Apa yang dimaksud dengan Prostitusi?

prostitusi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), arti kata prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.

Secara etimonologi kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu “ pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata ‘ prostitute’ merujuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau sundal dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS adalah orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau orang sundal. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut WTS, yang kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).

Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah: pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional. Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial ) yang diartikan sebagai wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang- ulang, diluar perkawinan yang sah dan mendapatkan uang, materi atau jasa.

Beberapa definisi prostitusi menurut para ahli:

  • Koentjoro: “yang menjelaskan bahwa Pekerja Seks Komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.”

  • Paul Moedikdo Moeliono: “prostitusi adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran, guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu.”

  • Prof W.A Bonger: “Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.”

  • Sarjana P.J de Bruine van Amstel: “prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.”

  • Kartini Kartono mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut:

Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu- nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa paling tidak terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan yaitu,

  • Bayaran,
  • Perselingkuhan,
  • Ketidakacuhan emosional,
  • Mata pencaharian.

Faktor-Faktor Terjadinya Prostitusi


Beberapa faktor terjadinya prostitusi sebagai sebab atau alasan seorang perempuan terjun dalam dunia prostitusi. Ada pun pekerja sosial asal Inggris mengatakan dalam bukunya, Women of The Streets, tentang keadaan individu dan sosial yang dapat menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur adalah:

  1. Rasa terasingkan dari pergaulan atau rasa diasingkan dari pergaulan hidup pada masa tertentu di dalam hidupnya.

  2. Faktor-faktor yang aktif dalam keadaan sebelum diputuskan untuk melacurkan diri, dalam kenyataan ini merupakan sebab yang langsung tapi hampir selalu dan hanya mungkin terjadi karena keadaan. Sebelumnya yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

  3. Tergantung dari kepribadian wanita itu sendiri.

Kemudian dalam bukunya Reno Bachtiar dan Edy Purnomo menjelaskan beberapa alasan dasar seseorang perempuan menjadi pelacur yaitu:

  1. Faktor ekonomi
    Permasalahan ekonomi yang sangat menyesakkan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi mapan. Jalan pintas mereka tempuh sehingga lebih mudah untuk kemudahan mencari uang. Faktor ini bukan faktor utama seorang perempuan memilih profesi pelacur. Hal ini merupakan tuntutan hidup praktis mencari uang sebanyak-banyaknya bermodal tubuh/fisik. Mereka melakukannya bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi orang tua, keluarga dan anak. Kemiskinan memang tidak mengenakkan, sehingga untuk keluar dari belitan ekonomi, mereka rela “berjualan diri” agar hidup lebih layak.

  2. Faktor kemalasan
    Mereka malas untuk berusaha lebih keras dan berfikir lebih inovatif dan kreatif untuk keluar dari kemiskinan. Persaingan hidup membutuhkan banyak modal baik uang, kepandaian, pendidikan, dan keuletan. Kemalasan ini diakibatkan oleh faktor psikis dan mental rendah, tidak memiliki norma agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Tanpa memikirkan semua itu, hanya modal fisik, kecantikan, kemolekan tubuh, sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.

  3. Faktor pendidikan
    Mereka yang tidak bersekolah, mudah sekali untuk terjerumus ke lembah pelacuran. Daya pemikiran yang lemah menyebabkan mereka melacurkan diri tanpa rasa malu. Mungkin kebodohkan telah menuntun mereka untuk menekuni profesi pelacur. Hal ini terbukti ketika ditemukan pelacur belia berusia belasan tahun di lokalisasi. Bukan berarti yang berpendidikan tinggi tidak ada yang menjadi pelacur.

  4. Niat lahir batin
    Hal ini dilakukan karena niat lahir batin telah muncul di benaknya untuk menjadi pelacur yang merupakan jalan keluar “terbaik”. Tidak perlu banyak modal untuk menekuninya, mungkin hanya perlu perhiasan palsu, parfum wangi, penampilan menarik, keberanian merayu, keberanian diajak tidur oleh orang yang baru dikenal, hanya beberapa menit, tidur lalu mereka langsung dapat uang. Niat lahir batin diakibatkan oleh lingkungan keluarga yang berantakan, tidak ada didikan dari orang tua yang baik, tuntutan untuk menikmati kemewahan tanpa perlu usaha keras, atau pengaruh dari diri sendiri terhadap kenikmatan duniawi. Niat ini muncul di semua kalangan, dari kelas bawah sampai kelas atas. Profesi ini tidak di dominasi oleh kelas bawahan saja, tetapi juga merata di semua kalangan. Buktinya ada mahasiswa yang berprofesi pelacur.

  5. Faktor persaingan
    Kompetisi yang keras di perkotaan, membuat kebimbangan untuk bekerja di jalan yang “benar”. Kemiskinan, kebodohan, dan kurangnya kesempatan bekerja di sektor formal, membuat mereka bertindak criminal, kejahatan, mengemis di jalan-jalan, dan jadi gelandangan. Bagi perempuan muda yang tidak kuat menahan hasrat terhadap godaan hidup, lebih baik memilih jalur “aman” menjadi pelacur karena cepat mendapatkan uang dan bisa bersenang-senang. Maka, menjadi seorang pelacur dianggap sebagai solusi.

  6. Faktor sakit hati
    Maksudnya seperti gagalnya perkawinan, perceraian, akibat pemerkosaan, melahirkan seorang bayi tanpa laki-laki yang bertanggung jawab, atau gagal pacaran karena sang pacar selingkuh. Lalu mereka marah terhadap laki-laki, menjadi pelacur merupakan obat untuk mengobati luka yang paling dalam. Cinta mereka gagal total sehingga timbul rasa sakit hati, pelampiasan bermain seks dengan laki-laki dianggap sebagai jalan keluar.

  7. Tuntutan keluarga
    Seorang pelacur mempunyai tanggung jawab terhadap orang tuanya di desa, atau anak-anak yang masih membutuhkan uang SPP. Setiap bulan harus mengirimkan uang belanja kepada orang tua. Jika mempunyai anak, maka uang kiriman harus ditambah untuk merawatnya, membeli susu, atau pakaian. Mereka rela melakukan ini tanpa ada paksaan dari orang tuanya. Kadang- kadang ada orang tua yang mengantarkan mereka ke germo untuk bekerja sebagai pelacur. Pelacur sendiri tidak ingin anaknya seperti dirinya.

Referensi

Drs. H. Kondar Siregar, MA, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan

Bagong Suyanto, 2010, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Simanjuntak. B, 1982, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial , Bandung: Tarsito,

Koentjoro, 2004, On the Spot: Tutur Dari Sarang Pelacur . Yogyakarta: Tinta,

Kartono Kartini, 2005, Patologi Sosial , Jakarta: Raja Grafindo Press

C.H. Ralph, 1961, Women of the Street, A Sociological Study of Common Prostitute, Ace Books, Love & Malcomson Ltd. London