Apa Yang Dimaksud Dengan Penuntutan?

Menurut KUHAP dalam Pasal 1 angka 7, pengertian penuntutan adalah sebagai
berikut:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”

Lalu adakah penjelasan lebih lanjut terkait dengan proses penuntutuan ?

Pengertian Penuntutan menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP ialah:

Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputusakan oleh hakim disidang pengadilan.

Pengertian penuntutan menurut seminar UNAFEI ke 59 di Tokyo, Jepang tahun 1982 adalah seni, keterampilan yang tidak hanya memerlukan kecakapan, tetapi juga penguasaan teknis dan ilmu yang harus dibentuk dan diperhalus dalam tungku pengalaman. Pasal 13 KUHAP menyatakan yang berwenang melakukan penuntutan ialah penuntut umum ialah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim .90 Sedangkan yang dimaksud jaksa menurut Pasal 1 butir 6 KUHAP ialah :

Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian diatas, penuntut umum ialah jaksa yang bukan hanya diberi wewenang undang-undang untuk melakukan penuntutan melainkan melaksakan putusan hakim.

Ketentuan Pasal 13 jo. Pasal 14 huruf g jo. Pasal 137 KUHAP menyatakan Penuntut umum ialah Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili. Selain ketentuan diatas, Undang-Undang Kejaksaan juga menegaskan Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan. Berdasarkan ketentuan diatas, wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli.

Djoko Parkoso menyatakan monopoli penuntutan ialah setiap orang baru dapat diadili jika ada tuntutan dari penuntut umum atau hanya penuntut umumlah yang berwenang mengajukan seseorang ke muka pengadilan.[1] Ini disebut dominus litis ditangan penuntut umum atau jaksa.94 Dominus berasal dari bahasa Latin yang artinya pemilik.

Korupsi menyatakan kejaksaan bukan satu-satunya instansi yang dapat melakukan penuntutan melainkan Komisi Pemberantasan korupsi juga dapat melakukan penuntutan. Berdasarkan wawancara Penulis dengan Jaksa Narendra Jatna pada tanggal 19 Desember 2008, menyatakan pegawai penuntut dalam Komisi

Fungsi dan Wewenang Lembaga Kejaksaan Sebagai Lembaga Penuntutan Berkaitan Dengan Tugas Menuntut Perkara Pidana Pada Saat Keberlakuan Het Herziene Inlands Reglement (HIR).

Pada saat Pemerintahan Kolonial Belanda

IR mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1948 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal Rochussen tanggal 3 Desember 1847 Staatblad No.57 dengan nama lengkap ialah Reglement op de uitoening van de politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madoera. [2] Terjemahan Bahasa Indonesianya ialah Peraturan tentang pelaksanaan tugas polisi, acara perdata dan tuntutan pidana bagi orang Indonesia dan orang-orang yang disamakan dengan mereka). Penerapan IR berdasarkan asas penyesuaian atau dalam Bahasa Belanda yaitu concordantie beginsel oleh Pemerintah Belanda. Menurut asas tersebut, penyesuaian hukum diberlakukan di Indonesia dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. [3] Ketentuan IR berlaku di daerah Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lainnya digunakan ketentuan lain yang tersendiri yang bernama Rechtsreglement Buitengewesten(S.1927-227) yang berlaku mulai tanggal 1 Juli 1927.[4]

Selain HIR, peraturan mengenai hukum acara pidana adalah Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie (RO) yaitu peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan. Pasal 62 RO menyatakan pekerjaan penuntut umum di Pengadilan Negeri dilakukan oleh para jaksa. Jaksa yang dimaksud disini tidak sama atau tidak sederajat dengan Ambtenaar Openbaar Ministrie, yaitu penuntut-penuntut umum pada pengadilan-pengadilan untuk bangsa Eropa. Ayat kedua ketentuan ini menyatakan peraturan-peraturan untuk Openbaar Ministrie berlaku bagi jaksa sesuai dengan instruksi-instruksi khusus dari Kepala-Kepala Karesidenan. Sehingga dalam prakteknya para jaksa :

  • Tidak berwenang untuk menuntut, yang menuntut ialah Assistent Resident sebagai kepala.

  • Tidak berwenang menuntut pidana pada terdakwa atau membuat rekuisitor tetapi hanya dapat mengajukan pertimbangannya dalam persidangan (Pasal 292 IR).

  • Tidak berwenang menjalankan putusan pengadilan melainkan yang berwenang ialah Assistent Resident sebagai kepala (Pasal 325 IR).

Pemberantasan Korupsi ialah penuntut umum yang berasal dari instansi kejaksaan yang diangkat menjadi penuntut umum.

Berdasarkan ketentuan diatas, jaksa hanya menjadi kaki tangan dari Assistent Resident dan tidak mempunyai wewenang seperti Ambtenaar Openbaar Ministrie. [5]

Peraturan yang terdapat dalam IR telah mengalami beberapa perubahan sebelum akhirnya menjadi HIR. Perubahan IR menjadi HIR yang terpenting ialah dibentuknya lembaga Openbaar Ministrie (OM) atau Penuntut Umum. Namun peran dan fungsi jaksa pada saat keberlakuan HIR tidak berubah. Jaksa tetap menjadi kaki tangan Assistent Resident yang mendapat gelar magistraat (penuntut umum). Sedangkan jaksa bergelar ajunct magistraat (pembantu penuntut umum).[6]

Pada saat Pemerintahan Militer Jepang.

Belanda dan sekutunya dikalahkan oleh pasukan Jepang pada saat perang Asia Timur Raya, sehingga Hindia Belanda berhasil dikuasai oleh Pemerintahan Militer Jepang. Hal tersebut membawa pengaruh kepada hukum yang berlaku di Hindia Belanda.[7] Jepang mengubah alat penuntut umumnya, magistraat dan officier van justitie ditiadakan dan kedudukan jaksa sebagai Assistent Resident dihapuskan. Semua pekerjaan Assistent Resident mengenai penuntutan perkara pidana diserahkan kepada jaksa dengan diberi pangkat sebagai Thio Kensatsu Kyokuco (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri).[8] Semenjak Pemerintahan Militer Jepang di Hindia Belanda, para jaksa menjadi penuntut umum sepenuhnya.[9]

Thio Kensatsu Kyokuco dalam bekerja berada di bawah pengawasan Kootoo Kensatsu Kyokuco (Kepala Kejaksaan Tinggi). Kemudian tugas jaksa bertambah selain menuntut perkara dengan berlakunya Osamu Seirei (Peraturan Pemerintah) No.49, yaitu mencari kejahatan dan menjalankan putusan hakim.[10]

Pada masa Keberlakuan Undang-Undang No.15 Tahun 1961 tentang Pokok- Pokok Kejaksaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaan eksistensinya tetap diperlukan pada masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sehingga peraturan-peraturan yang telah ada semenjak jaman Hindia Belanda maupun jaman pendudukan militer Jepang tetap dipakai, sepanjang belum ada ketentuan yang mengatur perihal tersebut. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 dan Pasal 24 ayat (1) serta Pasal 25 UUD 1945 yang dijadikan dasar hukum atas keberadaan kejaksaan.[11] Mengingat tugas kejaksaan yang demikian luas, maka menurut Menteri atau Jaksa Agung Mr.Gunawan perlu diciptakan undang-undang pokok kejaksaan yang mencakup tugas-tugas jaksa dalam hubungannya dengan batas-batas tugas hakim dan polisi. Atas dasar keperluan itulah, dibuat Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang disahkan pada tanggal 30 Juni 1961 yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. [12]

Fungsi dan kewenangan Kejaksaan yang berhubungan dengan tugas penuntutan diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a yang menyatakan mengadakan penuntutan pada perkara pidana pada pengadilan yang berwenang. Pasal 8 menyatakan Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Ketentuan tersebut berkaitan dengan wewenang penuntut untuk menuntut suatu perkara atau tidak. Dalam hal ini kewenangan tidak menuntut dengan alasan kepentingan umum hanya ada ditangan Jaksa Agung.

Keberlakuan KUHAP di tanah air, tidak mempengaruhi fungsi dan wewenang penuntut umum untuk melakukan tugasnya dibidang penuntutan. Kemudian setelah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 dicabut diberlakukanlah Undang-Undang No.5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang kemudian dicabut lagi keberlakuannya oleh Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Fungsi dan wewenang Kejaksaan melakukan tugas penuntutan tidak ada perbedaan dan tetap dijamin pelaksanaanya dalam kedua undang-undang yang disebutkan terakhir. Begitu juga kewenangan Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara tidak ada perubahan dan tetap dijamin Undang-Undang pelaksaannya.

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Sehingga Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.

Referensi :

[1] Djoko Prakoso (b), Op.Cit., hal 194.
[2] Andi Hamzah (a), Op.Cit., hal.49.
[3] H.Haris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana yang Terdapat Dalam HIR, (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman:1978) hal.2.
[4] Sabuan Ansoeri, Hukum Acara Pidana, (Angkasa:1990) hal.25.
[5] R. Soesilo (b), Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), (PT Karya Nusantara:1982) hal 65.
[6] Ibid ., hal.69.
[7] Hasril Hertanto, Kewenangan Lembaga Kejaksaan Menyidik Perkara Koneksitas, (Skripsi:2002) hal.26.
[8] R. Soesilo (b), Op.Cit., hal.67
[9] Marwan Effendy, Op.Cit., hal.66.
[10] Ibid.
[11] Hasril Hertanto, Op.Cit., hal.28.
[12] Ibid .