Apa yang dimaksud dengan penggunaan obat rasional?

Penggunaan Obat Rasional

Penggunaan Obat Rasional adalah “Pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individual, untuk jangka waktu yang tepat dan dalam biaya terapi yang terendah bagi pasien maupun komunitas mereka.” WHO

Apa yang dimaksud dengan penggunaan obat rasional ?

pengobatan rasional

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

1. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

Contoh I

Anamnesis Terapi Diagnosis
1. Diare
2. Disertai darah dan lendir
3. Serta gejala tenesmus Amoebiasis Metronidazol

Contoh II

Anamnesis Terapi Diagnosis
1. Diare
2. Diserta gejala tenesmus Bukan Amoebiasis Bukan Metronidazol

Pada contoh II, bila pemeriksa tidak jeli untuk menanyakan adanya darah dalam feses, maka bisa saja diagnosis yang dibuat menjadi kolera. Untuk yang terakhir ini obat yang diperlukan adalah tetrasiklin. Akibatnya penderita amoebiasis di atas terpaksa mendapat tetrasiklin yang sama sekali bukan antibiotik pilihan untuk amoebiasis.

2. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

3. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

Contoh:
Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.

4. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

5. Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

6. Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing- masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

8. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

9. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.

Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.

  • β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek bronkhospasme.

  • Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.

  • Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid, aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati, karena waktu paruh obat- obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara berulang.

  • Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin, doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari, karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.

10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.

11. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi

Contoh:

  • Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.

  • Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.

12. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.

**Contoh : **

Terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.

13. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.

Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.

Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

  • Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
  • Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
  • Jenis sediaan obat terlalu beragam
  • Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
  • Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
  • Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.