Apa Yang Dimaksud Dengan Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige daad) Dalam Hukum Perdata?

Ilustrasi-Hakim

Sebelum Tahun 1919, Perbuatan Melawan Hukum diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal.

Sedangkan pada Pasal 1365 BW , perbuatan melawan hukun diartikan sebagai tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Jika dilihat dari pasal 1365 KUH Perdata, pengertian perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai berikut:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut“

Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:[1]

  1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
  2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada hubunga hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan.
  3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Kewajiban mana ditujukan pada setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibnnya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
  4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
  5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
  6. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
  7. Perbuatan melawan hukum bukan dari suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika.

Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan di dominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum disamping tentunya gugatan wanprestasi kontrak.[2]

Istilah “perbuatan melawan hukum“ dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad atau dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri hanya berarti “salah“ (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum dalam sistem hukum Belanda atau di negara–negara Eropa Kontinental lainnya. Kata tort berasal dari bahasa latin, yaitu “torquere“atau “tortus“ dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong“ berasal dari kata Perancis “wrung“, yang berarti kesalahan atau kerugian(injury). Sehingga pada prinsipnya tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa Latin, yaitu: Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere. Suum cuique tribuere (Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).[3]

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut[4]:

  • Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
  • Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian
  • Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Secara klasik yang dimaksud dengan perbuatan dalam istilah “perbuatan melawan hukum“ adalah:[5]

  • Nonfeasance . Yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum
  • Misfeasance. Yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya
  • Malfeasance . Yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal ia tidak mempunyai hak untuk melakukannya. (William C. Robinson, 1882:127)

Sejarah Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam perkembangan hukum, perbuatan melawan hukum mengalami perkembangan makna. Dahulu sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum hanya diartikan secara sempit, yakni perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Hukum dipandang hanya sebagai hukum tertulis saja. Namun setelah tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda. perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan. yang melanggar undang-undang tertulis saja, namun juga mencakup pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum meneliti ruang lingkup cakupan konsep perbuatan melawan hukum, maka ada baiknya kita melihat perkembangan konsep pengertian perbuatan melawan hukum itu sendiri.

Perkembangan sejarah hukum tentang perbuatan, melawan hukum di negara Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan di Indonesia, karena berdasarkan asas konkordasi, kaidah hukum yang berlaku di Belanda juga diberlakukan di negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Di negeri Belanda perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum dapat dibagi dalam 3 (tiga) periode, sebagai berikut:[6]

Periode sebelum tahun 1838

Sampai dengan kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda pada tahun 1838, maka ketentuan seperti pasal 1365 KUH Perdata di Indoensia saat ini tentu belum ada di Belanda. Karenanya kala itu tentang perbuatan melawan hukum ini, pelaksanaannya masih belum jelas dan terarah.

Periode antara tahun 1838-1919

Setelah BW Belanda dikodifikasi, maka mulailah berlaku ketentuan dalam pasal 1401 (yang sama dengan pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Meskipun saat itu telah ditafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum baik berbuat sesuatu (perbuatan aktif) maupun yang tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain, baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919 tidak dimasukkan ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya yang bertentangan dengan kesusilaan atau yang bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.

Periode setelah tahun 1919.

Dalam tahun 1919, terjadi suatu perkembangan yang luar biasa dalam bidang hukum tentang perbuatan melawan hukum, khususnya di negeri Belanda, sehingga demikian juga di Indonesia. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku, kepada perkembangan yang luas dan luwes. Perkembangan tersebut dengan diterimanya penafsiran yang luas terhadap perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda, yakni penafsiran terhadap pasal 1401 BW Belanda yang sasma dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUH Perdata Indonesia.

Putusan Hoge Raad tersebut adalah tehadap kasus Lindenbaum versus Cohen, yang dimenangkan oleh Lindenbaum. Putusan ini merupakan tonggak sejarah tentang perkembangan yang revolusioner tentang perbuatan melawan hukum tersebut. Dalam putusan tersebut Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang-undang tertulis seperti yang ditafsirkan saat itu, melainkan juga termasuk ke dalam pengertian perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan:

  • Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku, atau hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak- hak pribadi, hak-hak kekayaan, hak atas kebebasan, hal atas kehormatan dan nama baik
  • Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau Kewajiban hukum yang dimaksud ini adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
  • Perbuatan yang melanggar kesusilaan (goedezeden), atau
  • Manakala perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut menerbitkan kerugian bagi orang lain, maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum.
  • Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (inruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed).

Jadi jika seseorang melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain, namun tidak dengan melanggar pasal-pasal dalam undang-undang (hukum tertulis), maka orang tersebut masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati- hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, dengan terbitnya putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut, maka perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaksudkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan yang berlaku, namun juga termasuk perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.

Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur perbuatan melawan hukum jika dilihat dari pasal 1365 KUH Perdata terdiri dari:[7]

  • Ada suatu perbuatan
    Suatu perbuatan ini dapat berupa perbuatan aktif maupun pasif.

  • Perbuatan tersebut melawan hukum
    Perbuatan aktif maupun pasif tersebut dipandang melanggar hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas- luasnya, yakni selain melawan undang-undang yang berlaku, juga melanggar kewaijban hukumnya, smelanggar hak orang lain yang djamin oleh hukum, perbuatan yang betentangan dengan kesusilaan dan perbuatan yang bertentangan dengan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

  • Adanya kesalahan dari pihak pelaku
    Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur kesengajaan, kelalaian, tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. Konsep kesalahan dalam perbuatan melawan hukum ini juga telah bergeser.[8]

Istilah kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan (onachtzaamheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Kesalahan mencakup dua pengertian yakni kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas bila terdapat kealpaan dan kesengajaan; sementara kesalahan dalam arti sempit hanya berupa kesengajaan.[9]

  • Ada kerugian yang ditimbulkan
    timbul kerugian yang diderita oleh orang lain. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga dinilai dengan uang.

  • Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
    Masalah hubungan sebab akibat menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat di terima oleh hukum. Dengan perkataan lain, kapankah dapat di katakan bahwa suatu kerugian adalah “ fakta “ (the fact) atau “kemungkinan“ (proximate) dan kapan pula dianggap “terlalu jauh“ (too remote). [10]

Dalam hal ini ada 2 (dua) macam teori, yaitu Teori yang dikenal dalam hubungan sebab akibat ini pertama-tama adalah teori conditio sine qua non dari Von Bury. Teori ini melihat bahwa tiap-tiap masalah yang merupakan syarat timbulnya suatu akibat adalah yang menjadi sebab dari akibat. Teori selanjutnya adalah teori adequat (adequat veroorzaking) dari Von Kries. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Adapun dasarnya untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah perhitungan yang layak. Kekuatan teori ini adalah, bahwa teori ini dapat dipandang dari dua sisi, baik secara kenyataan maupun secara normatif. Khususnya setelah perang dunia, peradilan berkembang menurut cara terakhir di aman pengertian“menurut apa yang layak“ sangat bermanfaat.yang berlaku disini adalah semau dapat diduga apabila ini sesuai dengan kebijaksanaan hakim. Dalam teori Scholten juga digunakan kriterium “kemungkinan yang terbesar“ yang kemudian dilanjutkan Van Schellen.[11]

Pada tahun 1960an timbul kekurangpuasan terhadap kriteria teori adequate yang dikemukakan oleh Koster dalam pidato pengukuhannya pada tahun 1962 yang berjudul “Kausaliteit Dan Apa Yang Dapat Diduga“. Ia menyarankan untuk menghapus teori adequate dan memasukkan sistem ’dapat dipertanggungjawabkan secara layak’ (Toerekening naar redelijkheid/TNR) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian terdapat perkembangnan teori dari Conditio Sine qua non, kemudian teori Adequate, dan yang terakhir ajaran Toerekening naar redelijkheid/TNR (dapat dipertanggungjawabkan secara layak/patut. [12]

Unsur Kesalahan Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Van Bemmelen dan Van Hattum mengemukakan adagium “tiada hukum tanpa kesalahan“ (geen straf zonder schuld) dan Rutten telah berusaha menerapkan adagium tersebut dalam bidang perdata dengan mengemukakan tiada pertanggungan gugat atas akibat-akibat dari perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Meyers, perbuatan melawan hukum mengharuskan adanya kesalahan (een onrechmatige daad verlangt schuld) .[13]

Pasal 1365 KUH Perdata mengandung prinsip “Liability based on fault“ dengan beban pembuktian pada penderita. Hal ini sejalan dengan pasal 1865 KUH Perdata yang menentukan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membatah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Hal ini berarti seseorang tidak bisa dihukum jika ia tidak terbukti bersalah, dan juga sebaliknya bahwa seseorang hanyalah terbebaskan dari pertanggungan gugat bila ia terbukti tidak bersalah.

Namun dengan berkembangnya industri yang semakin menghasilkan resiko yang bertambah besar, dan makin rumitnya hubungan sebab akibat maka untuk kasus-kasus tertentu, seperti kasus yang terkait masalah lingkungan, mulai diterapkan konsep resiko yang tidak memerlukan persyaratan adanya kesalahan pelaku. Yang disebut disebut tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep ini diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungan dengan kewajiban kerusakan yang ditimbulkan. namun konsep ini hanya diterapkan pada kasus- kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini dipertegas lagi dengan pasal 35 dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kasus tertentu lain yang menerapkan konsep tanggung jawab mutlak ini yakni kasus mengenai tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang lain, misalnya orang tua/ wali terhadap anak- anaknya yang belum dewasa, majikan-majikan terhadap bawahan-bawahan mereka, serta guru dan kepala tukang bertanggung jawab terhadap murid-murid dan tukang-tukang mereka.[14]

Sementara untuk kasus perdata pada umumnya, untuk dapat di pertanggung gugatkan, tetap mensyaratkan adanya konsep kesalahan.
Dengan menentukan syarat kesalahan dalam pasal 1365 KUH Perdata, pembentuk undang-undang menyatakan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkannya, apabila perbuatan dan kerugian tersebut dapat diperhitungkan padanya.[15]

Tentang kesalahan ini terdapat dua teori, yaitu objektif dan subjektif.[16] Teori subjektif menyatakan bahwa untuk menentukan kesalahan mengenai seorang pelaku pada umunya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat dipersalahkan padanya, apakah keadaan jiwanya adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dari arti perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan teori objektif menyatakan bahwa untuk menentukan kesalahan hanya harus diteliti apa yang diharapkan dari manusia normal dalam keadaan seperti si pelaku perbuatan melawan hukum.
Konsep kesalahan dalam arti kongkrit atau dalam arti objektif, apabila si pelaku seharusnya melakukan perbuatan secara lain daripada yang telah dilakukannya. Si pelaku telah berbuat secara lain daripada yang seharusnya dilakukannya dan dalam hal sedemikian itu kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu.[17]
Sedang kesalahan dalam arti subjektif, konsep kesalahan dengan perbuatan melawan hukum merupakan dua hal yang terpisah, karena hal ini seorang pelaku pada umumnya akan diteliti apakah perbuatan yang tersebut dapat dipertanggungjawabkan padanya.

Mengenai konsep kesalahan yang dianut oleh KUH Perdata, Menurut Vollmar, pembuat undang-undang menerapkan istilah schuld (kesalahan) dalam beberapa arti, yakni sebagai pertanggungan jawab si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut, kealpaan sebagai lawan kesengajaan, serta sebagai sifat melawan hukum.[18]

Dalam pasal 1365 KUH Perdata telah membedakan secara tegas pengertian kesalahan (schuld) dari pengertian perbuatan melawan hukum. Perbuatannya adalah perbuatan melawan hukum, sedangkan kesalahannya hanya pada pelakunya. Dengan demikian timbul pendapat manakah yang harus lebih ditekankan pada dua hal tersebut, sifat melawan hukumnya atau kesalahan.
Dalam hal ini, Meyers berpendapat bahwa pengertian kesalahan dalam kebanyakan sistem hukum merupakan unsur yang berdiri sendiri, yang diharuskan adanya disamping perbuatan yang nampak keluar, jika dikehendaki suatu akibat hukum dari pembayaran ganti rugi atau denda.[19]

Sejalan dengan Meyers, Wirjono Prodjodikoro juga menganut teori subjektif, ia berpendapat bahwa untuk menentukan unsur kesalahan sangat erat hubungannya dengan kondisi kejiwaan dan kerohanian (psychisch verband) dari pelaku perbuatan melawan hukum. Ukuran sederhana dari hubungan kejiwaan ini digambarkan apabila pelaku pada saat melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul bahwa perbuatan akan berakibat pelanggaran kepentingan tertentu, maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Untuk dapat dikatakan tahu betul, mengandung pengertian bahwa pelaku tahu hal adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan– keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi.[20]

Konsep kesalahan (schuld) dalam garis besarnya terbagi dalam dua pengertian, pertama kesalahan dalam arti sempit, yaitu kesengajaan. Kedua, kesalahan dalam arti luas, yaitu meliputi kesalahan dalam arti sempit dan kealpaan (anachtzaamheid). Unsur kesengajaan dalam perbuatan melawan hukum dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan secara sengaja tersebut telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/ atau mental atau harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.[21]

Dalam hukum perdata, menurut[22] Moegni, suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesengajaan atau karena kealpaan, mempunyai akibat hukum yang sama, yakni bahwa si pelaku tetap bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh orang lain, yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku.

Hal-Hal Yang Menghilangkan Sifat Melawan Hukum

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa semenjak munculnya putusan Hoge Raad pada tahun 1919 terkait kasus Lidenbaum versus Cohen, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi luas. Perbuatan melawan hukum tidak hanya berarti melanggar undang-undang/hukum tertulis saja, namun juga melanggar peraturan kesusilaan, keagamaan atau sopan santun, oleh karenanya orang semakin mudah untuk menggugat pihak lain yang dianggap telah menimbulkan kerugian dengan gugatan perbuatan melawan hukum. namun tidak semua perbuatan orang yang dianggap merugikan dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum dan dituntut ganti rugi karenanya.

Ada beberapa hal, alasan pembelaan dan pembenaran yang dapat menghilangkan sifat perbuatan melawan hukum, sehingga perbuatan yang semestinya termasuk dalam perbuatan melawan hukum, menjadi sebuah perbuatan yang benar karena keadaan yang meniadakan, menghapus sifat perbuatan melawan hukumnya. Pada dasarnya pembelaan atau hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum dapat dikelompokkan menjadi hal –hal sebagai berikut:[23]

  • Ada hak pribadi sebagai dasar
    Seseorang dapat mengelak dari suatu tuduhan perbuatan melawan hukum dengan mengajukan alasan bahwa pribadi dia juga secara hukum juga berhak melakukan perbuatan hukum tersebut. Sehingga karenanya perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.

  • Pembelaan diri (Noodweer)
    Sama dengan yang berlaku dalam suatu tindak pidana, bahwa seseorang dibebaskan dari tuduhan perbuatan melawan hukum jika ia bisa membuktikan bahwa dia melakukan perbuatan tersebut untuk membela diri. Dalam melakukan pembelaan tersebut, agar seseorang terbebas dari perbuatan melawan hukum, berlaku asas proporsionalisme. Maksudnya adalah bahwa dalam melakukan pembelaan dirinya, tindakan yanng dilakukan haruslah proporsional dengan perbuatan yang dilakukan oleh pihak lawan dan proporsional puladengan situasi dan kondisi saat itu.

    Disamping itu seseorang dibenarkan melakukan tindakan pembelaan diri, namun tidak dibenarkan untuk menghakimi sendiri (eigen richting). Tindakan membela diri yang tidak proporsional (melebihi dari yang seharusnya) dapat digolongkan ke dalam salah satu contoh tindakan menghakimi sendiri yang dilarang itu.

  • Keadaan memaksa (Overmacht)
    Keadaan memaksa ini dapat bersifat mutlak (absoluut) atau tak mutlak (relatief). Keadaan memaksa yang bersifat mutlak adalah suatu keadaan dimana seseorang tak punya pilihan lain selain melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut karena paksaan yang tidak dapat dihindarkan olehnya, sedangkan keadaan memaksa tidak mutlak, adalah suatu keadaan dimana seseorang sebenarnya masih bisa untuk menghindar dari melakukan perbuatan melawan hukum tersebut namun dibutuhkan suatu pengorbanan yang besar, yang mana mungkin dapat mengancam jiwanya.

  • Perintah kepegawaian/jabatan
    Pada dasarnya KUH Perdata tidak pernah menyebutkan bahwa perintah kepegawaian/ jabatan dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. Menurut prof. Wirjono Prodjodikoro, keberlakuan pembelaan terhadap perbuatan melawan hukum dapat dilihat kepada kepatutan sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Disamping itu harus juga dianalisis berdasarkan teori tanggung jawab pengganti (vicarious liability), karena ada kemungkinan justru atasannya yang harus bertanggung jawab, meskipun perbuatan tersebut dilakukan oleh bawahannya. Namun bawahannya tersebut harus secara jujur mengetahui bahwa atasannya benar-benar mempunyai wewenang untuk memberikan perintah tersebut, sehingga pelaksanaan perintah tersebut dapat masuk ke dalam lingkungan tugas pada umumnya.

  • Karena melaksanakan undang-undang
    Polisi yang menahan seseorang dan merampas kemerdekaannya; hakim yang menghukum terdakwa; panitera yang melakukan sitaan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Namun demikian suatu perbuatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang adalah melawan hukum apabila wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal detornement de pouvoir. [24]

Referensi :
[1] Dr. Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cet. 2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3
[2] Ibid. hal. 1.
[3] Ibid. hal. 2.
[4] Ibid. hal. 3.
[5] Ibid, hal. 5
[6] Ibid, hal. 30
[7] Ibid, hal.10.
[8] Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet.1. (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 64.
[9] Ibid.
[10] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Op., Cit., hal. 111
[11] Rosa Agustina, Op., Cit., hal. 141
[12] Ibid ., hal. 142
[13] M. A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cet. Ke-2, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal. 66.
[14] Rosa Agustina, Op., Cit., hal. 69.
[15] Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan melawan Hukum, (Bandung:Alumni, 1982) hal. 18.
[16] Ibid., hal. 19.
[17] Rosa Agustina, Op., Cit., hal. 65.
[18] M. A. Moegni Djojodirdjo, Op., Cit., hal. 66.
[19] Ibid., hal 69.
[20] Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Cet 9, (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal. 22.
[21] Rosa Agustina, Op., Cit., hal. 66.
[22] M. A. Moegni Djojodirdjo, Op., Cit., hal. 69
[23] Wirjono Prodjodikoro, Op., Cit., hal. 45-59, lihat juga Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Op.,Cit., hal. 63.
[24] Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan melawan Hukum. (Bandung: Alumni, 1982) hal. 17