Apa yang dimaksud dengan Pemberontakan ?

Pemberontakan

Pemberontakan, dalam pengertian umum, adalah penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan disebut sebagai “pemberontak”.

Apa yang dimaksud dengan Pemberontakan ?

Pemberontakan merupakan ketidaktaatan atau perlawanan dan sikap menantang wewenang yang lebih tinggi. Pemberontakan diatur dalam hukum nasional masing-masing negara. Oleh karena itu, sebagai pelanggar hukum para pelaku pemberontakan biasanya dihukum menurut hukum nasional negara yang bersangkutan, karena masalah pemberontakan merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

Penyelesaian terhadap kasus pemberontakan sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Apabila ada negara lain yang mencampurinya, dengan jalan memberikan dukungan politik dan moral kepada kaum pemberontak, akan dipandang sebagai intervensi atau campur tangan terhadap masalah dalam negeri yang dilarang oleh hukum internasional. Tindakan pemberontakan dalam prakteknya seringkali menimbulkan pengaruh atau akibat yang melampaui batas-batas negara tempat terjadinya pemberontakan. Dengan kata lain pengaruh pemberontakan tersebut dirasakan juga oleh negara lain. Pengaruh internasional masalah pemberontakan itu antara lain:

  • Pemberontakan yang terjadi dalam suatu negara dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di negara-negara lain, seperti negara-negara tetangganya yang terdekat.

  • Pemberontakan yang meluas sampai ke lautan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban pelayaran-pelayaran internasional bahkan penerbangan internasional di laut atau diatas lautan tersebut.

  • Terkaitnya kepentingan negara-negara lain di daerah/wilayah terjadinya pemberontakan tersebut, seperti misalnya: warga negaranya yang banyak berdiam dan bekerja di sana.

  • Pemberontakan di dalam suatu negara seringkali menimbulkan korban, tidak saja terhadap pasukan bersenjata kedua pihak yang memang secara langsung berada dalam posisi kontak senjata, tetapi juga terhadap penduduk sipil beserta harta bendanya.

Pemberontakan dalam suatu negara terkadang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama serta dengan kekuatan kaum pemberontak yang beraneka ragam seperti misalnya kekuatan yang hanya terdiri atas sekelompok orang dengan persenjataan seadanya sampai bisa berkembang atau menjelma menjadi kekuatan besar yang mampu mengimbangi kekuatan pasukan pemerintah yang sah. Ada kelompok pemberontak yang baru sampai pada tingkat kecil-kecilan yang secara mudah dapat ditumpas, ada pula yang sudah tampak sebagai kesatuan kekuatan yang mandiri. Oleh karena itu, secara garis besar para ahli hukum internasional membedakan pemberontak dalam dua golongan, yaitu kaum insurgensi dan kaum belligerensi.

  1. Kaum Insurgensi

    Situasi politik dalam suatu negara tidak selalu stabil, karena ada kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap pemerintah melakukan pemberontakan, baik untuk menggulingkan pemerintah yang sah maupun berusaha memisahkan diri dengan tujuan mendirikan negara baru.

    Kaum pemberontak yang masih berada pada tingkat kecil-kecilan dan belum tersusun secara teratur, secara umum disebut sebagai kaum insurgensi. Peristiwa pemberontakan itu sepenuhnya merupakan masalah dalam negeri dan negara tersebut berusaha menumpasnya. Negara lain umumnya berusaha mengendalikan diri menghadapi peristiwa pemberontakan tersebut, namun dalam beberapa hal suatu negara harus menentukan sikap tegasnya, misalnya untuk melindungi dan menyelamatkan warga negara beserta harta kekayaannya atau supaya para pemberontak tidak mengganggu penduduk/ warga negaranya di daerah tempat terjadi pemberontakan.

  2. Kaum Belligerensi

    Apabila sekelompok pemberontak dalam suatu negara berkembang cukup kuat dan besar serta menentang pemerintah yang berkuasa, maka kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai belligerensi. Terdapat tiga istilah pemberontakan dalam bahasa Inggris, yaitu insurrection, rebellion, dan revolution. Revolusi bertujuan untuk merombak secara radikal suatu susunan politik atau sosial di seluruh wilayah negara; rebelli adalah perjuangan sebagian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah lainnya, dan insureksi adalah kegiatan- kegiatan yang luas dan tujuannya lebih sempit dari revolusi dan rebelli.

    Timbulnya suatu pihak berperang (belligerent) dalam suatu negara didahului dengan adanya insurection (pemberontakan dengan scope yang kecil), yang kemudian meluas menjadi rebellion (rebeli). Pengakuan belligerensi hanya berlaku selama berlangsungnya peperangan saja. Artinya apabila salah satu pihak dalam sengketa itu, misalnya pemerintah dapat mengalahkan pihak berperang, maka pengakuan terhadap belligerensi menjadi berakhir. Selanjutnya rebeli ini untuk dapat berubah statusnya menjadi pihak berperang harus memenuhi syarat- syarat (objektif). Oppenheim Lauterpacht mengemukakan empat syarat yang mendahului pemberian pengakuan sebagai belligerensi, yaitu:

    • Adanya perang saudara disertai dengan pernyataan hubungan permusuhan antara negara yang bersangkutan dengan kaum belligerensi;

    • Kaum beligerensi harus menguasai atau menduduki sebagian dari wilayah negara tersebut;

    • Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh kedua pihak yakni negara yang bersangkutan dan kaum beligerensi;

    • Adanya kebutuhan praktis bagi pihak atau negara-negara ketiga untuk menentukan sikapnya terhadap perang saudara.

    Dilain pihak, Hurwitz mengemukakan kriteria yang hampir sama terhadap pihak berperang yaitu:

    • Harus diorganisir secara teratur di bawah pimpinan yang bertanggung jawab;

    • Harus memakai tanda-tanda yang jelas dapat dilihat;

    • Harus membawa senjata secara terang-terangan; dan

    • Harus mengindahkan cara-cara berperang yang lazim.

    Apabila para pemberontak ini belum dapat memenuhi syarat-syarat diatas, maka para pemberontak baru berada pada taraf rebeli (rebellion). Apabila pada taraf ini ada negara ketiga yang memberikan dukungan atau pengakuan, maka tindakan tersebut dianggap tergesa-gesa (premature) dan dapat dipandang sebagai mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Sebaliknya, jika para pemberontak telah memenuhi syarat-syarat objektif di atas maka negara ketiga berdasarkan pertimbangan subjektif (biasanya bersifat politis) akan memberikan pengakuan terhadap kelompok rebeli, yang selanjutnya dengan tindakan pengakuan ini rebelli tersebut statusnya berubah menjadi belligerent.

Referensi :

  • I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003…
  • Yudha Bhakti, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, PT. Fikahati Aneksa, Jakarta, 2012.
  • S.Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan Dalam Teori dan Praktek, CV. Abardin, Bandung, 1987.