Apa yang dimaksud dengan radang otak atau Ensefalitis?

Radang otak

Radang otak (encephalitis) adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal, seperti photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.

Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang sangat merusak jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat.
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental. Disebut ensefalitis lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit Parkinson seperti parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika hasil kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi kognitif) dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi.

ETIOLOGI


Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non- infektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus herpes manusia juga dapat menjadi agen penyebab. CDC telah mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies.

KLASIFIKASI


1. A. ENSEFALITIS SUPURATIVA

Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.

Patogenesis: Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media,mastoiditis,sinusitis,atau dari piema yang berasal dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasis, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.

Manifestasi klinis

Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;

  1. Demam

  2. Kejang

  3. Kesadaran menurun : Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses.

2. B. ENSEFALITIS SIFILIS

Patogenesis: Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat. Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian- bagian lain susunan saraf pusat.

Manifestasi klinis

Gejala-gejala neurologis :

Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Argryll- Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguanan-gangguan motorik yang progresif.

3. ENSEFALITIS VIRUS

Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :

  • Virus RNA

    • Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
    • Rabdovirus : virus rabies
    • Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue)
    • Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
    • Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
  • Virus DNA

    • Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus, virus Epstein-barr
    • Poxvirus : variola, vaksinia
    • Retrovirus : AIDS

Manifestasi klinis

Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :

  1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan virus arbo

  2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya

  3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi.

Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%) yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para- infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.

Ensefalitis primer : ensefalitis viral herpes simpleks

Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali.

Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis.

Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang laten. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang bangkit.

Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nukleus sel saraf terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks.

Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah. Kemudian timbul “acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit.

Ensefalitis Arbo-virus

Arbovirus atau lengkapnya “arthropod-borne virus” merupakan penyebab penyakit demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk dimana virus itu “berbiak” menjadi penyebarannya.

Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan “acute organic brain syndrome

Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan hidrofobia. Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Pada umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja.

Untuk Indonesia perlu dipikirkan virus Rabies, Mumps (penyebab parotitis) dan mungkin Herpes Simpleks. Penyebab dari ensefalitis adalah paling sering infeksi virus beberapa contoh termasuk virus herpes; arbovirus diperantarai oleh nyamuk, dan serangga lain dan rabies.

4. ENSEFALITIS KARENA PARASIT

Malaria serebral: Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak.

Gejala-gejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.

5. ENSEFALITIS KARENA FUNGUS

Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans, Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

6. RIKETSIOSIS SEREBRI

Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombositosis. Gejala gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaranturun.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread). Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari pia mater.

Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.

Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi

Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik.

Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.

DIAGNOSIS


Anamnesa

Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa secara lengkap mengenai adanya riwayat terpapar dengan sumber infeksi, status immunisasi gejala klinis yang diderita, riwayat menderita gejala yang sama sebelumnya serta ada tidak nya faktor resiko yang menyertai.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilihat tanda-tanda penyakit sistemik seperti dijumpai adanya rash, limfeadenopati, meningismus, penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema, tanda-tanda neurologis fokal seperti kelemahan, gangguan berbicara, peningkatan tonus otot, dan hiperrefleks ekstensor plantaris.

Pemeriksaan penunjang

Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen gawat darurat untuk mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal (CSF). Meskipun biasanya digunakan untuk tujuan diagnostik untuk menyingkirkan potensi kondisi yang mengancam jiwa seperti meningitis bakteri atau perdarahan subarachnoid, pungsi lumbal juga kadang-kadang dilakukan untuk alasan terapeutik, seperti pengobatan pseudotumor cerebri.

Analisis cairan CSF juga dapat membantu dalam diagnosis berbagai kondisi lain, seperti penyakit demielinasi dan meningitis carcinomatous. Pungsi lumbal harus dilakukan hanya setelah pemeriksaan neurologis namun tidak pernah menunda intervensi berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan steroid untuk pasien dengan dicurigai meningitis bakteri.

Indikasi untuk pungsi lumbal

Pungsi lumbal harus dilakukan untuk indikasi berikut:

  • Kecurigaan diduga meningitis
  • kecurigaan subarachnoid hemorrhage
  • penyakit sistem saraf pusat seperti sindrom Guillain-Barré dan terapi carcinomatous meningitis
  • pseudotumor cerebri

Kontraindikasi untuk pungsi lumbal

Kontraindikasi mutlak untuk pungsi lumbal adalah adanya kulit yang terinfeksi atas situs entri jarum dan adanya tekanan yang tidak sama antara kompartemen supratentorial dan infratentorial. Yang terakhir ini biasanya diringkas oleh temuan karakteristik berikut pada otak tomografi (CT):

  • Kehilangan pergeseran garis tengah posterior
  • hilangnya suprakiasmatik dan basilar
  • massa fossa posterior
  • kehilangan superior cerebellar cistern
  • kehilangan quadrigeminal plate cistern

Kontraindikasi relatif terhadap pungsi lumbal meliputi:

  • peningkatan tekanan intrakranial ICP
  • Koagulopati
  • Abses otak

Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual warna dan kejelasan dan tes untuk glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih dengan diferensial, serologi sifilis (tes antibodi menunjukkan sifilis), Gram stain dan bakteri budaya. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada hasil tes awal dan diagnosis dicurigai.

Nilai normal:

  • Tekanan: 70 - 180 mm H20
  • Tampilan: Jernih, tidak berwarna
  • CSF total protein: 15 - 60 mg/100 mL
  • Gamma globulin: 3 - 12% of the total protein
  • CSF glucose: 50 - 80 mg/100 mL (atau lebih besar dari 2/3 kadar gula dalam darah)
  • CSF cell count: 0 - 5 sel darah putih (semua mononuclear), dan tiada sel darah merah
  • Chloride: 110 - 125 mEq/L

LCS pada Berbagai Infeksi:

  • Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma puasa. Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan terjadi pada meningitis bakteri dan jamur dan keganasan.

  • Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan albumin membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang terlihat dalam berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur, multiple sclerosis, tumor, perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis.

  • Laktat: CSF laktat digunakan terutama untuk membantu membedakan meningitis bakteri dan jamur, yang menyebabkan laktat yang lebih besar, meningitis virus, tidak ada.

  • Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan jamur, keganasan, dan perdarahan subarachnoid.

  • Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat rendah, biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit dapat terjadi dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur, dan parasit), alergi, leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis, ensefalitis, dan sindrom Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk membedakan banyak penyebab. Misalnya, infeksi virus biasanya berhubungan dengan limfosit meningkat, sementara infeksi bakteri dan jamur terkait dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear (neutrofil). Diferensial juga dapat mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan alergi dan shunt ventrikel; makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan meningitis), sel darah merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan infark serebral mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan leukemia, dan karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50% kanker metastatik yang menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari tumor sistem saraf pusat akan menumpahkan sel ke dalam CSF.

  • Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan dalam CSF, sel darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi. Merah sel dalam subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan traumatis. Karena sel darah putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi lokal, peradangan, atau perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk memperbaiki jumlah WBC sehingga mencerminkan kondisi selain perdarahan atau tekan traumatis. Hal ini dilakukan dengan sel darah merah dan jumlah leukosit dalam darah dan CSF. Rasio sel darah merah dalam CSF ke darah dikalikan dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi dari CSF WBC count untuk menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap traumatis.

  • Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan positif sekitar setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri. Budaya dilakukan untuk bakteri aerobik dan anaerobik. Selain itu, noda lainnya (Pewarnaan kultur misalnya untuk Mycobacterium tuberculosis, kultur jamur dan tes identifikasi cepat [tes untuk antigen bakteri dan jamur]) dapat dilakukan secara sistematis.

  • Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang menunjukkan neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan (FTA-ABS) tes sering digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif dan diobati. Tes ini digunakan bersama dengan tes VDRL untuk antibodi nontreponema, positif pada paling dengan sifilis aktif, tetapi negatif dalam kasus dirawat.

  • Pengukuran kadar klorida dapat membantu dalam mendeteksi adanya meningitis tuberkulosis.

Test Nonne

Percobaan ini juga dikenal dengan nama test Nonne-Apelt atau test Ross- Jones, menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat sebagai reagens (ammonium sulfat 80 gr : aquadest 100 ml : saring sebelum memakainya). Test seperti dilakukan di bawah ini terutama menguji kadar globulin dalam cairan otak.

Catatan :

Seperti juga test Pandy, test Nonne ini sering dilakukan sebagai bedside test pada waktu mengambil cairan otak dengan lumbal pungsi. Dalam keadaan normal hasil test ini negative, artinya : tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang terjadi. Laporan hasil test ini sebagai negative atau positif saja. Test Nonne memakai lebih banyak bahan dari test Pandy, tetapi lebih bermakna dari test Pandy karena dalam keadaan normal test ini berhasil negative : sama sekali tidak ada kekeruhan pada batas cairan.

Test Pandy

Reagen Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum liquefactum 10 ml : aquadest 90 ml : simpan beberapa hari dalam lemari pengeram 37 oC dengan sering dikocok-kocok) bereaksi dengan globulin dan dengan albumin.

Catatan :

Test Pandy ini mudah dapat dilakukan pada waktu melaukan punksi dan memang sering dijalankam demikian sebagai bedside test. Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat ringan berupa kabut halus. Sedemikian tinggi kadar protein, semakin keruh hasil reaksi ini yang selalu harus segera dinilai setelah pencampuran LCS dengan reagen ini. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi yang negatif.

Elektroensefalografi

Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang. Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas lambat bilateral). Bila terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex.

Pemeriksaan imaging otak.

Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya pembengkakan otak. Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda dan gejala yang menjurus ke ensefalitis maka lumbal fungsi harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat peningkatan tekanan intrakranial.

Biopsi otak

Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya herpes simpleks ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode DNA atau CT Scan dan MRI

Pemeriksaan darah

Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan ini merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi HSV 1, enterovirus 2, pada susunan saraf pusat.

PENATALAKSANAAN

Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala. Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang disebabkan oleh pembengkakan otak.

Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi sistemik termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah. Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan yang tepat.

Penderita dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah.

Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut :

  1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.

  2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen.

  3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.

  4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam

  5. Pengobatan kausatif.
    Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif

  6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.

  7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.

GEJALA SISA DAN KOMPLIKASI


Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.

Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.

PROGNOSIS


Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada prognosis virus entero.

Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 . Dari penderita yang hidup 20-40 mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental, epilepsi dan masalah tingkah laku.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] February 26, 2010 [ Cited April 5, 2010 ]. Available from : URL ; Diseases & Conditions - Medscape Reference
  2. Anonymous. Encephalitis. [ Online ] May 5, 2009 [ Cited April 13, 2010 ]. Available from : URL ; Encephalitis - Symptoms and causes - Mayo Clinic
  3. Anonymous. Definition of encephalitis. [ Online ] 26 March, 1998 [ Cited April 13, 2010]. Available from : URL ; www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=3231
  4. Behrman RE, Vaughan, V.C, Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak, edisi 12, Bag 2, EGC, Jakarta: 42-48.
  5. Encephalitis. Pediatrics in review. Available at: http://pedsinreview.aappublications.org/content/26/10/353.full.pdf+html
  6. James D.C., Shields W.D., Encephalitis and meningoencephalitis in Text Book of Pediatric Infectious Disease, Vol. 1 by Saunders. United States of America. 2004: 505- 509, 512- 514.
  7. Soedarmo,Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis edisi pertama .Ikatan Dokter Anak Indonesia .Jakarta. 2000.
  8. James D. C., Recognition and Management of Encephalitis in Children in Hot Topics in Infections and Immunity in Children V, Vol. 634 by Springer. United States of America, 2009 : 53-60.
  9. Information on Arboviral Encephalitides. Available at: Division of Vector-Borne Diseases (DVBD) | Division of Vector-Borne Diseases | NCEZID | CDC
  10. Cerebrospinal fluid (CSF) analysis. Available at: Cerebrospinal Fluid (CSF) Analysis - procedure, test, blood, tube, removal, pain, complications, adults
  11. Lumbal Puncture. Available at: Lumbar Puncture: Background, Indications, Contraindications
  12. Diagnostic Importance of Cerebrospinal Fluid in Pathognomic Condition. Available at: http://www.veterinaryworld.org/Vol.2%20No.11%20Full%20Text/Diagnostic%20Importance%20of%20Cerebrospinal%20Fluid%20in%20Pathognomic%20.pdf
  13. Encephalitis. Available at: Encephalitis | MedlinePlus