Apa yang dimaksud dengan saksi mahkota?


Istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Walaupun demikian istilah saksi mahkota sering ditemui pada praktik hukum acara pidana.

Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, kami mengutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”

Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru. Misalnya, dalam kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin pernah dijadikan saksi mahkota (lebih jauh simak artikel Syahril Sabirin Jadi Saksi Mahkota).Dalam kasusyang menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi mahkota juga dihadirkan dalam persidangan (lebih jauh simak artikel Antasari Azhar dan Wiliardi Tuding Ada Konspirasi dan Jaksa Diminta Siapkan Tuntutan untuk Antasari).

Akan tetapi penggunaan saksi mahkota ini juga mendapat pertentangan dari beberapa kalangan, salah satunya datang dari mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.

Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Menjawab pertanyaan Anda, sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk pembuktian pada perkara pidana.

sumber: hukumonline.com