Apa yang dimaksud dengan Psychological Empowerment?

Psychological Empowerment

Apa yang dimaksud dengan Psychological Empowerment ?

Definisi Empowerment


Berdasarkan tinjauan literatur, beberapa tokoh telah memberikan definisi mengenai empowerment . Kanter (1979, dalam Mok dan Au-yeung, 2002) mengartikan empowerment sebagai proses untuk membagi atau memindahkan kekuasaan kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan yang bersangkutan. Lebih lanjut, Conger dan Kanungo (1988) mendefinisikan empowerment sebagai sebuah proses motivasi yang dilakukan oleh organisasi untuk meningkatkan perasaan self-efficacy pada pekerja dalam rangka memungkinkan pekerja tersebut untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya secara lebih efektif dan efisien atau mencapai tujuannya dengan sukses (Mok dan Au-yeung, 2002). Sedikit berbeda dengan definisi dari tokoh-tokoh yang telah dijelaskan sebelumnya, Thomas dan Velthouse (1990) melihat empowerment bukan hanya sekedar self efficacy (yang dilihat sebagai kompetensi dari orang yang bersangkutan), namun juga pemaknaan tugas (meaning), self determination, dan dampak (impact) oleh diri masing-masing pekerja.

Para peneliti mengenai organisasi telah membedakan dua perspektif mengenai empowerment , yaitu structural empowerment dan psychological empowerment (Stander dan Rothmann, 2009). Structural empowerment didefinisikan sebagai suatu akses terhadap struktur organisasi di lingkungan kerja melalui jalur komunikasi, dukungan, informasi, dan sumber-sumber lainnya yang memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk dapat mengambil keputusan, membantu mengendalikan sumber daya yang ada di dalam organisasi, serta tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan mereka (Conger dan Kanungo, 1988). Perspektif ini fokus pada struktur organisasi dan pembagian otoritas, wewenang, dan kekuasaan antara atasan dan bawahan.

Pada awalnya, perspektif structural empowerment terfokus pada praktik pemberdayaan manajemen yang di dalamnya termasuk delegasi pengambilan keputusan oleh level organisasi yang lebih tinggi kepada level organisasi yang lebih rendah (Mok & Au-yeung, 2002) dan meningkatkan akses terhadap informasi dan berbagai sumber untuk para individu yang berada pada tingkat organisasi yang lebih rendah (Bowen dan Lawler, 1992). Perspektif ini menyatakan bahwa pekerja akan berperilaku dengan cara yang diberdayakan dengan membuat perubahan yang dibutuhkan pada tingkat struktural. Kanter (1993) menemukan bahwa lingkungan kerja yang menyediakan akses informasi, dukungan sumber daya dan juga kesempatan untuk belajar dan berkembang dapat memberdayakan dan memungkinkan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan mereka secara baik.

Sejalan dengan perspektif structural empowerment , empowerment diklasifikasikan ke dalam lima tahap (Conger dan Kanungo, 1988), yaitu :

  • Tahap pertama adalah diagnosis kondisi di dalam organisasi yang bertanggung jawab atas perasaan ketidakberdayaan para pekerjanya. Hal ini kemudian merujuk pada penggunaan strategi empowerment oleh para manajer pada tahap kedua.

  • Tahap kedua, yaitu pengarahan untuk menghilangkan kondisi eksternal yang bertanggung jawab atas rasa ketidakberdayaan tersebut.

  • Pada tahap ketiga, pekerja disediakan dan diberikan informasi mengenai self efficacy.

  • Pada tahap keempat, para pekerja akan merasa diberdayakan (feel empowered) sebagai hasil dari pemberian informasi di tahap ketiga.

  • Pada tahap kelima, akan mulai terlihat efek perilaku dari pemberdayaan tersebut.

Semakin berkembangnya teori mengenai empowerment, para peneliti empowerment kemudian menemukan bahwa perspektif structural empowerment akan membatasi karena tidak membahas mengenai sifat empowerment yang dialami langsung oleh pekerja. Dalam beberapa situasi tertentu, kekuasaan (power), pengetahuan, informasi, dan penghargaan telah diberikan oleh organisasi kepada para pekerjanya, namun ternyata para pekerja tersebut masih tetap merasa tidak berdaya. Sementara itu di situasi lain, para pekerja yang tidak memiliki dan tidak diberikan struktur-struktur dari lingkungan tempat mereka bekerja ternyata tetap merasa dan bertindak dengan cara diberdayakan (felt and acted in empowered ways). Semua masalah ini pada akhirnya mendorong muncul dan berkembangnya perspektif psychological empowerment.

Perspektif psychological empowerment mengacu pada proses internal dari individu yang merasa berdaya (Menon, 2001), karena psychological empowerment ada atau muncul ketika pekerja merasa bahwa mereka melakukan kontrol atas kehidupan kerja mereka (Spreitzer, 1995). Lebih lanjut lagi, Thomas dan Velthouse (1990) berpendapat bahwa hasil positif (positive outcome) yang dihasilkan oleh pekerja ditentukan oleh persepsi pribadi pekerja tersebut mengenai empowerment , yang mana persepsi pribadi tersebut merupakan psychological empowerment, dan tidak sepenuhnya ditentukan oleh structural empowerment oleh organisasi. Oleh karena itulah psychological empowerment ini merupakan konsep yang penting untuk diteliti karena berhubungan dengan konsep empowerment yang berasal dari dalam diri individu. Berdasarkan hal tersebut pula, pengertian empowerment yang dijelaskan melalui perspektif psychological empowerment pada penelitian ini mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Spreitzer (1995) yang merupakan modifikasi model psychological empowerment yang dijelaskan oleh Thomas dan Velthouse (1990).

Definisi Psychological Empowerment


Thomas dan Velthouse (1990) mengusulkan suatu model kognitif empowerment yang dibentuk oleh konteks kerja individu dan ciri kepribadian (dalam Stander dan Rothmann, 2009). Menurut Thomas dan Velthouse (1990), psychological empowerment terdiri dari satu set yang terdiri dari empat kognisi yang mencerminkan orientasi pekerja untuk perannya, yaitu meaning, competence, choice , dan impact . Spreitzer (1995) memodifikasi model empowerment yang dijelaskan oleh Thomas dan Velthouse (1990) dan kemudian mendefisikannya sebagai berikut:

A motivational construct manifested in four cognitions: meaning, competence, self-determination and impact. Together these four cognitions reflect an active, rather than passive orientation to a work role. By active orientation is meant an orientation in which an individual wishes and feels able to shape his or her work role or context . (Spreitzer, 1995:1441)

Berdasarkan definisi di atas, Spreitzer (1995) menjelaskan bahwa psychological empowerment adalah sebuah konstruk motivasi yang diwujudkan dalam empat kognisi, yaitu meaning, competence, self determination , dan impact . Keempat kognisi ini secara bersama-sama mencerminkan orientasi aktif (bukan pasif) terhadap peran kerja. Orientasi aktif tersebut berarti orientasi dimana seorang individu ingin dan merasa mampu membentuk karyanya sendiri dalam perannya atau konteksnya di dalam pekerjaannya.

Wallace, Johnson, Mathe, dan Paul (2011) mengatakan bahwa tidak seperti structural empowerment , psychological empowerment menggunakan pengolahan informasi sosial sebagai dasar atau fondasi teoritis. Oleh karena itu sebagai hasilnya, psychological empowerment telah terbukti dapat mengubah tingkah laku individu seperti yang telah disebutkan di atas dan berada diatas kemampuan dari structural empowerment itu sendiri. Dengan pernyataan ini, dapat lebih mudah dimengerti mengapa psychological empowerment , dengan kemampuannya untuk mengubah tingkah laku, telah menjadi konstruk yang disoroti dan menjadi andalan dalam literatur organisasi dan sektor industri yang bergerak di bidang pelayanan.

Menurut Mishra dan Spreitzer (1998), pekerja takut dan cenderung untuk menghindari situasi yang mereka yakini situasi tersebut membutuhkan kemampuan yang lebih dari kemampuan dirinya yang ada pada saat ini. Di sisi lain, mereka akan terlibat dalam kegiatan dan akan berperilaku dengan penuh percaya diri ketika mereka menilai diri mereka mampu menangani situasi yang dapat mengintimidasi. Keempat komponen dalam psychological empowerment inilah yang pada akhirnya dapat membantu mereka untuk lebih merasa bahwa mereka dapat memegang kendali.

1 Like

Konsep mengenai psychology empowerment atau pemberdayaan psikologis telah diperkenalkan oleh beberapa peneliti, diantaranya Conger dan Kanungo (1988) dalam Ugwu, et a.l (2014) yang mendefinisikan pemberdayaan psikologis sebagai konsep motivasional tentang pemenuhan diri, yang secara lebih spesifik dapat dinyatakan sebagai meningkatnya motivasi tugas intrinsik yang terwujud dalam serangkaian kognisi yang mencerminkan orientasi individu pada peran kerjanya. Lebih lanjut, menurut Conger dan Kanungo (1988) dan Thomas dan Velthouse (1990) dalam Singh, et al. (2013) pemberdayaan psikologis merupakan konsep peningkatan motivasi individu di tempat kerja melalui pendelegasian wewenang ke tingkat terendah dalam sebuah organisasi, sehingga keputusan yang kompeten dapat dibuat. Peningkatan motivasi individu yang bermuara pada keputusan yang kompeten tentu menjadikan pemberdayaan psikologis sebagai variabel yang penting bagi organisasi.

Sejalan dengan Conger dan Kanungo (1988), Spreitzer (1995), dan Spreitzer, et al. (1997) dalam Singh, et al. (2013) mendefinisikan pemberdayaan psikologis sebagai pola pikir global yang mencakup empat kognisi (makna pekerjaan, kompetensi, determinasi diri, dan pengaruh) yang mencerminkan orientasi proaktif yang berkenaan dengan individu dalam organisasi.

Keyakinan akan kemampuan individu dalam melaksanakan peran kerjanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan organisasi. Menurut Meyerson dan Kline (2008) pemberdayaan psikologis adalah keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan kerja terkait dengan ketrampilan dan kompetensi. Lebih jauh, Meyerson dan Kline (2008) menjelaskan bahwa pemberdayaan psikologis berkaitan dengan bagaimana orang-orang yang kompeten atau mampu merasa diberdayakan di lingkungan kerjanya.

Mereka yang merasa lebih kompeten tentang kemampuannya dan berhasil diberdayakan atau memiliki tingkat pemberdayaan psikologis lebih tinggi seharusnya akan :

  1. Merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka.

  2. Akan lebih berkomitmen secara afektif terhadap organisasi.

  3. Memiliki niat yang lebih rendah untuk keluar dari organisasi.

  4. Menunjukkan kinerja yang lebih positif.

Dimensi Pemberdayaan Psikologi

Thomas dan Velthouse (1990) dalam Kazlauskaite, et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologis dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi , yaitu:

  1. Pengaruh;
  2. Kompetensi;
  3. Keberartian
  4. Pilihan.

Spreitzer (1995), dan Spreitzer, et al. (1997) dalam Singh, et al. (2013) merumuskan empat dimensi penting yang membentuk konstruksi pemberdayaan psikologis yaitu:

  1. Makna pekerjaan ( meaning )
    Mencerminkan nilai yang dimiliki suatu tugas sehubungan dengan sistem kepercayaan seseorang.

  2. Kompetensi ( competence )
    Kompetensi mengukur sejauh mana seseorang mampu melakukan tugas dengan sukses dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki.

  3. Determinasi diri ( self-determination )
    Mengukur jumlah otonomi atau kontrol seseorang atas tugas atau perilakunya .

  4. Pengaruh ( impact )
    Memperkirakan sejauh mana seseorang yakin bahwa ia dapat membuat perbedaan dalam hasil kerja organisasi.

Menurut Conger dan Kanugo (1988 dalam Manojlovich, 2007) menyatakan bahwa pemberdayaan psikologis adalah membangun motivasi dari empat kognisi yang dibentuk oleh lingkungan kerja yaitu kemaknaan, kompetensi, penentuan diri, dan dampak.

Pemberdayaan psikologis merupakan suatu proses yang diawali dengan interaksi antara lingkungan kerja dengan karakteristik kepribadian individu, dan interaksi lingkungan tersebut membentuk empat pemberdayaan kognitif yakni kemaknaan, kompetensi, penentuan diri, dan dampak yang pada akhirya akan dapat memotivasi perilaku individu (Spreitzer, 1995 dalam Manojlovich, 2007).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan psikologis merupakan suatu bentuk motivasi intrinsik individu di lingkungan kerja yang dibentuk dari empat kognisi untuk menghasilkan kepuasan kerja.

Pemberdayaan psikologis mencerminkan orientasi kerja yang aktif, dimana individu mampu menentukan perannya dalam pekerjaan, bukan hanya sekedar menyampaikan gagasan saja (Boudrias, Gaudreau, & Laschinger, 2004 dalam Manojlovich, 2007).

Dimensi pemberdayaan psikologis


Menurut Spreitzer (1997) dalam Ferry Koesindratmono dan Berlian Gressy Septarini (2011) menyebutkan keempat dimensi pemberdayaan psikologis yaitu :

  1. Meaning (Keberartian) adalah kesesuaian antara kebutuhan peran pekerjaan seseorang dengan perilaku, keyakinan seseorang bahwa dirinya memiiki keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan baik.

  2. Self-determination (Determinasi Diri) adalah keyakinan seseorang bahwa orang tersebut mempunyai kebebasan atau otonomi dan kendali tentang bagaimana mengerjakan pekerjaannya sendiri.

  3. Competence (Kecakapan) adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang bahwa dirinya memiliki keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan baik.

  4. Impact (Dampak) adalah persepsi bahwa seseorang secara signifikan dapat mempengaruhi strategi, administrasi dan hasil operasi kerja perusahaan.

Upaya Pemberdayaan Psikologis

Penelitian yang dilakukan Bandura (1986, Hackman dan Oldman, 1980; Kanter, 1983; dalam Whetten & Cameron, 2005) menyatakan terdapat sembilan upaya dalam pemberdayaan yaitu :

  1. Memahami visi dan misi; individu akan merasa diberdayakan apabila organisasi memberikan pemahaman kepada individu tentang visi dan misi di organisasinya, sehingga individu dapat berkontribusi terhadap organisasinya karena memiliki tujuan yang jelas.

  2. Membantu mengembangkan keahlian individu; penting bagi pimpinan untuk dapat membantu individu mengembangkan keahlian stafnya. Stafnya dapat melakukan pekerjaan yang mudah terlebih dahulu kemudian melakukan tugas yang sulit sampai mendapatkan pengalaman dalam bekerja.

  3. Model peran; dalam memberdayakan stafnya, pimpinan berperan sebagai model sesuai dengan perilaku yang diinginkan atau staf yang senior dapat menjadi model peran bagi staf junior.

  4. Memberikan dukungan; dalam memberdayakan staf perlu diberi dukungan seperti memberikan penghargaan, pujian, umpan balik terhadap pekerjaannya yang telah dilakukan.

  5. Membangun emosi yang positif; pimpinan dapat menghilangkan emosi negatif seperti rasa takut, kecemasan dengan membangun emosi positif seperti rasa gembira, rasa kebersamaan dalam menyelesaikan tugas staf.

  6. Memberikan informasi yang dibutuhkan; informasi merupakan salah satu alat kekuasaan dalam memberdayakan stafnya. Pimpinan harus memberikan informasi yang relefan dengan tugas yang akan dikerjakan stafnya untuk menumbuhkan rasa diberdayakan oleh pimpinan.

  7. Memberikan sumber yang diperlukan; selain informasi sumber-sumber lain akan dapat membantu menyelasaikan tugas staf, misalnya memberikan pelatihan dan pengalaman yang dapat membantu pemberdayaan staf.

  8. Membantu dalam membina hubungan untuk memperoleh hasil yang diinginkan; staf merasa lebih diberdayakan jika didukung oleh pimpinan dalam membina hubungan dengan staf lain, atau staf diberi motivasi, kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

  9. Menciptakan rasa percaya diri staf; dapat melalui rasa saling percaya, kejujuran, caring , keterbukaan dan memiliki kompetensi.

Manfaat Pemberdayaan Psikologis

Manfaat pemberdayaan psikologis adalah dapat membuat individu tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan atau ancaman (Fredrickson, et al ., 2003 dalam Spreitzer, 2007). Pemberdayaan dapat menjadi sumber daya dan membantu individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan keadaan yang dialaminya (Sutcliffe & Vogus, 2003 dalam Spreitzer, 2007). Selain itu, individu tekun dalam bekerja, dan dapat memfasilitasi harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik di masa depan (Spreitzer & Mishra, 2000 dalam Spreitzer, 2007).

Pemberdayaan bermanfaat dalam meningkatkan kinerja, individu menjadi lebih efektif (Spreitzer 2007), meningkatkan produktifitas (Koberg, et al ., 1999 dalam Spreitzer, 2007), motivasi untuk bekerja secara lebih efektif (Chen et al ., 2007; Chen & Klimoski, 2003; Liden et al ., 2000; Seibert et al ., 2004 dalam Spreitzer, 2007).

Dengan demikian, pemberdayaan banyak memberikan manfaat kepada setiap individu yang ingin merubah kehidupannya menjadi lebih baik yang tentunya harus didukung oleh pimpinan sehingga tidak terjadi hambatan dalam meningkatkan kinerja dan produktifitas.

Dampak Pemberdayaan Psikologis

Menurut Feldman and Khademian (2003, dalam Spreitzer, 2007) pemberdayaan psikologis dapat memberikan pengaruh terhadap individu, organisasi, dan masyarakat. Hasil penelitian di inggris menemukan bahwa pemberdayaan psikologis (dimensi kemaknaan, penentuan diri, dan dampak) memberikan pengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental, serta memberikan pengaruh besar terhadap kepuasan kerja (Holdsworth & Cartwright, 2003 dalam Spreitzer, 2007). Oleh karena itu untuk mengatasi dampak yang diakibatkan ketidakberdayaan staf diperlukan keterlibatan pimpinan dalam memberdayakan stafnya.