Apa yang Dimaksud dengan Reorientasi Pengembangan Profesi Guru Pendidikan Islam?

image

Salah satu yang perlu dilakukan dalam dunia pendidikan adalah reorientasi pengembangan profesi guru, begitupun dalam pendidikan Islam.

Apa yang dimaksud dengan reorientasi pengembangan profesi guru pendidikan Islam?

Dalam telaah hasil penelitian tentang efektivitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya. Medley menemukan beberapa asumsi keberhasilan guru yang pada gilirannya dijadikan titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: pertama, asumsi sukses guru tergantung pada kepribadiannya, kedua, asumsi sukses guru tergantung pada penguasaan metode, ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada frekuensi dan intensitas aktivitas guru dengan siswa; dan keempat, asumsi bahwa apapun dasar dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting sebagai tanda memiliki wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator menguasai strategi belajar mengajar, dan lain sebagainya. Asumsi yang keempat ini memang lebih komprehensif, sehingga dijadikan titik tolak dalam pengembangan guru, yang biasa disebut dengan PTKBK (Pendidikan Tenaga Kependidikan Berbasis Kompetensi) atau CBTE (Competency based Teacher Education).

Dalam konteks pengembangan guru di masa depan, diperlukan secara cermat terhadap fenomena sosial dan kultural yang sedang aktual pada masa sekarang yang notabene juga merupakan bagian dari proses dan produk pendidikan. Mengingat pada saat ini masih banyak orang yang cerdas, terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak dibarengi dengan kekokohan akidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan akhlak.

Implikasi lebih jauh adalah munculnya gaya hidup (life style) yang cenderung bersikap sekuler, materialistik, rasionalistik, hedonistik, yaitu manusia yang cerdas intelektualitasnya dan terampil fisiknya, namun kurang terbina mental spiritualnya dan kurang memiliki kecerdasan emosional. Orientasi hidup tersebut menjadi karakter masyarakat modern yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Akibat dari yang demikian, banyak sekali para remaja yang terlibat dalam tawuran, tindakan kriminal, pencurian, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pemerkosaan dan sebagainya.

Timbulnya fenomena tersebut memang tidak arif jika hanya semata-mata dikembalikan pada proses dan produk pendidikan kita. Namun demikian, “sistem pendidikan kita yang keliru” merupakan bagian dari independent variables yang ikut memiliki kontribusi terhadap munculnya fenomena tersebut. Sistem pendidikan yang berlangsung selama ini lebih banyak menekankan dimensi transfer ilmu pengetahuan. Sedangkan aspek internalisasi dan amaliah (implementasi) belum banyak tergarap untuk membangun suasana masyarakat yang memiliki the bound of civility (ikatan keadaban atau tata karma) yang merupakan ciri masyarakat madani. Sistem pendidikan kita juga lebih menekankan peningkatan kualitas individu secara optimal dan mampu berkompetisi dengan yang lain, tetapi nilai-nilai kooperatif dan koaboratif sebagai karakteristik dari masyarakat patembayan (gemeinschaft) sudah mulai ditinggalkan.

Karena itulah, diperlukan reorientasi pengembangan guru yang bertolak dari fenomena di atas dan filsafat pendidikan Islam yang yang komitmen pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi, yang dibarengi dengan sikap dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia.

Dalam rangka reorientasi tersebut, maka dibutuhkan model pengembangan profesionalisme guru pendidikan Islam sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan secara berkesinambungan. Model pengembangan profesionalisme guru meliputi:

1. Preservice Education and Training

Pembinaan ini secara formal dilakukan pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Islam (Fakultas/Jurusan Tarbiyah) yang memfokuskan pada penyiapan kebutuhan guru di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Maka dalam proses penyiapan ini perlu mengedepankan beberapa pandangan, yaitu: pertama, pembinaan calon guru pendidikan Islam senantiasa mengikutsertakan seperangkat kepribadian yang terkait dengan model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan dan teladan bagi peserta didiknya. Dengan kata lain, bahwa dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi dititikberatkan pada peningkatan kualitas akhlak dan kepribadian melalui pembiasaan yang diperkuat dengan pembentukan pengertian dan sikap serta pembentukan kerohanian yang luhur.

Kedua, penguasaan seperangkat keilmuan yang dikembangkan melalui proses pendidikan di LPTKI, baik 'ilm nazhary maupun 'ilm 'amaly, teoretis maupun praktis dilaksanakan secara profesional dan tetap diarahkan pada pembentukan calon guru yang profesional pula, yakni profesi yang bukan hanya mengandung makna kegiatan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian, tetapi juga tercakup pengertian calling profession, yaitu panggilan atas pernyataan janji yang diucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat guna merealisasi terwujudnya nilai mulia yang diamanatkan Tuhan dalam masyarakat melalui usaha kerja keras dan cerdas. Ketiga, perlu menciptakan interaksi mendidik di LPTKI di antara civitas akademika dengan menitikberatkan pada upaya pengembangan pandangan hidup islami yang diterapkan dalam sikap hidup dan diwujudkan dalam keterampilan hidup (life skill). Kalau ketiga hal ini terlaksana dengan baik, maka calon guru tersebut dapat menjadi profesional dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai khidmat dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya.

2. Inservice Training

Pola pengembangan guru ini dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan khusus seperti Balai Diklat Keagamaan. Lembaga ini dimaksudkan untuk meng-up grade tenaga kependidikan Islam di bawah pembinaan Departemen Agama RI. Mengingat kemampuan guru pendidikan Islam tidak dapat hanya mengandalkan dari apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru sebagai lembaga preservice education anda training. Sistem penyelenggaraan pendidikan dan pelatihannya melibatkan elemen pendidikan yang lebih luas, seperti guru baru yang belum pernah mengikuti penataran, guru inti, instruktur, kepala dan pengawas lembaga pendidikan Islam (seperti madrasah). Selain itu, para guru memiliki wadah pembinaan professional melalui organisasi yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Organisasi ini bertujuan:

  • menumbuhkan kegairahan guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pembelajaran,
  • menyetarakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran,
  • mendiskusikan permasalahan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru, kondisi sekolah dan lingkungan,
  • membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan, perkembangan IPTEK, pelaksanaan kurikulum, metodologi, dan system evaluasi sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, dan
  • saling berbagi informasi dan pengalaman dalam rangka mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK.

3. On the Job Training

Pola pembinaan guru on the job training adalah proses pembinaan guru yang diprogramkan atau dilaksanakan secara langsung oleh pimpinan lembaga pendidikan Islam di mana guru itu bekerja. Berbagai bentuk pembinaan tersebut antara lain: pertama, pengarahan dari pimpinan lembaga pendidikan tentang berbagai kebijakan pendidikan. Kedua, kegiatan dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh guru yang bersangkutan. Ketiga, pemberian pengalaman dalam pelaksanaan tugas selama proses belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas, dalam rangka pengingkatan kompetensi guru yang dilaksanakan, baik secara individual maupun kelompok. Keempat, pemberian tugas baik terkait dengan teknis edukatif maupun dalam bidang admnistratif yang diberikan kepada guru.

Dalam pola pembinaan ini, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaraan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi dan PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.

Pengembangan profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.