Prasasti adalah sumber tulisan sejarah yang berasal dari tinggalan masa lampau yang biasanya tertulis di atas batu, lempengan logam (emas, perak, atau tembaga),4 gerabah, batu-bata, atau lontar. Pada umumnya prasasti-prasasti itu merupakan semacam piagam untuk memperingati peristiwa penting pada suatu kerajaan, misalnya yupa di Kutai memperingati kedermawanan Raja Mulawarman dalam memberikan sumbangan untuk upacara-upacara keagamaan di kerajaannya (Poesponegoro, 1993).
Adapun prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Mataram Hindu sebagian besar berisi tentang penetapan sebidang tanah atau suatu daerah menjadi berstatus sīma, yaitu daerah bebas pajak sebagai anugerah raja kepada seorang pejabat kerajaan; atau kepada rakyat yang telah berjasa kepada kerajaan; atau sebagai anugerah raja untuk kepentingan pendirian bangunan suci. Penetapan sima baru pada umumnya dianggap sebagai peristiwa yang penting sekali, karena yang terjadi adalah perubahan kedudukan sebidang tanah yang dalam hubungan religio-magis di kalangan masyarakat Indonesia selalu terkait dengan yang mendiami tanah itu (Boechari, 1977).
Sebagai contoh prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Mataram Hindu berisi tentang keputusan peradilan atau sering disebut sebagai jayapatra atau jayasong (Poesponegoro dan Notosusasto, 1993). Penyebutan itu didasarkan atas penyebutan kata jayapatra atau jayasong dalam beberapa prasasti yang berhubungan dengan putusan peradilan, misalnya pada prasasti Guntur907 M (Wurjantoro, 2011:219-222), prasasti Wurudu Kidul922 M (Wurjantoro, 2011:234-238), dan prasasti Parung (tt; zaman Majapahit). Kata jayapatra berarti catatan kemenangan dalam perkara hukum yang diberikan kepada pihak yang menang (Zoetmulder, 2000:419), sedangkan jayasong berarti perlindungan kemenangan atas keputusan hukum (Zoetmulder, 2000).
Prasasti-prasasti itu dikeluarkan oleh raja, penguasa daerah ( raka ), pejabat peradilan ( samgat/pamgat ), atau oleh pihak-pihak yang mempunyai wewenang dalam suatu proses peradilan, serta memuat sebuah proses pengambilan keputusan peradilan Jawa Kuna. Dalam proses pengambilan keputusan seperti yang tersurat pada prasasti peradilan itu selalu terlihat adanya pihak-pihak yang bersengketa, pejabat-pejabat peradilan, saksi-saksi, dan putusan yang dibuat. Dengan demikian, sebuah prasasti dapat disebut sebagai prasasti peradilan jika mempunyai dua atau lebih dari unsur-unsur tersebut di atas (Prasodjo, 1987).
Prasasti-prasasti di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk hurufdanbahasa, di antaranya adalah huruf Pallawa, Jawa Kuna, Pra-nagari, dan Dewanagari. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta, Melayu Kuna, Jawa Kuna, dan Bali Kuna. Pada kenyataannya huruf Pallawa masih dapat dibedakan menjadi Pallawa Awal atau Pallawa Kuna dan Pallawa Muda. Sebagai contoh prasasti berhuruf Pallawa Kuna adalah prasasti-prasasti dari Kutai, prasasti-prasasti Purnavarmman dari Tarumanegara, dan beberapa prasasti dari Kedah, Malaysia.
Adapun contoh prasasti yang berhuruf Pallawa Muda adalah prasasti Tuk Mas dari Grabag, Jawa Tengah, prasasti-prasasti dari Sriwijaya, dan prasasti Canggal, Jawa Tengah. Prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Pallawa itu pada umumnya menggunakan bahasa Sansekerta, kecuali prasasti dari Sriwijaya yang menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Jawa Kuna juga dapat dibedakan menjadi Jawa Kuna Awal (antara tahun 750 M - 925 M), Jawa Kuna Akhir (antara tahun 925 M-1250 M), dan Jawa Kuna periode Majapahit (antara tahun 1250 M – 1450 M). Prasasti berhuruf Jawa Kuna Awal dibedakan menjadi dua, yaitu fase kuna (antara tahun 750 M – 856 M), dan prasasti Jawa Kuna yang merupakan bentuk standar (antara tahun 856 M – 925 M). Prasasti-prasasti yang berhuruf Jawa Kuna ini pada umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuna.
Akan tetapi, ada juga yang menggunakan bahasa Melayu Kuna seperti prasasti Bukateja, prasasti Gandasuli I (Sang Hyang Wintang) dan Gandasuli II (Dang Puhawang Glis). Adapun prasasti berhuruf Pra-Nagari (Siddham) dan huruf Dewanagari pada umumnya menggunakan bahasa Sansekerta. Sebagai contoh adalah prasasti Kelurak, dan prasasti Kalasan.
Penamaan prasasti dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu
-
pertama , berdasarkan tempat atau daerah ditemukannya prasasti itu, misalnya prasasti Kalasan, prasasti Ratu Boko, prasasti Canggal, dan sebagainya. Pada kasus penamaan seperti ini, berarti prasasti-prasasti itu ditemukan di daerah Kalasan, daerah Ratu Boko, dan daerah Canggal (Muntilan);
-
kedua , diambil dari nama tempat yang pertamakali disebut pada prasasti itu, misalnya prasasti Cane, prasasti Telang, dan prasasti Kamalagyan. Pada kasus ini dapat dijelaskan sebagai berikut, Cane adalah tempat yang tertulis di prasasti itu, daerah yang menerima anugerah raja berupa ditetapkannya daerah itu menjadi daerah sima
Adapun Telang adalah nama tempat yang pertamakali disebut pada prasasti itu, selain Mahe, dan Paparahuan. Prasasti yang dikeluarkan pada abad X M itu mencatat tentang pembuatan tempat penyeberangan di ketiga desa itu yang terletak di tepi Bengawan Solo oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Adapun prasasti Kamalagyan mencatat adanya usaha dari Airlangga untuk menyejahterakan rakyatnya dengan jalan membuat bendungan pada sungai di wilayah Kamalagyan, agar tidak menyebabkan banjir di daerah sekitarnya (Poesponegoro, dan Notosusasto, 1993).
Struktur Prasasti
Prasasti-prasasti yang dikenal di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk struktur. Berdasarkan jumlah kata dan kalimatnya dapat dibedakan menjadi prasasti pendek, sedang, dan panjang, bahkan ada prasasti yang hanya memuat satu kata atau angka tahun saja. Panjang pendeknya jumlah kalimat itu mempengaruhi bentuk struktur prasasti yang bersangkutan. Prasasti pendek pada umumnya terdiri dari dua sampai empat atau kurang dari sepuluh kata. Prasasti ini biasanya menyebut nama tokoh, tanda peringatan atau angka tahun dengan menggunakan candra sengkala.
Misalnya prasasti pendek yang terdapat di kompleks Candi Plaosan Lor yang hanya berbunyi: “ Dharmma Śrî Mahārāja. ” Pada kasus ini prasasti itu menunjukkan adanya dharmma atau kebaikan yang dilakukan oleh Śrî Mahārāja. Prasasti sedang dan panjang pada umumnya berstruktur sama hanya perbedaannya terletak pada tujuan penulisan prasasti yang mempengaruhi panjangnya kalimat, adapun isinya biasanya tentang penetapan sebidang tanah menjadi berstatus sima . Ada juga beberapa prasasti yang berisi peringatan pembuatan bendungan, berisi putusan peradilan, atau berisi peringatan khusus lainnya.
Struktur prasasti yang terdapat pada prasasti panjang dan prasasti sedang, biasanya terdiri dari:
Manggala adalah kalimat pembuka yang dituliskan oleh penulis prasasti pada setiap bagian awal prasasti. Ucapan pembuka ini dimaksudkan sebagai kata-kata permohonan keselamatan dan kebahagiaan serta sebagai ucapan pujian kepada para dewata. Manggala yang dimaksud sebagai kata-kata permohonan keselamatan dan kebahagiaan biasanya dimulai dengan kata swasti (‘selamat berbahagia’) atau kata awighnam astu (‘semoga tidak ada halangan’). Adapun manggala yang dipergunakan sebagai ucapan pujian kepada para dewata sering ditandai dengan adanya kata om namaśśiwaya (‘sembah pujian kepada Śiwa’) atau namostu sarwwabudhaya (‘sembah kepada segenap Buddha’).
Penanggalan yang terdapat pada prasasti Jawa Kuna sangat lengkap, terdiri dari unsur angka tahun, bulan, tanggal, hari, minggu, grahacãra, nakşatra, dewatã, maņdala, yoga, muhûrtta, parwweśa, karaņa, dan raśi. Penulisan angka tahun dalam prasasti ditandai dengan adanya kata śakawarşãtîta diikuti dengan angka tahun. Śakawarşãtîta dibentuk dari kata śaka, warşa (tahun), dan ãtîta (yang telah lewat), sehingga kalimat itu berarti ‘tahun Śaka yang telah lewat’. Dalam penanggalan Jawa Kuna terdapat 12 bulan dalam satu tahunnya, masing-masing bernama Caitra (Maret-April), Waiśakha (April-Mei), Jyeşţa (Mei-Juni), Asada (Juni-Juli), Śrawana (Juli-Agustus), Bhadrawada (Agustus-September), Asuji (September- Oktober), Karttika (Oktober-November), Mãrggaśira (November-Desember), Posya (Desember-Januari) Magha (Januari-Pebruari), dan Phalguna (Pebruari-Maret). Penulisan bulan pada prasasti biasanya diikuti oleh kata mãsa (bulan), misalnya Caitramãsa (Damais, 1951:11).
Penunjukan tanggal ( tithi ) dalam prasasti Jawa Kuna terdiri atas dua bagian. Bagian pertama menunjukkan angka tanggal kemudian diikuti bagian kedua yang menunjukkan keadaan bulan yaitu śuklapaksa (paruh terang), atau kŗşņapaksa (paruh gelap). Paruh terang adalah tanggal permulaan munculnya bulan hingga purnama, sedangkan paruh gelap adalah setelah purnama hingga habisnya bulan. Dengan demikian, keduanya bergantian setiap setengah bulan sekali, oleh karena itu, angka tanggal Jawa Kuna hanya mulai dari angka 1 sampai 15 yang masing-masing disebut sebagai pratipãda (1) , dwitîyã (2) , tretîyã (3) , caturthî (4) , pañcam î (5), şaşţî (6) ,saptamî (7), aşţamî (8), nawamî (9) , daśamî (10) , ekãdasî (11) , dwãdasî (12), trayodasî (13) , caturdasî (14),dan pañcadasî (15) (Damais, 1951:13; Casparis , 1978:50).
Penyebutan hari pada masyarakat Jawa Kuna dikenal ada tiga macam penamaan hari, masing- masing berdasarkan atas lama siklus yang berbeda, yaitu 5 hari ( pañcawãra ), 6 hari ( sadwãra ), dan 7 hari ( saptawãra ). Siklus 5 hari terdiri atas Pahing (disingkat Pa), Pon (Po), Wagai (Wa), Kaliwuan (Ka), dan Umanis (U). Siklus 6 hari terdiri atas Tunglai (disingkat Tu/Tung), Haryang (Ha), Wurukung (Wu), Paniruan (Pa), Was (Wa), dan Mawulu (Ma). Sedangkan siklus 7 hari adalah Ãditya (disingkat à = Minggu), Soma (So = Senin), Anggãrã (Ang = Selasa), Buddha (Bu = Rabu), Bhrehaspati/Wrehaspati (Bre/Wre = Kamis), Śukra (Śu = Jum’at), dan Śanaiscara (Śa = Sabtu). Urutan penulisan ketiga wãra dalam prasasti adalah sadwãra, pañcawãra, dan saptawãra serta diikuti dengan kata wãra (Casparis , 1978:3).Sedangkan satu minggu disebut satu wuku , yang terdiri dari 7 hari ( saptawãra ). Pada masyarakat Jawa Kuna dikenal 30 wuku yang masing-masing mempunyai nama tersendiri. Jadi, setahun terdiri dari 210 hari (Damais, 1951:16-17; Casparis , 1978:57).
Grahacãra menunjukkan letak kedudukan planet-planet. Zoetmulder (1982:541) masih meragukan apakah letak kedudukan itu dikaitkan dengan posisi zodiak. Letak kedudukan grahacãra ditunjukkan dengan menyebut arah mata angin, yaitu purwwa (timur), dakşina (selatan), paśśima (barat), uttara (utara), aiśanya (timur laut), agneya (tenggara), nairiti (barat daya), dan bayabya (barat laut).
Nakşatra artinya bintang atau gugusan bintang. Dengan demikian penyebutan nakşatra dalam prasasti adalah bintang atau gugus bintang yang terlihat pada saat tertentu. Di dalam astronomi Jawa Kuna terdapat 27 nama nakşatra , dan seluruhnya bersiklus 322 hari. Nama beserta konstelasinya dari setiap nakşatra dapat dibaca dalam naskah Agastyaparwa (Gonda, 1933: 329-419). Sedangkan dewatã adalah perhitungan penanggalan yang menggunakan nama-nama dewa yang dipercayai menguasai dan mengawasi dalam kurun waktu tertentu.
Maņdala adalah istilah astronomi yang dipergunakan untuk menyebut bagian-bagian tertentu dari langit ketika konstelasi nakşatra berada pada waktu matahari terbit. Maņdala menggunakan nama-nama dewa pengawas dari setiap bagian langit tersebut. Misalnya mahendra - maņdala untuk bagian timur, agneya - maņdala untuk bagian tenggara, dan sebagainya (Casparis, 1978:23). Yoga menunjuk pada “waktu selama matahari dan bulan bergerak untuk bertemu pada titik 13 20’.” Jumlah yoga ada 27, yan keseluruhannya bersiklus 25,420 hari. Nama-namanya antara lain Siddhi, Sobhama, Subha, Siwa, Wyapati, Indra, Dhŗti, Waskambha, Ayusman, Parigha, Atiganda, Priti, Harsana, Brahma, Bajra, dan Sukla (Mardiwarsito, 1981:716).
Muhûrtta adalah suatu kesatuan waktu, satu muhûrtta lamanya 48 menit. Satu hari (24 jam) terdiri atas 30 muhûrtta , masing-masing muhûrtta mempunyai nama tersendiri (Casparis, 1978:54). Parwweśa merupakan penyebutan untuk menandai pengawas suatu konstelasi bintang. Nama parwweśa dalam prasasti antara lain Brahma - parwweśa , Saśi-parwweśa, dan Baruna - parwweśa (Zoetmulder, 2000:1309). Karaņa untuk menyebut suatu periode waktu yang lamanya 0,492 hari atau kira-kira setengah hari. Masyarakat Jawa Kuna mengenal 7 karaņa , yaitu Visti, Bava, Valava, Kaulava, Taitala, Gara , dan Vanija (Casparis, 1978:23 dan 51). Raśi atau zodiak yang dikenal masyarakat Jawa Kuna berjumlah 12, yaitu Mîna (Pisces), Meşa (Aries), Vŗşabha (Taurus), Mithuna (Gemini), Karka (Cancer), Simha (Leo), Kanyã (Virgo), Tulã (Libra), Vŗścika (Scorpio), Dhanu (Sagitarius), Makara (Capricornus), dan Kumbha (Aquarius) (Casparis, 1978:54; Zoetmulder, 2000:1517).
- 3. Kejadian yang diperingati
Kejadian yang diperingati pada prasasti bermacam-macam. Seperti yang telah dikemukakan di atas, yupa di Kutai memperingati kedermawanan Mulawarman dalam memberikan sedekah pada upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh para brahmana. Sedangkan sebagian besar prasasti dari Kerajaan Mataram Hindu, memperingati ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus sima . Meskipun demikian, ada juga prasasti-prasasti yang memperingati tentang ketetapan hukum. Bahkan dari prasasti-prasasti itu, dapat diketahui proses peradilan hukum dari warga yang mempunyai masalah hingga pejabat-pejabat yang berwenang untuk memutuskan perkara itu.
Khusus untuk prasasti yang berisi tentang sima, terdapat istilah sambandha yaitu alasan ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus sima *Alasan-alasan itu dapat terjadi karena:
- merupakan balas jasa dari seorang penguasa kepada seseorang atau beberapa orang pejabat, atau bahkan kepada penduduk suatu daerah yang telah berjasa kepada raja atau kerajaan;
-
karena daerah itu diperintahkan untuk memelihara bangunan suci atau yayasan keagamaan;
-
karena permohonan rakyat; atau
-
karena karena perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang sehingga dapat dijadikan teladan bagi orang lain.
Setelah diketahui alasan penetapan sima , maka dapat diketahui pula penerimanya sesuai dengan alasan penetapannya, yaitu
(1) seorang pejabat atau beberapa orang pejabat;
(2) penduduk desa;
(3) bangunan suci atau yayasan keagamaan (Schrieke, 1975:10-14; Maziyah, 1992:3).
- 5. Keterangan luas tanah dan batas-batas wilayah
Pada prasasti-prasasti tentang sima , keterangan luas tanah dan batas-batas wilayah sangat penting artinya. Karena kedua hal tersebut menentukan luas daerah yang dikelola serta jumlah pemasukan daerah setempat. Oleh karena itu, diperlukan batas-batas yang jelas terhadap wilayah yang menjadi hak penerima sima. Daerah yang ditetapkan menjadi sima dapat berupa sawah, kebun, desa atau beberapa desa, atau bahkan sebuah hutan karena adanya alasan tertentu.
- 6. Daftar nama pejabat penerima pasak-pasak (persembahan)
Wka kilalan menunjuk pada suatu kelompok masyarakat Jawa Kuna yang wajib membayar pajak, termasuk di dalamnya adalah warga asing yang menetap di Jawa.
Pada upacara penetapan suatu daerah menjadi berstatus sima , selalu dibagikan persembahan kepada para penguasa kerajaan, dimulai dari raja kemudian pejabat-pejabat dibawahnya hingga pejabat desa yang bersangkutan serta pejabat desa tetangga yang mengikuti upacara itu. Persembahan yang diberikan itu bervariasi dalam jenis maupun jumlahnya. Misalnya logam mulia berupa emas, perak, perunggu, dan besi dalam berbagai bentuk cincin atau gelang, berbagai jenis kain ( ganjar patra , raʼnga , aʼnsit , dan lain-lain), binatang ternak (kerbau, kambing, atau celeng), serta sejumlah uang.
Pejabat tertinggi mendapat jenis yang paling baik serta jumlah yang paling banyak, sedangkan tingkat jabatan dibawahnya menyesuaikan sesuai dengan tingkat jabatan masing-masing. Dengan demikian, melalui urutan penyebutan pejabat yang menerima persembahan ini berikut besar-kecilnya persembahan yang diterima dapat diketahui kedudukan para pejabat dalam suatu hierarki pemerintahan pada kerajaan itu. Biaya yang ditimbulkan pada upacara itu ternyata banyak sekali. Meskipun demikian, tidak semua tempat memberikan jumlah dan jenis yang sama. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan ekonomi masing-masing daerah tidak sama. Sedangkan dari jumlah undangan yang menerima hadiah dapat diketahui luas wilayah daerah sima tersebut (Brandes, 1913; Boechari dan Wibowo, 1986; Wurjantoro, 2011;2012).
Saji-sajian pada upacara penetapan sima sangat beragam, dari berbagai jenis bunga, daun, makanan, dan sebagainya. Dari penyebutan saji-sajian ini dapat diketahui berbagai jenis tumbuhan dan jenis makanan serta minuman yang digunakan sebagai pelengkap upacara. Ada dua jenis saji-sajian, yaitu saji-sajian untuk perlengkapan upacara tersebut ( sesajen ) dan saji-sajian atau hidangan untuk dinikmati oleh semua peserta upacara. Misalnya seperti yang terdapat pada prasasti Lintakan 919 M sesajen nya berupa 5 ekor ayam hitam, telur, tepung berwarna putih dan kuning, bunga-bungaan, dupa, lampu, dan jenu (semacam boreh untuk mendapatkan kekuatan magis) (Wurjantoro, 2012:225).
Adapun hidangan untuk para peserta upacara penetapan sima itu antara lain disebutkan oleh prasasti Rukam 907 M II.7-10 (Nastiti, dkk., 1982:25) berupa nasi tumpeng, makanan yang ditim bertumpuk-tumpuk, makanan yang dibakar di atas arang, dendeng kakap, ikan kaḍiwas , ikan duri, dendengtawar, ikan kawan , kerang, keong, hala-hala (semacam lauk), udang, ikan gabus, ikan deleg goreng, telur, dan kepiting. Adapun sayurnya terbuat dari daging kerbau, daging sapi, dan daging babi. Ada pula lalapan mentah, kasya-kasyan , makanan yang disangrai, sayur, daging babi cincang, urap, dhudhutan (sebangsa nama masakan), dan petis. Minumannya meliputi tuak, siddhu (minuman keras yang dibuat dari tebu), dan cinca (air gula).
- 8. Upacara penetapan sima
Rangkaian upacara penetapan sima dilakukan oleh seluruh undangan yang terdiri dari para pejabat kerajaan, kepala desa–kepala desa tetangga, pejabat daerah setempat beserta seluruh rakyat di daerah itu. Selain pesta makan bersama, pada saat itu seringkali juga diselenggarakan acara kesenian seperti pertunjukan wayang ( awayang ), tari-tarian ( kicaka ), tembang ( namwang ), dan tak lupa tampil pula badut- badut maupun pelawak ( abañol ) untuk menghibur para peserta upacara.
- 9. Pengucapan sumpah atau sapatha
Puncak upacara penetapan sima adalah pengucapan sumpah atau sapatha yang dilakukan oleh seorang makudur.7 Inti pengucapan sumpah itu ditujukan kepada para pelanggar atau pengganggu sima. Mereka yang mengganggu atau melanggar ketentuan di daerah itu akan dikenai sanksi oleh para dewata melalui permohonan makudur pada waktu itu. Oleh karena itu, pada bagian akhir dari sumpah selalu dikatakan bahwa ketetapan sima di daerah itu berlaku untuk selama-lamanya ( dlaha ning dlaha ). Pengucapan sumpah yang didahului oleh pemanggilan dewa-dewa oleh sang makudur agar bersedia menyaksikan upacara itu, disertai dengan menghantamkan ayam maupun telur pada sang hyang watu sima hingga ayam dan telur itu hancur, untuk menunjukkan demikianlah balasan dewa-dewa jika seseorang mengganggu kedamaian penduduk dan wilayah sima itu seperti hancurnya ayam dan telur yang dihantamkan pada sang hyang watu sima (Nastiti, dkk., 1982:39).
Arti sebenarnya citralekha adalah penulis, yaitu penulis keputusan atau perintah raja. Keputusan itu biasanya dituliskan di atas ripta (lontar) terlebih dahulu, kemudian barulah digoreskan di atas batu atau pada lempengan logam. Dari berbagai temuan prasasti dapat diketahui bahwa tulisan dari para citralekha itu umumnya bagus-bagus. Nama penulis prasasti atau citralekha sering kali terdapat pada bagian akhir sebuah prasasti (Wurjantoro, 2011).