Apa yang dimaksud dengan Salat Istikharah?

Salat Istikharah adalah salat sunnah yang dikerjakan untuk meminta petunjuk Allah oleh mereka yang berada di antara beberapa pilihan dan merasa ragu-ragu untuk memilih atau saat akan memutuskan sesuatu hal. Spektrum masalah dalam hal ini tidak dibatasi.

Apa yang dimaksud dengan Salat Istikharah ?

1 Like

Istikharah secara bahasa berarti “memilih” atau “minta dipilihkan”. Ketika ada tambahan huruf Alif, Sĩn dan Ta maka dalam tata bahasa Arab berubah menjadi mencari pilihan.

Menurut istilah salat sunnah Istikhârah ialah salat sunnah dua raka‟at untuk memohon kepada Allah ketentuan pilihan yang lebih baik diantara dua hal atau lebih yang belum jelas ketentuan baik buruknya.

Arti Istikhârah menurut syariat Islam, disebutkan ada dua makna Istikhârah, yaitu meminta kepada Allah suatu kebaikan, sedangkan yang kedua meminta pilihan yang terbaik kepada Allah.

Yakni apabila seseorang berhajat atau bercita-cita akan mengerjakan sesuatu maksud, sedang ia ragu-ragu dalam pekerjaan atau maksud itu, apakah dilakukan terus atau tidak. Maka memilih salah satu dari dua hal diteruskan atau tidak, disunahkan salat Istikhârah dua raka‟at.

Rasulullah SAW memberitahukan kepada umat Islam tentang tanda-tanda kebahagiaan, jalan menuju kebaikan serta keselamatan dengan menyandarkan dan menyerahkan segala persoalan kepada Allah SWT.

Sebagaimana sabda beliau:

“Sa‟ad Ibn Abî Waqqâs ra. Berkata, Rasulullah bersabda: “ salah satu dari kebahagian anak Adam adalah menyerahkan pilihannya kepada Allah „Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad)

Salat sunnah Istikhârah bukan berarti mencari mimpi, yakni sesudah salat Istikhârah kemudian tidur untuk mendapatkan impian yang memberikan alamat tentang maksud hajat itu. Salat Istikhârah ialah mencari kebaikan, artinya kalau kita mempunyai hajat, lalu melaksanakan salat Istikhârah, maka jika maksud hajat itu dilaksanakan kita akan memperoleh barakah dan jika tidak dilaksanakan juga akan memperoleh barakah.

Di dalam hadis menerangkan tentang salat Istikhârah tidak disebutkan surat apa yang dibaca pada setiap raka‟atnya. Akan tetapi mengingat bahwa dalam salat sunnah yang terdiri dari dua raka‟at, Rasulullah SAW biasa membaca surat al-Kâfirûn di raka‟at yang pertama sesudah surat al-Fâtihah, dan surat al-Ikhlâs, di raka‟at yang kedua, maka alangkah baiknya jika kita meneladani Rasulullah SAW.

Imam Al-Nawâwî menjelaskan, Ia membaca pada rakaat pertama sesudah al-Fâtihah adalah al-Kâfirûn dan rakaat kedua al-Ikhlâs. Beliau bahkan menegaskan, Jika berhalangan mendirikan salat, maka boleh ber- Istikhârah dengan berdo‟a saja. Dan disunnahkan memulai do‟a tersebut dan menutupnya dengan Alhamdulillah, shalawat dan salam. Untuk Rasulullah SAW Istikhârah itu disunnahkan dalam segala urusan, sebagaimana diterangkan oleh nas hadis diatas yang shahih.

Dan jika telah ber-Istikhârah, lakukanlah menurut yang kuat dorongannya di dalam hati.

Dalam mengerjakan salat Istikhârah tidak terdapat suatu bacaan tertentu sebagaimana juga tidak perlu dikerjakan berulang-ulang. Salat Istikhârah dilakukan seperti halnya kita melakukan salat sunnah lainnya, yaitu dengan niat cukup di dalam hati untuk melakukan Istikhârah. Dalam salat, niat cukup dilafalkan dalam hati seperti halnya Rasulullah SAW mengajarkan. Dalam Islam, setiap amalan ibadah seperti salat tidak ada pelafalan niat kecuali pada ibadah-ibadah tertentu yang sudah ada nasnya.

Demikian seorang mu‟min yang tidak pernah putus hubungannya dengan Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu, maka setiap kali ia menghadapi sesuatu persoalan dan setiap kali ia melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan, terlebih dahulu ia beristikhârah (meminta pilihan) kepada Allah SWT, apakah yang harusnya dan bagaimana sebaiknya langkah yang harus diambil.

Sampai-sampai ketika hendak melakukan sesuatu perjalanan untuk mencari rezeki dan karunia Allah di muka bumi, ia tetap melakukan istikhârah terlebih dahulu. Bukan seperti orang-orang zaman jahiliyah dahulu yang selalu mengundi nasib atau meminta tolong dengan mendatangi tukang tenun dan tukang sihir.

Allah menamakan sebagai perbuatan fasik karena beralih kepada orang yang mengaku-ngaku mengetahui barang yang ghaib. Mereka seperti halnya salat fardu. Karenanya, maka boleh dikerjakan pada siang hari atau malam hari asal tidak pada waktu yang dilarang. Akan tetapi karena salat istikhârah itu merupakan permohonan, maka sebaiknya di kerjakan pada waktu yang mustajab. Misalnya di waktu sepertiga malam yang terakhir atau di setiap selesai salat fardu. Sebab, pada saat-saat tersebut terdapat waktu yang sangat mustajab untuk memohon kepada Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

“Menceritakan kepada kami Yahyâ Ibn Abî Katsĭr dari Abî Salamah dari Abî Huraîrah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah lewat sebagian malam atau dua sepertiganya (tinggal yang sepertiga) Allah yang Maha Tinggi akan turun ke langit dunia, lalu berfirman: Tiada seorang pun yang meminta, pasti akan kuberi. Tiada seorang pun yang berdo‟a. pasti akan Ku kabulkan do‟anya dan tiada seorang pun yang memohon ampun pasti Ku ampuni, sehingga datang waktu subuh”. (HR. al-Bukhârî)

Sedangkan menurut al-Nawawi, do‟a istikharah itu disunnahkan meskipun setelah salat fardu maupun salat sunnah lainnya. Yang jelas, ketika mendapatkan masalah atau ingin melakukan sesuatu maka beristikhârahlah.

Sedangkan menurut al-„Iraqî menyebutkan jika perkaranya datang sebelum salat sunnah yang lain maka jangan melakukannya, akan tetapi lakukanlah istikhârah itu setelah melakukan salat sunnah tersebut.

Dalam riwayat al-Tirmidzî disebutkan bahwa di suatu hari ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, do‟a manakah yang sangat didengar oleh Allah?

Beliau menjawab:

"Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahyâ al-Tsaqafĭ al- Marwazî, menceritakan kepada kami Hafs Ibn Ghiyâts dari Ibn Juraîj dari „Abdurrahmân Ibn Sâbit dari Abî Umâmah berkata: Rasulullah bersabda: “Pada waktu tengah malam dan sesudah salat fardu”. (HR. Al- Tirmidzî )

Melihat kedudukan salat Istikhârah begitu penting, Rasulullah mengajarkan para sahabat dan kepada kita untuk tidak meninggalkannya, ketika datang sebuah masalah, pilihan atau akan melakukan sesuatu. Karena itu, merupakan bentuk penyerahan kepada Allah, agar Dia menuntun langkah kita dan memilihkan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita.

Hukum Salat Istikhârah

Hukum salat sunnah istikhârah ialah Sunnah Mu‟akkad bagi yang sedang menghajatkan petunjuk itu. Anjuran sunnah istikharah, itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

Anjuran beliau dinyatakan dalam hadis sebagai berikut yang artinya: “Jika kamu menghendaki sesuatu perkara, hendaklah kamu salat dua raka‟at (bukan salat fardhu) lalu berdo‟alah ……….”.

Hajat yang di Istikhârahkan

Hajat yang dimaksud dalam istikharah ialah sesuatu yang bersifat mubah. Sedang urusan-urusan yang wajib atau sunnah, kita disuruh mengerjakannya, sedangkan yang haram atau makruh, kita disuruh meninggalkannya. Andaikata kita memenuhi syarat diwajibkannya mengerjakan ibadah haji, maka untuk melaksanakan kewajiban ini kita juga disunnahkan beristikharah, tetapi bukan untuk memilih apakah jadi melaksanakan atau tidak, akan tetapi istikharah yang dimaksud ialah untuk memperoleh barakah dan ketenangan dalam menunaikannya.

Anjuran Salat Istikharah

Salat istikharah dianjurkan berdasarkan hadis riwayat Bukhâri yang bersumber dari Jâbir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia berkata:

“Adalah Rasulullah SAW mengajarkan salat istikharah kepada kami dalam beberapa perkara yang penting, beliau bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu terhadap sesuatu perkara, maka hendaklah ia salat istikharah dua raka‟at, kemudian berdo‟a: Wahai Tuhanku, Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu memilih mana yang baik menurut pengetahuan- Mu dan aku memohon kepada-Mu untuk memberi ketentuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Yang Berkuasa dan aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui akan hal yang ghaib. Wahai Tuhanku
……” (HR. Bukhârî)

Syarat-syarat sebelum di Istikhârahkan

Ada dua hal yang mendasarkan mengapa kita melakukan salat istikharah, yaitu ketika menghadapi masalah berupa pilihan dan ketika akan melakukan sesuatu hal. Maka, hendaknya setiap kita memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Yang pertama ketika masalah yang kita hadapi berupa pilihan maka syaratnya antara lain:
  • Ketika ada pilihan maka dipastikan sebelum melakukan salat istikhârah kedua pilihan tersebut sudah melewati proses analisis terkait dengan baik dan buruk kedua hal tersebut, efek negatif dan positifnya dan besarnya prosentase antara maslahat dan mudaratnya.

  • Ketika kebaikan lebih banyak dari pada keburukannya, ketika efek positif lebih banyak dari pada efek negatifnya, dan maslahat lebih banyak dari pada mudaratnya, hal yang harus dilakukan adalah memilih yang lebih baik tadi. Berarti dianjurkan baginya untuk beristikhârah ketika akan melakukan sesuatu. Tinggal bagaimana ia bertekad, setelah bertekad tinggal meningkatkan ketawakalannya pada Allah.

    Allah SWT berfirman pada surat al-„Imran (2): 159, yang berbunyi:

    “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. al-„Imran (2): 159,)

  • Ketika akan melakukan salat istikhârah dan sudah melewati proses analisis, dipastikan keduanya mempunyai poin fifty-fifty, tidak ada kecenderungan pada salah satu dari keduanya. Karena dikhawatirkan jika hal ini terjadi, hawa nafsunyalah yang memilih.

    Imam al- Nawawi menyampaikan,

    “Hendaknya seseorang itu melakukan apa yang sudah menjadi kemantapan hatinya setelah Istikharah, bukan berdasarkan atas pilihan pada salah satu diantara keduanya sebelum Istikharah. Jika hal itu terjadi, bukanlah ia beristikharah kepada Allah, akan tetapi beristikharah kepada hawa nafsunya, dan terkadang sering terjadi tidak ada kejujuran”.

  1. Yang kedua, Istikhârah dilakukan ketika kita akan melakukan sesuatu maka syarat yang harus dilakukan sebagai berikut:
  • Niatkan segala sesuatunya kepada Allah, karena segala sesuatu itu tergantung niatnya, seperti dalam sebuah hadis yang sering kita dengar, diriwayatkan dari AmĂŽr al-Mu‟minĂŽn AbĂť Hafs Umar Ibn Khattâb r.a. berkata,

    Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

    “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya dan setiap- setiap orang berada pada apa yang ia niatkan, barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau kepada wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Mutafaq ‘Alaih)

  • Sudah mengalami proses penilaian dan manajemen yang baik. maksudnya adalah mengambil pilihan yang terbaik ketika ada beberapa pilihan. Contohnya adalah ketika seseorang mau menikah, kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan terhadap beberapa calon pendamping hidupnya. Maka, perlu jika suatu diantara mereka lebih baik agama dan akhlaknya berarti lebih baik menjatuhkan pilihan padanya. Berbeda halnya jika keduanya mempunyai potensi yang sama bagi agama dan akhlaknya maka perlu untuk melakukan Istikharah.

  • Bukan suatu kekurangan jika kita meminta pendapat orang lain yang lebih berpengalaman untuk memberikan masukan tentang baik buruknya sesuatu.

Hikmah Salat Istikhârah

Hikmah kenapa kita harus beristikharah kepada Allah, diantaranya sebagai berikut:

  • Keridhaan Terhadap Apa pun yang Allah Berikan
    Menurut Syaikh Muhammad Ibn Salih al-Utsaimin dalam kitabnya al-Qaulul Mufia „ala Kitab al-Tauhih, membagi sabar menjadi tiga bagian:

    1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah
      Bersabar dalam menjalankan segala ketaatan, bersabar menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepada kita.

      Seperti dalam firman-Nya pada surat Taha: 132

      Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

    2. Bersabar terhadap kemaksiatan
      Bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan, seperti halnya kesabaran Nabi Yusuf terhadap godaan Zulaikha, permaisuri tuannya. Seperti dalam firman-Nya pada surat Yusuf : 33.

    3. Bersabar dan beriman terhadap takdir Allah
      Beriman terhadap takdir Allah merupakan urutan keenam dalam rukun iman. Sedangkan faidahnya diantaranya sebagai berikut :

      1. Merupakan ciri kenabian
      2. Akan membuat hati menjadi tenang
      3. Menghilangkan kesedihan jika musibah datang
      4. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan takdir, melainkan atas sebab yang dilakukan manusia itu sendiri.
  • Mendapatkan jiwa yang tenang
    Ketika semua persoalan dan pilihan sudah kita serahkan kepada Allah, akan ada ketenangan dalam jiwa. Karena itulah sebuah pilihan terbaik yang Allah pilihkan kepada kita. Di sinilah pentingnya percaya kepada Allah, percaya terhadap setiap skenario Allah. Setidaknya, keteladanan ibu Nabi Musa mengajarkan kita tentang hal ini.

  • Akan di lapangkan dada kita terhadap pilihan yang Allah pilihkan
    Itulah buah Istikhârah kepada Allah. Salah satu ciri yang diberikan adalah dilapangkan dada dan dimantapkan hati terhadap pilihan kita setelah melakukan Istikhârah.

    Seperti dalam firman-Nya pada surat al-Takwir :29

    Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.

  • Tidak menyesal dengan pilihan yang Allah berikan kepada Kita

Referensi
  • Ahmad Marson Munawwir, Kamus Lengkap al-Munawwir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
  • M. Abdul Mujib dan Mabrur Tholhah. Said, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995)
  • Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah
  • Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do’a Mendirikan Salat yang Khusyu Mencegah Manusia dari Perbuatan Keji dan Mungkar, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 1999)
  • Abdullâh Ibn Muhammad Ibn Hanbâl, Musnad Ahmad Ibn Hanbâl.
  • T.A. Lathief Rousydiy, Salat-Salat Sunnah Rasulullah SAW, Cet. 1, (Medan: Firma “Rimbou” Medan, 1984)
  • ZaĂŽd HuseĂŽn al-HamĂŽd, Terjemahan al-Adzkâr al-NawâwĂŽ: Intisari Ibadah dan Amal, (Bandung: Pustaka Azzam, 1994)
  • Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah
  • Latief Rousydi, Salat-salat Sunnah Rasulullah SAW
  • Muhammad bin „Isáş­ bin SĂťrah bin MĂťsáş­ bin al-Dahhak al-SulamĚ­ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2
  • Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-BukhârĂŽ, SahĂŽh al- BukhârĂŽ
  • Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya, Hajat apa yang dimaksud, Hasilnya serta Tata Caranya dan Do’a-do’anya.
  • Nasruddin Razak, Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah, (Bandung: PT. Al- Ma‟arif, 1993), Cet. VIII.
  • Al-Ghazali, Rahasia-rahasia Salat, Penerjemah: Moh. Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1984)

Berikut poin-poin penting terkait dengan Sholat Istikharah :

  1. Istikharah adalah memohon kepada Allah manakah yang terbaik dari urusan yang mesti dipilih salah satunya.

  2. Doa shalat Istikharah:

    “Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih”

    Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu- Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.”

  3. Istikhoroh dilakukan bukan dalam kondisi ragu-ragu dalam satu perkara karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu”.

    Keadaan ragu-ragu adalah keadaan di mana kita tidak memiliki satu pilihan apapun terhadap suatu perkara. Oleh karena itu, jika ada beberapa pilihan, hendaklah dipilih, lalu lakukanlah istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah sesuai yang dipilih tadi. Jika memang pilihan itu baik, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka nanti akan dipersulit

  4. Seusai shalat Istikharah tidak perlu menunggu mimpi atau bisikan dalam hati. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang dilakukan. Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati.

  5. Tata cara shalat Istikharah: Memilih salah satu diantara pilihan- pilihan yang ada, shalat 2 rakaat, doa, kemudian lakukan pilihan di awal tadi.

  6. Istikharah dilakukan untuk segala urusan baik penting maupun sepele kecuali sesuatu yang wajib atau haram hukumnya.

  7. Kebanyakan orang memahami bahwa mesti muncul perasaan lapang dada untuk melakukan apa yang kita inginkan, setelah dilaksanakannya istikharah. Ini tidak ada dalilnya. Karena istikharah pada dasarnya adalah ‘memasrahkan’ urusan kepada Allah, termasuk ketika seseorang kurang senang dengan urusan tersebut (sepanjang ia sudah menetapkannya sebagai pilihan).

  8. Sebagian orang juga mengatakan bahwa berhasilnya istikharah adalah jika muncul perasaan ‘plong’ (yang diartikan persetujuan dari Allah) atau perasaan ‘mengganjal’ (yang diartikan ketidaksetujuan Allah). Ini juga tidak benar, maksudnya tidak harus.

  9. Dengan istikharah Allah akan memudahkan dan menyampaikan seseorang pada pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut baik baginya) atau Allah memalingkan dan menjauhkan seseorang dari pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut tidak baik baginya).

  10. Sesudah melakukan istikharah, sebaiknya seseorang langsung bergegas menunaikan pilihannya sambil ‘memasrahkan diri’ kepada Allah. Adapun jika seseorang mendapatkan mimpi yang benar, yang memberikan isyarat bahwa pilihannya itu benar, maka itu adalah karunia dan petunjuk yang datang dari Allah. Namun jika ia tidak mendapatkan mimpi, tidak selayaknya ia urung menunaikan pilihannya dengan alasan menunggu mimpi.

  11. Dalam kaitannya dengan menikah, seusai meminang, shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.

  12. Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan bahwa hasil dari shalat istikharah berupa sebuah mimpi. Sejumlah ulama di antaranya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pilihan akan diberikan kepada orang yang melaksanakan shalat tersebut adalah dengan dibukakan hatinya untuk menerima atau melakukan suatu hal. Tetapi pendapat ini ditentang oleh sejumlah ulama di antaranya Al-’Iz ibn Abdis-Salam, Al-’Iraqi dan Ibnu Hajar. Bahwasanya orang yang telah melaksanakan shalat istikharah hendaklah melaksanakan apa yang telah diazamkannya, baik hatinya menjadi terbuka maupun tidak.

    Ibnu Az-Zamlakani berkata bahwa bila seseorang melaksanakan shalat istikharah dua rakaat karena sesuatu hal, maka hendaklah ia mengerjakan apa yang memungkinkan baginya, baik hatinya menjadi terbuka untuk melakukannya atau tidak. Karena sesungguhnya kebaikan ada pada apa yang dia lakukan meskipun hatinya tidak menjadi terbuka. Beliau berpendapat demikian karena dalam hadits Jabir tidak dijelaskan adanya hal tersebut. Untuk lebih jelasnya masalah ini silahkan rujuk kitab Thabaqat Asy-Syafi’iyah oleh Ibnu As-Subki pada jilid 9 halaman 206.
    Sedangkan hadis Anas bin Malik yang dijadikan landasan oleh Imam An-Nawawi didhaifkan oleh sejumlah ulama, sebagaimana disebutkan di dalam kitab penjelasan shahih Bukhari, yaitu kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 187.

  13. Shalat istikharah itu bukan shalat yang melepaskan diri kita dari segala bentuk pertimbangan manusiawi. Seolah-olah kita hanya memejamkan mata, biar Allah SWT saja yang memilihkan. Lalu hasil pilihan Allah SWT akan diwahyukan lewat mimpi. Tidak!! Tidak demikian.
    Sebab mimpi itu bisa bersumber dari ilham, akan tetapi seringkali juga datang dari syetan. Dan seseorang tidak pernah bisa memastikan, dari mana datangnya mimpi itu. Maka pertimbangan nalar dan logika harus lebih didahulukan, sebagai Rasulullah SAW telah mengajarkannya.

  14. Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan hendaklah orang tersebut memilih sesuai dengan pilihan hatinya. Maksudnya, hatinya menjadi condong terhadap suatu pilihan setelah sholat.

    Tetapi pendapat tersebut kurang disetujui oleh sejumlah ulama lainnya. Berhubung hadits yang menjadi rujukan dianggap hadits yang lemah secara periwayatan.

  15. Indikator jawaban shalat istikharah, bila pilihan tersebut adalah pilihan yang terbaik, maka Allah akan memudahkannya bagi orang tersebut dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut adalah sebaliknya maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang tersebut kepada kebaikan dengan idzin-Nya. Demikian disebutkan dalam kitab Bughyatul Mutathowwi’ Fi Sholat At-Tathowwu’ halaman 105.

  16. Sangat tidak patut dan kurang adab kepada Rabbul 'Alamin, apabila setelah mengerjakan istikharah, kita masih terus saja menunggu nunggu kemantapan hati dengan menunda nunda pekerjaan padahal kita telah menyerahkan pilihan dan ketentuannya kepada Rabbul 'alamin!

    Pantaskah kita berada di dalam keraguan setelah kita menyerahkan pilihan dan ketentuannya kepada Allah Tabaaraka wa Ta’alaa??

    Adapun yang biasa beredar dari mulut ke mulut di masyarakat - dan dikatakan oleh sebagian ulama seperti An Nawawi di kitabnya Al Adzkar - bahwa setelah shalat istikharah akan datang kemantapan hati, pada hakikatnya tidak ada asalnya, karena Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits di atas tidak mensyaratkan kemantapan atau kesenangan hati. Demikian juga yang biasa beredar di masyarakat, bahwa setelah shalat istikharah akan datang mimpi yang menetapkan pilihannya, lebih tidak ada asalnya lagi dari Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam."

  17. Tidak ada keterangan bahwa seeorang apabila sudah sholat akan bermimpi, melihat sesuatu, atau lapang dadanya. Ini semua adalah dusta belaka yang tidak berlandaskan dalil.

Sumber : http://rachmadresmi.blogspot.com

Panduan Shalat Istikharah

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal


Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh pada pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Yang mesti diyakini bahwa manusia tidak mengetahui perkara yang ghoib. Manusia tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian pada masa akan datang. Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya, Dia mensyariatkan do‟a supaya seorang hamba dapat bertawasul pada Rabbnya untuk dihilangkan kesulitan dan diperolehnya kebaikan.

Seorang muslim sangat yakin dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa yang mengatur segala urusan adalah Allah Ta‟ala. Dialah yang menakdirkan dan menentukan segala sesuatu sesuai yang Dia kehendaki pada hamba-Nya.

Allah Ta‟ala berfirman,

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi- Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 68-70)

Al „Allamah Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ulama menjelaskan: tidak sepantasnya bagi orang yang ingin menjalankan di antara urusan dunianya sampai ia meminta pada Allah pilihan dalam urusannya tersebut yaitu dengan melaksanakan shalat istikhoroh.”[1]

Yang dimaksud istikhoroh adalah memohon kepada Allah manakah yang terbaik dari urusan yang mesti dipilih salah satunya.[2]

Dalil Disyariatkannya Shalat Istikhoroh

Dari Jabir bin „Abdillah, beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur‟an. Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo‟a: “Allahumma inni astakhiruka bi „ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta‟lamu wa laa a‟lamu, wa anta „allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta‟lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii „aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma‟aasyi wa „aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta‟lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma‟aasyi wa „aqibati amrii (fii „aajili amri wa aajilih) fash- rifnii „anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih”

Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu- Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.”[3]

Faedah Mengenai Shalat Istikhoroh

Pertama: Hukum shalat istikhoroh adalah sunnah dan bukan wajib. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at selain shalat fardhu”

Begitu pula Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pernah didatangi seseorang, lalu ia bertanya mengenai Islam. Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam menjawab, “Shalat lima waktu sehari semalam.” Lalu ia tanyakan pada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Apakah aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak ada, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.”[4]

Kedua: Dari hadits di atas, shalat istikhoroh boleh dilakukan setelah shalat tahiyatul masjid, setelah shalat rawatib, setelah shalat tahajud, setelah shalat Dhuha dan shalat lainnya.[5] Bahkan jika shalat istikhoroh dilakukan dengan niat shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu berdoa istikhoroh setelah itu, maka itu juga dibolehkan. Artinya di sini, dia mengerjakan shalat rawatib satu niat dengan shalat istikhoroh karena Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at selain shalat fardhu.” Di sini cuma dikatakan, yang penting lakukan shalat dua raka‟at apa saja selain shalat wajib. [6]

Al „Iroqi mengatakan, “Jika ia bertekad melakukan suatu perkara sebelum ia menunaikan shalat rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu ia shalat tanpa niat shalat istikhoroh, lalu setelah shalat dua rakaat tersebut ia membaca doa istikhoroh, maka ini juga dibolehkan.”[7]

Ketiga: Istikhoroh hanya dilakukan untuk perkara-perkara yang mubah (hukum asalnya boleh), bukan pada perkara yang wajib dan sunnah, begitu pula bukan pada perkara makruh dan haram. Alasannya karena Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan.” Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh bahwa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah khusus walaupun lafazhnya umum.[8] Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits tersebut bahwa istikhoroh hanya khusus untuk perkara mubah atau dalam perkara sunnah (mustahab) jika ada dua perkara sunnah yang bertabrakan, lalu memilih manakah yang mesti didahulukan.”[9]

Contohnya, seseorang tidak perlu istikhoroh untuk melaksanakan shalat Zhuhur, shalat rawatib, puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis, atau mungkin dia istikhoroh untuk minum sambil berdiri ataukah tidak, atau mungkin ia ingin istikhoroh untuk mencuri. Semua contoh ini tidak perlu lewat jalan istikhoroh.

Begitu pula tidak perlu istikhoroh dalam perkara apakah dia harus menikah ataukah tidak. Karena asal menikah itu diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah Ta‟ala,

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nur: 32)

Begitu pula Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai para pemuda, jika salah seorang di antara kalian telah mampu untuk memberi nafkah, maka menikahlah.”[10] Namun dalam urusan memilih pasangan dan kapan tanggal nikah, maka ini bisa dilakukan dengan istikhoroh.

Sedangkan dalam perkara sunnah yang bertabrakan dalam satu waktu, maka boleh dilakukan istikhoroh. Misalnya seseorang ingin melakukan umroh yang sunnah, sedangkan ketika itu ia harus mengajarkan ilmu di negerinya. Maka pada saat ini, ia boleh istikhoroh.

Bahkan ada keterangan lain bahwa perkara wajib yang masih longgar waktu untuk menunaikannya, maka ini juga bisa dilakukan istikhoroh. Semacam jika seseorang ingin menunaikan haji dan hendak memilih di tahun manakah ia harus menunaikannya. Ini jika kita memilih pendapat bahwa menunaikan haji adalah wajib tarokhi (perkara wajib yang boleh diakhirkan).[11]

Keempat: Istikhoroh boleh dilakukan berulang kali jika kita ingin istikhoroh pada Allah dalam suatu perkara. Karena istikhoroh adalah do‟a dan tentu saja boleh berulang kali. Ibnu Az Zubair sampai-sampai mengulang istikhorohnya tiga kali. Dalam shahih Muslim, Ibnu Az Zubair mengatakan,

“Aku melakukan istikhoroh pada Rabbku sebanyak tiga kali, kemudian aku pun bertekad menjalankan urusanku tersebut.”[12]

Kelima: Do‟a shalat istikhoroh yang lebih tepat dibaca setelah shalat dan bukan di dalam shalat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo‟a: “Allahumma inni astakhiruka bi „ilmika…”[13]

Syaikh Musthofa Al „Adawi hafizhohullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui dalil yang shahih yang menyatakan bahwa do‟a istikhoroh dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud (sebelum salam) kecuali landasannya adalah dalil yang sifatnya umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud akhir adalah tempat terbaik untuk berdo‟a. Akan tetapi, hadits ini sudah cukup sebagai dalil tegas bahwa do‟a istikhoroh adalah setelah shalat. ”[14]

Keenam: Istikhoroh dilakukan bukan dalam kondisi ragu-ragu dalam satu perkara karena Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

““Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at selain shalat fardhu”. Begitu pula isi do‟a istikhoroh menunjukkan seperti ini. Oleh karena itu, jika ada beberapa pilihan, hendaklah dipilih, lalu lakukanlah istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah sesuai yang dipilih tadi. Jika memang pilihan itu baik, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka nanti akan dipersulit.[15]

Ketujuh: Sebagian ulama menganjurkan ketika raka‟at pertama setelah Al Fatihah membaca surat Al Kafirun dan di rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas. Sebenarnya hal semacam ini tidak ada landasannya. Jadi terserah membaca surat apa saja ketika itu, itu diperbolehkan.[16]

Kedelepan: Melihat dalam mimpi mengenai pilihannya bukanlah syarat dalam istikhoroh karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini. Namun orang-0rang awam masih banyak yang memiliki pemahaman semacam ini. Yang tepat, istikhoroh tidak mesti menunggu mimpi. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang dilakukan.[17] Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati.[18] Jika memang yang jadi pilihannya tadi dipersulit, maka berarti pilihan tersebut tidak baik untuknya. Namun jika memang pilihannya tadi adalah baik untuknya, pasti akan Allah mudahkan.

Tata Cara Istikhoroh

Pertama: Ketika ingin melakukan suatu urusan yang mesti dipilih salah satunya, maka terlebih dahulu ia pilih di antara pilihan-pilihan yang ada.

Kedua: Jika sudah bertekad melakukan pilihan tersebut, maka kerjakanlah shalat dua raka‟at (terserah shalat sunnah apa saja sebagaimana dijelaskan di awal).

Ketiga: Setelah shalat dua raka‟at, lalu berdo‟a dengan do‟a istikhoroh:

Allahumma inni astakhiruka bi „ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta‟lamu wa laa a‟lamu, wa anta „allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta‟lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii „aajili amrii wa aajilih (aw fii diini wa ma‟aasyi wa „aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta‟lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma‟aasyi wa „aqibati amrii (fii „aajili amri wa aajilih) fash- rifnii „anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.

[Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya]

Keempat: Lakukanlah pilihan yang sudah dipilih di awal tadi, terserah ia merasa mantap atau pun tidak dan tanpa harus menunggu mimpi. Jika itu baik baginya, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka pasti ia akan palingkan ia dari pilihan tersebut.

Demikian penjelasan kami mengenai panduan shalat istikhoroh. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Referensi

[1] Al Jaami‟ li Ahkamil Qur‟an (Tafsir Al Qurthubi), Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, 13/306, Mawqi‟ Ya‟sub (sesuai cetakan).
[2] Lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/184, Darul Ma‟rifah, Beirut, 1379.
[3] HR. Bukhari no. 7390, dari Jabir bin „Abdillah
[4] HR. Bukhari no. 2678 dan Muslim no. 11, dari Tholhah bin „Ubaidillah.
[5] Lihat Fiqhud Du‟aa, Syaikh Musthofa Al „Adawi, hal. 167, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1422 H.
[6] Faedah dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/426, Al Maktabah At Taufiqiyah. Begitu pula terdapat penjelasan yang sama dari Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam kitab beliau Bughyatul Mutathowwi‟ fii Sholatit
Tathowwu‟ (soft file).
[7] Lihat Nailul Author, Asy Syaukani, 3/87, Irodatuth Thob‟ah Al Muniroh.
[8] Lihat Fathul Baari, 11/184.
[9] Idem
[10] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[11] Contoh-contoh ini kami peroleh dari Fiqhud Du‟aa, hal. 167- 168.
[12] HR. Muslim no. 1333
[13] Lihat Fiqhud Du‟aa, hal. 168-169.
[14] Fiqhud Du‟aa, hal. 169.
[15] Faedah dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul dalam Buhyatul Mutathowwi‟ (soft file).
[16] Lihat Fiqhud Du‟aa, hal. 169.
[17] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/427.
[18] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul dalam
Buhyatul Mutathowwi‟ (soft file).

Salah Paham Soal Sholat Istikharah

Pertama, banyak orang memahami bahwa sholat istikharah hanya disyariatkan ketika sedang bimbang atau ragu antara dua atau beberapa pilihan.

Padahal ini tidak benar, sebab Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya:

“Idzaa hamma ahadukum bil amr (Apabila salah seorang kalian menginginkan suatu perkara).”

Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan kata „hamma‟ (menginginkan) yang merupakan satu tingkatan dibawah „azama‟ (bertekad), dan beliau tidak mengatakan: “Jika salah seorang kalian bimbang atau ragu…”

Dengan demikian, jika seorang muslim berkeinginan untuk melakukan sesuatu, dan tidak ada dua atau beberapa pilihan dihadapannya kecuali satu pilihan saja yang ingin ia lakukan, maka hendaknya ia melakukan istikharah mengenai keinginannya untuk melakukan sesuatu tersebut. Dan jika seorang muslim berkeinginan untuk meninggalkan sesuatu, maka hendaklah ia juga melakukan istikharah mengenai keinginannya meninggalkan sesuatu tersebut. Pendek kata, yang penting adalah bagaimana seseorang terlebih dulu memiliki keinginan, baru kemudian setelah itu ia ber-istikharah mengenai keinginannya tersebut.

Oleh karena itu, jika dihadapan seseorang terdapat dua atau banyak pilihan, maka hendaknya ia terlebih dahulu – setelah bermusyawarah dengan orang-orang yang dipandang lebih paham – menentukan satu pilihan. Baru setelah itu hendaknya ia ber-istikharah atas pilihannya tersebut. Jika meninggalkan semua pilihan juga termasuk pilihan, maka itu juga sebuah pilihan, yang jika sudah diputuskan hendaknya diistikharahi. Namun ada kasus- kasus tertentu, ketika seseorang dihadapkan pada dua atau beberapa pilihan, ia harus memilih salah satu dan tidak mungkin tidak memilih sama sekali. Dalam hal ini, hendaknya ia melakukan istisyarah (berembug), lalu menetapkan satu pilihan, dan setelah itu ber-istikharah.

Kedua, banyak orang memahami bahwa istikharah hanya dilakukan untuk urusan-urusan seperti jodoh, pergi keluar pulau (atau bahkan keluar negeri), dan urusan-urusan „besar‟ lainnya.

Padahal ini tidak benar. Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya:

“Kaana yu‟allimunaa al-istikharah fil umuuri kullihaa (Rasulullah saw telah mengajari kami – yakni para sahabat – untuk melakukan istikharah dalam segala urusan).” Dan Rasulullah saw tidak mengatakan: “dalam sebagian urusan” atau “dalam urusan-urusan penting”.

Kesalahpahaman ini menjadikan kebanyakan orang tidak gemar melakukan istikharah. Mereka akhirnya tidak melakukan istikaharah dalam masalah-masalah yang mereka anggap kecil, sepele, atau tidak penting.

Ketiga, kebanyakan orang memahami bahwa sholat istikharah haruslah sholat dua rakaat yang khusus (tersendiri).

Padahal sebenarnya tidak demikian. Rasulullah saw bersabda dalam hadits beliau:

“Falyarka‟ rak‟ataini min ghairil faridhah (Maka hendaklah ia sholat dua rakaat yang bukan sholat fardhu).”

Kata-kata „dua rakaat yang bukan sholat fardhu‟ bersifat umum (karena memang tidak ada pengkhususan), yang berarti meliputi pula sholat tahiyyatul masjid, sholat sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat sunnah wudhu, sholat tahajjud, dan sholat-sholat sunnah lainnya. Meski demikian, kalau sholat dua rakaat tersebut hendak dilakukan secara khusus (tersendiri) juga tidak apa-apa.

Keempat, kebanyakan orang memahami bahwa mesti muncul perasaan lapang dada untuk melakukan apa yang kita inginkan, setelah dilaksanakannya istikharah.

Ini juga tidak ada dalilnya. Karena istikharah pada dasarnya adalah ‘memasrahkan’ urusan kepada Allah, termasuk ketika seseorang kurang senang dengan urusan tersebut (sepanjang ia sudah menetapkannya sebagai pilihan).

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman,

“Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Dan Allah Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS Al- Baqarah: 216)

Pemahaman yang keliru ini menjadikan banyak orang tetap berada dalam keadaan bingung dan bimbang terhadap pilihannya, meski ia sudah melakukan istikharah. Bahkan tidak sedikit yang telah mengulang-ulang istikharahnya, namun tidaklah bertambah pada dirinya kecuali perasaan bingung dan bimbang karena ia tidak mendapatkan kelapangan dada untuk melaksanakan pilihannya. Padahal istikharah itu sejatinya justru dilakukan untuk menghilangkan kebingungan dan kebimbangan seperti itu.

Sebagian orang juga mengatakan bahwa berhasilnya istikharah adalah jika muncul perasaan „plong‟ (yang diartikan persetujuan dari Allah) atau perasaan „mengganjal‟ (yang diartikan ketidaksetujuan Allah). Ini juga tidak benar, maksudnya tidak harus. Sebab, tidak sedikit orang-orang yang telah melaksanakan istikharah dengan benar namun ia sama sekali tidak merasakan apa-apa.

Yang benar adalah, dengan istikharah Allah akan memudahkan dan menyampaikan seseorang pada pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut baik baginya) atau Allah memalingkan dan menjauhkan seseorang dari pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut tidak baik baginya). Saya rasa, inilah pemahaman yang tepat, sesuai dengan isi doa istikharah itu sendiri. Wallahu A‟lam.

Kelima, banyak orang memahami bahwa setelah seseorang melakukan istikharah, ia mesti melihat mimpi yang memberi isyarat bahwa pilihannya itu benar, atau salah.

Ini tidak ada dalilnya. Yang benar, sesudah melakukan istikharah, sebaiknya seseorang langsung bergegas menunaikan pilihannya sambil „memasrahkan diri‟ kepada Allah. Adapun jika seseorang mendapatkan mimpi yang benar, yang memberikan isyarat bahwa pilihannya itu benar, maka itu adalah karunia dan petunjuk yang datang dari Allah. Namun jika ia tidak mendapatkan mimpi, tidak selayaknya ia urung menunaikan pilihannya dengan alasan menunggu mimpi.

Inilah lima kesalahpahaman mengenai istikharah, yang tertulis dalam artikel kiriman teman saya. Selamat ber-istikharah. Semoga sukses.

Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah: Shalat Istikharah
Syaikh Dr. Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul merupakan dosen Univ. Ummul Qurra Makkah

Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi‟I, Cet. 6 Rabi‟ul Akhir 1430 H/april 2009 M, hal. 137-142


Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mensyariatkan kepada umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan.

Shalat ini adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu „anhu, dia bercerita ;

„Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur‟an.

Beliau bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung, kerana sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Maha mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahawa urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku” – atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahawa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan: “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut),
Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1).

Ada beberapa keterangan yang dapat dipetik dari hadits di atas, yaitu:

Pertama, penjelasan tentang disyari‟atkannya shalat Istikharah dan (lafazh) hadits ini mengesankan bahwa shalat Istikharah itu hukumnya wajib. (2)

Kedua, di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyari‟atkan dalam segala urusan, baik besar maupun kecil, penting maupun tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Shalat Istikharah disunnahkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini.” (3)

Perlu saya katakan bahwa dalam hal mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta menunaikan semua yang disunnahkan dan meninggalkan yang makruh, maka tidak perlu melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk menentukan hukumnya. Memang benar, shalat Istikharah ini juga dikerjakan untuk masalah yang wajib dan yang sunnah mukhayyar (yang dapat dipilih), dan yang waktunya tidak mendesak.(4)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: ”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil. Karena, berapa banyak masalah kecil yang menjadi sumber masalah besar?”(5)

Ketiga, shalat Istikharah dikerjakan dua rakaat di luar shalat wajib.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: ”Yang tampak bahawa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyyatul masjid, dan shalat-shalat sunnah lainnya. (6)

Menurut saya, maksud Imama an-Nawawi rahimahullah di atas — wallahu a‟lam — adalah jika keinginan terhadap sesuatu itu muncul ketika hendak mengerjakan shalat (selain shalat istikharah), selain itu, yang nampak jelas dari perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah di atas adalah tidak dibedakannyaapakah orang tersebut berniat mengerjakan shalat istikharah bersama shalat itu ataupun tidak. Makna ini juga yang tampak jelas pada hadits tersebut.

Al-„Iraqi mengemukakan: “Jika keinginan melakukan sesuatu itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnah rawatib atau yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat tanpa niat beristikharah, namun setelah shalat muncul keinginan untuk memanjatkan do‟a istikharah, maka —secara lahir— hal tersebut sudah mencukupi. (7)

Keempat, Istikharah tidak dilakukan ketika ragu-ragu, karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda.

“Jika salah seorang kalian berkeinginan terhadap sesuatu.”

Selain itu, karena do‟a istikharah sendiri menunjukkan kepada hal tersebut.

Jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, hendaklah dia terlebih dahulu menentukan salah satu dari kedua kemungkinan yang ada (terhadap hal tersebut), lalu beristikharah (memohon petunjuk) untuk hal yang telah ia tentukan tersebut. Setelah beristikharah, hendaknya dia membiarkan semua berjalan apa adanya. Jika baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah kepadanya dalam hal tersebut. Jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta memudahkan kepada yang lebih baik dengan seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.

Kelima, tidak ada surat atau ayat-ayat tertentu yang harus dibaca pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah.(8)

Keenam, pilihan (petunjuk Allah) terhadap hal yang diinginkan seseorang itu terlihat dengan dimudahkannya hal tersebut baginya dan diberikannya berkah padanya. Atau ia akan dipalingkan dari hal tersebut dan diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan di man pun kebaikan itu berada.

Ketujuh, jika seorang muslim telah mengerjakan shalat istikharah, hendaknya ia mengikuti pilihan yang dirasa kuat di hatinya, baik ia suka terhadap pilihan tersebut ataupun tidak. (9)

Az-Zamlakani berkata: ”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah setelah itu dia melakukan apa yang tampak (dirasa kuat) olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, kerana padanya kebaikan itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia berkata, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat adanya kepalapangan hati.”(10)

Kedelapan, do‟a istikarah dipanjatkan setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam:

“Jika salah seorang kalian berkeinginan terhadap sesuatu, hendaknya dia shalat (Istikharah) dua rakaat, selain shalat fardhu, kemudian bacalah do‟a ini…”

Sebab, yang tampak jelas dari hadits tersebut bahwa do‟a istikharah dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua raka‟at, yaitu setelah salam. Sedangkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahawa do‟a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam.(11)

Catatan:

(1) Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam kitab “at-Tahajjud”, Bab “Maa Jaa-a fit Tathawwu‟ Matsna Matsna (no. 1162). Lihat juga kitab Jaami‟ul Ushuul, (VI/250-251)”
(2) Nailul Authaar (III/88) dan kitab Tuhfatudz Dzaakiriin (hlm. 134)
(3) Al-Adzkaar (III/355 – dengan syarah Ibnu „Allan)
(4) Fat-hul Baari (XI/184)
(5) Fat-hul Baari (XI/184)
(6) Al-Adzkaar (III/354 – dengan syarah Ibnu „Allan)
(7) Dinukil dalam kitab Nailul Authaar (III/88). Namun, pendapat tersebut dibantah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar did alam kitab Fat-hul Baari (XI/185), dia berkata: “”Yang tampak lebih benar adalah, jika seseorang berniat mengerjakan shalat tersebut dan shalat istikharah bersamaan, maka hal tersebut dibolehkan. Namun, tidak demikian hukumnya jika dia tidak berniat sebelumnya. Sementara itu, shalat istikharah ini tidak dapat dilakukan bersama dengan shalat tahiyyatul masjid. Sebab, yang dimaksudkan dengan tahiyyatul masjid di sini adalah mengisi tempat (masjid) dengan shalat. Sedang yang dimaksud dengan shalat istikharah adalah memanjatkan do‟a (istikharah) setelahnya atau pada saat shalat istikharah itu dikerjakan. Maka dari itu, istikharah tidak bisa dikatakan sah bila keinginan terhadap sesuatu tersebut baru lahir setelah selesai shalat. Karena, lahiriyah hadits tersebut menunjukkan bahwa shalat dan do‟a istikharah itu dilakukan setelah adanya keinginan terhadap sesuatu.”

Dapat saya katakanbahwa zhahir (lahiriyah) hadits di atas tidak emnunjukkan adanya persyaratan bahwa shalat ini dilakukan dua rakaat secara tersendiri. Yang jelas, kedua rakaat itu bukan shalat fardhu. Jika seorang muslim menginginkan sesuatu lalu dia mengerjakan dua rakaat shalat rawatib Zhuhur, misalnya, kemudian dia mencoba membaca do‟a istikharah, berarti ia telah melakukan istikharah tersebut. Begitulah hukum yang tampak jelas (dari hadits di atas), sebagaimana yang telah dikupas oleh Imam an-nawawi dan al- Iraqi terdahulu. Wallahu a‟lam.

(8) Di dalam kitab al-Adzkaar (III/354 – dengan syarah Ibnu „Allan), Imam an- Nawawi menyebutkan bahwa di dalam kedua rakaat tersebut dibaca surat al- Kaafiruun dan surat al-Ikhlaas. Al-„Iraqi berkata: “Dari sekian jalur (sanad) hadit ini, saya tidak mendapati satupun darinya yang menyebutkan adanya bacaan (surat atau ayat) tertentu dalam kedua rakaat shalat Istikharah. Namun demikian, apa yang disampaikan oleh Imam an-nawawi sudah tepat…” Syarh al-Adzkaar, Ibnu „Allan (III/345).

Menurut saya, pernyataan “Sudah tepat” di atas tidak bisa menjadi landasan atas disyari‟atkannya bacaan tersebut ataupun penetapannya pada shalat ini. Wabillaahit taufiq.

(9) Hal itu jelas berbeda dengan pendapat Imam an-Nawawi:”Jika seseorang telah mengerjakan shalat Istikaharah, hendaknya ia mengikuti pilihan yang disukai oleh hatinya.” Lihat al-Adzkaar (III/355-356 –dengan syarah Ibnu
„Allan).

Namun dia bersandar pada hadits yang sangat dha‟if dalam pendapatnya ini. Lihat Fat-hul Baari (XI/187). Al-„Izz bin Abdis Salam mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh an-Nawawi, yakni orang yang beristikharah hendaknya mengikuti apa yang dia kehendaki (maksudnya yang telah mantap di hatinya), baik ia suka terhadap pilihan tersebut ataupun tidak, Al-„Iraqi memilih fatwa tersebut dan menolak pendapat Imam an-Nawawi. Fatwa ini juga disetujui oleh Ibnu Hajar. Syah al-Adzkaar li Ibni „Allan, III/357

(10) Thabaqaat asy-Syaafi‟iyyah, at-Taaj Ibnus Subki (IX/206).
(11) Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal. 58)

Shalat istikharah merupakan shalat sunnat sebanyak 2 rakaat atau paling banyak 12 rakaat ( 6 salam ) yang dilakukan oleh umat muslim untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT karena bingung dengan pilihan yang ada dan merasa ragu ketika akan memutuskan sesuatu. Sedangkan waktu untuk pelaksanaan shalat istikharah bisa dilakukan kapan saja asalkan bukan waktu yang terlarang untuk melakukan shalat.

Meskipun bisa dilakukan kapan saja, shalat istikharah akan lebih efektif jika dilakukan ketika waktu sepertiga malam seperti waktu pelaksanaan shalat tahajud. Alasannya adalah berdoa dan memohon petunjuk di keheningan malam bisa membuat ibadah yang dilakukan akan lebih khusyu dilakukan.

Jenis-Jenis Shalat Istikharah

Sholat istikharah yang dilakukan memiliki berbagai macam jenis. Tidak semua umat islam tahu jenis-jenis dari shalat istikharah tersebut. Berikut ini adalah jenis shalat istikharah yang harus diketahui oleh umat islam:

1. Istikharah Dengan Nasehat Orang Sholeh

Istikharah yang pertama adalah dengan meminta nasehat kepada orang-orang yang shaleh. Misalnya saja ketika kita membutuhkan untuk meraih apa yang terbaik untuk diri kita, kita bisa meminta nasehat kepada orang-orang yang beriman yang mampu memberikan nasehat. Orang soleh yang dimaksud di sini adalah ulama yang mampu ikhlas dalam beristiqomah. Namun yang harus di ingat di sini adalah nasehat tersebut harus dilakukan setelah umat muslim melakukan sholat istikharah.

Dalam sholat istikharah tersebut umat muslim akan meminta yang terbaik kepada Allah SWT. Nasehat ulama yang mampu melakukan istiqomah merupakan hal lazim yang bisa dilakukan oleh para santri, jamaah ataupun umat agar apa yang di cita-citakan, hajat, masalah bisa mendapatkan solusi yang baik.

2. Istikharah Dengan Al-quran

Setelah melakukan shalat istikharah, melakukan doa dan meminta nasehat dari ulama yang soleh belum mampu membuat hati menjadi tenang dan tentram, maka kita diperbolehkan istikharah dengan menggunakan Alquran. Al-quran diharapkan bisa menghilangkan keragu-raguan dengan memohon kepada Allah untuk diberikan yang terbaik.

Hal tersebut sesuai dengan sabda dari Rasulullah SAW yang berbunyi “termasuk kebahagaiaan bagi keturunan Nabi Adam Alaihi Salam adalah jika dia beristikharah dengan memohon yang terbaik kepada Allah SWT dan mengharaa keridhaan-Nya pada apa yang telah Allah putuskan.

Dan yang ada diantara kemalangan manusia keturunan Nabi Adam AS adalah dia tidak mau melakukan istikharah dan mengharap keridhaan-Nya pada apa yang telah Allah putuskan. Metode dari shalat istikharah menggunakan alquran dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut ini:

  • Orang yang meminta petunjuk sedang dalam kondisi berdoa dan memiliki makna bahwa orang yang sedang meminta petunjuk tersebut bersungguh-sungguh mengharapkan petunjuk Allah SWT dan yakin bahwa keraguannya akan hilang melalui berkah yang ada di dalam alquran.

  • Paham degan konteks serta makna dalam alquran termasuk kekhusyuan yang berhubungan dengan sholat istikharah. Yang perlu di ingat di sini adalah alquran tidak semata mata hanya untuk membahas soal istikharah saja. Namun alquran diturunkan untuk memberikan ilmu pengetahuan, hikmah yang bisa menuntun umat muslim menuju penghambaan kepada Allah SWT yang baik dan benar.

Sumber : https://dalamislam.com/shalat/shalat-istikharah

Shalat sunnah istikharah adalah shalat untuk memohon petunjuk dari Allah baik itu dari hal pekerjaan, perjodohan atau rencana yang masih diragukan untuk memilih jalan mana yang mau di ambil, Mulai dari kepentingan pribadi maupun kepentingan umum, intinya shalat ini dilakukan ketika kita merasa sedang kebingungan dalam mengambil sebuah keputusan.

Waktu Istikharah

Untuk waktu pelaksanaanya boleh dilakukan kapan saja, siang hari maupun malam hari, asalkan jangan pada waktu-waktu terlarang, tetapi alangkah baiknya dilakukan pada waktu malam hari yaitu pada pukul 01.00 WIB, jumlah raka’at shalat istikharah adalah 2 raka’at, untuk cara pelaksanaan shalat istikharah sama dengan cara pelaksanaan shalat fardu, perbedaannya hanya terletak pada niatnya, dan berikut Niat shalat istikharah

“Aku niat shalat sunnat istikharah 2 rakaat karena Allah ta’ala.”

Keadaan ragu-ragu adalah keadaan di mana kita tidak memiliki satu pilihan apapun terhadap suatu perkara. Oleh karena itu, jika ada beberapa pilihan, hendaklah dipilih, lalu lakukanlah istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah sesuai yang dipilih tadi. Jika memang pilihan itu baik, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka nanti akan dipersulit

Seusai shalat Istikharah tidak perlu menunggu mimpi atau bisikan dalam hati. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang dilakukan. Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati.

Shalat Istikharah adalah Shalat Sunah dua Raka’at yg dikerjakan oleh seorang muslim untuk meminta petunjuk kpd Alloh Swt yg sedang bingung diantara beberapa pilihan dan merasa ragu-ragu untuk memiilih atau saat akan memutuskan sesuatu hal tersebut. Sedangkan untuk ukuran atau perihal masalah yg dimaksudkan di atas tidak dibatasi ukurannya karena bisa masalah didlm pekerjaan, masalah perjodohan maupun masalah lain-lain.

Yang pada intinya Shalat Istikharah dilakukan saat anda sedang merasa bingung atau ragu-ragu dlm suatu hal atau memilih sesuatu hal karena Keutamaan Shalat Istikharah menurut para Ustadz antara lain untuk memohon kepada Alloh agar urusan anda diridhoi oleh Alloh Swt dan Alloh bisa mempermudah jalan untuk urusan anda tersebut dan jika ternyata perkara atau urusan anda tersebut tidak baik untuk anda, maka Alloh akan datangkan penghalang dan pencegah untuk anda sehingga anda tidak bisa melaksanakan urusan tersebut.

Manfaat Shalat Istikharah diatas seperti sabda Nabi Muhammad Saw yg berbunyi, ”

Jika Salah seorang diantara kalian berniat dlm suatu urusan maka lakukanlah Shalat Sunah dua Raka’at yg bukan Shalat Wajib, kemudian bedoalah meminta kepada Alloh (HR. AL – Bukhari) ”.

Kemudian untuk Waktu Shalat Istikharah sendiri bisa dilakukan kapan saja baik siang maupun malam tetapi Waktu Mengerjakan Shalat Istikharah yg paling utama adlh saat sepertiga malam atau bisa dikatakan di pertengahan malam setelah Shalat Isya karena dimalam hari anda bisa mengerjakan Shalat Sunah Istikharah dg khusyu.

Sedangkan Jumlah Raka’at Shalat Istikharah ini sendiri mempunyai jumlah 2 Raka’at dan cara mengerjakan Shalat Istikharah masih sama seperti mengerjakan Shalat-Shalat pada umumnya.

Cara Shalat Istikharah di awali dg membaca Niat Shalat, membaca Surat Al Fatihah, Setelah itu diutamakan membaca Surat Al Kafirun di Raka’at Pertama dan Surat Al Ikhlas di Raka’at 2, kemudiian Ruku, Itidal, Sujud dan Salam. Untuk Tata Cara Shalat Istikharah dan Bacaan Doa Shalat Istikharah sdh saya buat dibawah ini sehingga bisa anda hafalkan dan amalkan sendirii oleh Anda dirumah

Referensi :