran sintaksis juga ada masalah semantik karena semua satuan sintaksis, yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat memiliki makna dan di dalam proses penyusunan satuan-satuan itu pun lahir juga makna-makna baru yang juga disebut makna gramatikal sebab sintaksis juga berada dalam lingkup gramatika. Di samping itu berbagai hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti aspek, kata, dan modalitas melahirkan pula makna-makna yang disebut makna sintaktikal.
Dalam studi sintaksis, lazim juga dikemukakan adanya sub tataran yang disebut :
- Fungsi sintaksis,
- Kategori sintaksis, dan
- Peran sintaksis.
Yang dimaksud dengan fungsi sintaksis adalah bagian-bagian dari struktur sintaksis yang lazim disebut subjek (S), predikat §, objek (0), dan keterangan (K). Fungsi-fungsi sintaksis ini sebenarnya tidak bermakna, sebab fungsi-fungsi itu hanya merupakan “kotak-kotak” kosong yang ke dalamnya akan diisikan kategori-kategori tertentu, seperti verba, nomina, ajektiva, dan adverbia. Kategori-kategori ini secara sendiri-sendiri tentu mempunyai makna, lalu dalam kedudukannya sebagai satuan yang membentuk satuan kalimat juga memiliki makna. Oleh karena itu, dengan kata lain, tataran sintaksis juga menjadi objek studi semantik.
Wacana
Di dalam tataran kebahasaan, wacana merupakan tataran dan satuan kebahasaan yang tertinggi, lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang lengkap, tersusun dari kalimat atau kalimat-kalimat.
Makna wacana biasanya bukan berasal dari satuan-satuan kebahasaannya saja, tetapi juga ditentukan oleh konteks budaya atau sosial yang menyertai kehadiran wacana itu. Umpamanya, kalau pada suatu pagi seorang suami (yang menjadi pegawai pada suatu kantor) berkata kepada Istrinya, “Bu, sudah hampir pukul tujuh” maka makna wacananya bukan berisi informasi dari si suami kepada si istri bahwa hari hampir pukul tujuh, melainkan berisi pemberitahuan bahwa si Suami sudah harus segera berangkat ke kantor, serta meminta agar si istri menyiapkan sarapan, dan sebagainya. Dalam kasus ini, kalau si istri memahami makna wacana itu, tentu dia akan menjawab, “ya, mas, sebentar lagi sarapan akan siap!” dan bukan sahutan, “ya, Mas, jam di dapur malah sudah pukul tujuh lewat lima”.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa ruang lingkup studi semantik meliputi semua tataran bahasa, kecuali tataran fonetik dan fonemik yang meskipun menyinggung juga masalah makna, tetapi tidak memiliki makna.
Kemudian, berkenaan adanya tataran bahasa itu, lazim dibedakan adanya semantik leksikal, yakni semantik yang objek studinya makna yang ada pada leksem-leksem, dan lazim disebut makna leksikal. Semantik yang meneliti makna dalam proses gramatikal disebut semantik gramatikal. Semantik gramatikal ini meliputi pengkajian makna dalam proses-proses morfologi, yaitu afiksasi, reduplikasi, dan komposisi, serta proses-proses dalam pembentukan satuan.
Referensi
Sumber : Abdul Chaer, Liliana Muliastuti, Makna dan Semantik, Universitas Terbuka