Apa yang dimaksud dengan Self-Efficacy dalam Ilmu Komunikasi?

Self-Efficacy adalah suatu keyakinan individu terhadap segala aspek kelebihan yang dimiliki individu yang bertujuan menghasilkan suatu pencapaian (Bandura, 1997).

Self-efficacy adalah suatu keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu dalam situasi tertentu dengan berhasil. (Bandura, 1997)

Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu merasa berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan, dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk mengendalikan lingkungan (sosial) nya. Keyakinan pada seluruh kemampuan meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.

Self-efficacy menurut Warsito (2004) bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada suatu tugas atau situasi tertentu, namun pada situasi dan tugas yang lain tidak. Self-efficacy juga bersifat konseptual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi.

Bandura (1997) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek dalam self efficacy, yaitu

  • Pengharapan hasil (outcome expectancy)
    Pengharapan hasil (outcome expectancy) merupakan harapan terhadap kemungkinan hasil dari suatu perilaku

  • Pengharapan efikasi (efficacy expectancy)
    Pengharapan efikasi (efficacy expectancy) merupakan harapan yang akan dapat membentuk perilaku secara tepat. Suatu keyakinan bahwa seseorang akan berhasil dalam bertindak sesuai dengan hasil yag diharapkan.

  • Aspek ini menunjukkan bahwa harapan seseorang berkaitan dengan kesanggupan melakukan suatu perilaku yang dikehendaki.

  • Nilai hasil (outcome value)
    Nilai hasil (outcome value) merupakan nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan dan seseorang harus mempunyai outcome value yang tinggi untuk mendukung self-efficacy yang dimilikinya.

Hubungan komunikasi dengan self-efficacy

Komunikasi adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, menurut penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia (Rakhmat, 2008).

Komunikasi yang berjalan tidak efektif, menyebabkan pelaku komunikasi mengembangkan sikap ketidaksenangan dan menutup diri (Rakhmat, 1998). Sikap ketidaksenangan dapat menyebabkan ketegangan pada individu. Adanya ketegangan, dan sikap menarik diri dari lingkungan pergaulan mengindikasikan adanya gejala kecemasan pada diri individu.

Apollo (2007) menyebut kecemasan berbicara didepan umum dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.

Masing-masing gejala yang ditunjukkan ketika mengalami kecemasan berbicara di depan umum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi masing-masing gejala saling berhubungan. Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum akan mengalami gejala pada psikologisnya, akan mempengaruhi fisiologis dan kognitifnya semua gejala tersebut saling timbal balik satu dengan yang lainnya.

Ketidakmampuan mengungkap keinginan, perasaan, mengekspresikan apa yang ada dalam diri individu, menjadi suatu masalah baru yang sulit untuk diselesaikan, sehingga individu memerlukan sebuah pengalaman, kemampuan dan keterampilan yang berdampak pada kemampuan akademik yaitu keterampilan berkomunikasi.

Rakhmat (2008) mengatakan bahwa ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif (prihatin atau takut) di dalam berkomunikasi akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi, dan akan berbicara jika terdesak saja.

Bila kemudian ia terpaksa berkomunikasi, sering pembicaraannya tidak relevan, sebab berbicara yang relevan tentu akan mengundang reaksi yang baik dari orang lain. Orang-orang yang mengalami tidak terampil berkomunikasi yang akan menjadi cikal bakal timbulnya kecemasan berbicara di muka umum, dia akan merasa bahwa orang tidak memberikan respon yang positif terhadap apa yang diucapkannya.

Kemampuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif menyebabkan individu yang terlibat dalam proses komunikasi merasa senang, sehingga mendorong tumbuhnya sikap saling terbuka (Rakhmat, 1998)