Empowerment, atau pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat Barat, terutama Eropa. Konsep ini muncul sejak dekade 70an dan kemudian terus berkembang sampai saat ini. Kemunculannya hampir bersamaan dengan aliran-aliran seperti eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan kemudian lebih dekat dengan gelombang NeoMarxisme, Freudianisme, Strukturalisme, dan Sosiologi kritik Frankfurt School. Bersamaan itu juga muncul konsep-konsep elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis, anti-struktur, legitimasi, ideologi pembebasan dan civil society . Konsep pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai bagian dari aliran-aliran paruh abad ke-20, atau yang dikenal dengan aliran post-modernisme , dengan penekanan sikap dan pendapat yang orientasinya adalah anti-sistem, anti-struktur, dan anti-determinisme, yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
Diawali pada akhir tahun 1960an, para ahli menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan, serta peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan di beberapa negara seperti Iran, Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan dan Afrika Selatan yang pencapaian pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’. Pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi kemiskinan dan tidak menciptakan pertumbuhan lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi justru meningkat. Pada tahun 1970, sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengangguran, terutama dibidang pertanian, dan peningkatan kesenjangan pendapatan. Tahun 1970an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.
Permasalahan ‘maldevelopment’ sebagaimana dijelaskan, memunculkan beberapa pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut dilandasi oleh paradigma atau cara pandang yang sangat berpengaruh terhadap teori-teori yang digunakan sebagai alat analisis atas realitas sosial. Teori mencakup empat fungsi dasar yaitu: penjelasan, prediksi, kontrol dan pengelolaan perubahan. Pemberdayaan masyarakat adalah praktek berdasarkan empat fungsi tersebut: menggambarkan kejadian; menjelaskan sebab-sebab kejadian tersebut; memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya (termasuk apa yang akan terjadi apabila dilakukan intervensi/ atau tidak dilakukan intervensi); dan berusaha untuk mengelola dan mengontrol terhadap perubahan pada semua level aktifitas masyarakat.
Menurut Fakih, salah satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya pengaruh paradigma terhadap teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada satu pandangan atau satu teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution” menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang sebagai proses revolusi paradigma, dimana sutau pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.
Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’ , baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam memecahkan masalah sosial.
Dalam konteks ini, Freire menjelaskan klasifikasi ideologi teori sosial yang terbagi kedalam tiga kesadaran yaitu: kesadaran magis (magical consciousness); kesadaran naif (naival consciousness) ; dan kesadaran kritis (critical consciousness).
-
Pertama, kesadaran magis yaitu suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat dengan faktorfaktor diluar manusia, baik natural maupun supernatural. Dalam teori perubahan sosial, apabila proses analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat secara dogmatik menerima kebenaran dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
-
Kedua, kesadaran naif, yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas dan ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis kemiskinan mereka berpendapat bahwa masyarakat miskin karena kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh karena itu, man power development adalah sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat memicu perubahan.Teori perubahan dalam konteks ini adalah teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat reformatif.
Kesadaran ini memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi sekuler yang menjadi aliran mainstream pembangunan. Menurut mereka, kemiskinan yang terjadi di Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai (values) sikap mental, kreativitas, budaya dan paham teologi sebagai pokok permasalahan, dan tidak melihat struktur kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat.
-
Ketiga, kesadaran kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil’. Kesadaran ini disebut sebagai kesadaran transformatif.
Definisi Pemberdayaan Masyarakat
Berangkat dari pemetaan paradigma tersebut, secara garis besar berbagai pandangan dan definisi mengenai pemberdayaan dapat dikelompokkan kedalam dua aliran.
Pandangan Developmentalisme
Pandangan developmentalisme merupakan pandangan yang berkembang dikalangan para aktivis sosial pada tahun 1970an, yang pada waktu itu sebagian besar menganut kerangka kerja developmentalisme. Aliran ini didasari oleh kesadaran naif atau refomatif, yang melihat faktor manusia sebagai akar masalah ketidakberdayaan mereka. Dalam konteks ini, mereka tidak menolak konsep dasar dan gagasan pembangunan, tetapi lebih kepada mengkritisi pendekatan dan metodologi yang digunakan, seperti mempermasalahkan pendekatan ‘bottom up’ versus pendekatan ‘top down’. Maka, masalah yang dianggap strategis adalah menemukan metodologi yang lebih baik dari proyek-proyek pemerintah. Sehingga, pendekatan bottom up dan partisipasi menjadi isu sentral dalam pelaksanaan programprogram pembangunan.
Menurut mereka, kegagalan pembangunan disebabkan oleh pendekatan konvensional yang diantaranya adalah transplantative planning, top down, inductive, capital intensive, west-biased technological transfer , dan sejenisnya. Kurang tepatnya pemilihan strategi pembangunan terhadap negara dan masyarakat telah menghasilkan paradoks dan tragedi pembangunan seperti yang terjadi pada negara sedang berkembang sebagai berikut :
-
Pembangunan tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan keterbelakangan (the development of underdevelopment).
-
Melahirkan ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara maju.
-
Melahirkan ketergantungan (dependency) pheriphery terhadap center.
-
Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/ pemerintah.
-
Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani, nelayan, dll.) terhadap pemilik modal.
Oleh karena itu, solusi yang mereka tawarkan adalah mengupayakan teknik dan metodologi ‘alternatif’ dari metode dan pendekatan proyekproyek pemerintah, seperti proyek pengembangan industri kecil; pengembangan kerajinan (handycraft); proyek peningkatan pendapatan; pelayanan kesehatan masyarakat; program keluarga berencana dan pengendalian penduduk; teknologi tepat guna dan proyek pembangunan perdesaan lainnya. Strategi-strategi yang mereka tawarkan adalah transformative and transactive planning, bottom up, community empowerment, dan participative, semuanya ini terkenal dengan Pembangunan Komunitas (Community Development).
Perbedaan cara pandang atas persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh pembangunan antara kelompok pendukung pembangunan (developmentalisme) dengan kelompok anti-developmentalisme pada gilirannya memunculkan pemaknaan yang berbeda tentang konsep pemberdayaan. Kaum developmentalisme dengan metode alternatifnya memunculkan konsep community development dengan salah satu strateginya yaitu community empowerment. Jelas bahwa istilah empowerment (yang diyakini oleh kaum anti-developmentalisme sebagai anti-thesis terhadap konsep pembangunan) juga digunakan oleh kelompok yang mendukung pembangunan (developmentalism). Namun pada penjelasan selanjutnya penulis akan memaparkan perbedaan yang signifikan antara konsep pemberdayaan menurut kaum developmentalism dan mereka yang menentang konsep developmentalisme (pendukung anti-developmentalism).
Berikut adalah berbagai definisi mengenai pemberdayaan masyarakat dari kelompok pendukung aliran developmentalisme:
-
Adams dari Kamus Pekerjaan Sosial: “ the user participation in services and to self-help movement generally, in which group take action on their own behalf, either in cooperation with, or independently of, the statutory services.” Berdasarkan definisi tersebut, Adams sendiri mengartikan pemberdayaan sebagai alat untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat supaya mereka mampu mengelola lingkungan dan mencapai tujuan mereka, sehingga mampu bekerja dan membantu diri mereka dan orang lain untuk memaksimalkan kualitas hidup.
-
Surjono&Nugroho , pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki akses terhadap pembangunan) didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Model-model pemberdayaan: People Centre Development (i.e. IDT, Proyek Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Raskin, BLT); Model Lingkaran Setan Kemiskinan; Model Kemitraan,dll.
-
Wrihatnolo&Nugroho , konsep pemberdayaan mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan communitybased development pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.
Menurut kelompok pertama ini, pemberdayaan dapat diartikan sebagai pembagian kekuasaan yang adil dengan meningkatkan kesadaran politis masyarakat supaya mereka bisa memperoleh akses terhadap sumber daya. Sasaran dari pemberdayaan adalah mengubah masyarakat yang sebelumnya adalah ‘korban’ pembangunan menjadi ‘pelaku’ pembangunan. Kelompok ini beranggapan bahwa kegagalan pembangunan terjadi karena pendekatan konvensional yang diterapkan diantaranya adalah transplantative planning, top down, inductive, capital intensive, west-biased technological transfer, dan sejenisnya. Oleh karena itu, muncul konsep-konsep baru pemberdayaan diantaranya adalah community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.
Pandangan Anti-Developmentalisme
Pandangan anti-developmentalisme mulai berkembang pada tahun 1980an, yang mempertanyakan gagasan dasar dari diskursus pembangunan. Pandangan ini menggunakan pendekatan kritis sebagai landasan dan alat analisa atas realitas sosial. Kritik atas pembangunan ini mengundang banyak kajian yang diantara hasilnya menunjukkan bahwa modernisasi dan developmentalisme adalah bungkus baru dari kapitalisme. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa ideologi pembangunan atau developmentalisme adalah salah satu produk dari proyek pencerahan (enlightenment), yang memiliki prinsip dasar penduniawian (sekularisasi); penalaran (rasionalisasi); dan individualisasi. Ketiga landasan tersebut mendorong dilakukannya revolusi industri, revolusi ilmu pengetahuan, dan reformasi politik.
Dengan landasan sekularisasi, proses desakralisasi dalam kiprah kehidupan manusia diselenggarakan sehingga dominasi lembaga dan ajaran agama ditepiskan, sehingga manusia kemudian ‘dibebaskan’ dari belenggu dogma-dogma dengan segala ramifikasinya (cabang-cabangnya). Landasan rasionalisasi telah mengubah wacana dan kiprah manusia yang semula hanya berwawasan pada kepercayaan menjadi wacana yang berwawasan pada penalaran. Dengan rasionalisasi kehidupan, maka eksplorasi tanpa batas terhadap alam oleh manusia melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi dihalalkan. Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menyatu dengan kehidupan manusia, yaitu sebagai salah satu warga “komunitas wujud” atau yang disebut the community of being, sebagaimana keyakinan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Alam dipahami sebagai objek diluar manusia yang harus ditaklukkan. Manusia yang dalam pandangan masyarakat tradisional merupakan bagian dari komunitas wujud, kendati dianggap yang termulia, kini mengklaim dirinya sebagai pusat segalanya. Mereka bahkan menganggap apa yang diluar dirinya atau yang diluar pemahaman rasionalnya sebagai sekedar mitos-mitos. Manusia pencerahan, dengan demikian, menuntut sebuah kesempurnaan bagi dirinya tanpa ketergantungan dengan yang ada diluar dirinya, dewa, Tuhan atau siapapun.
Ide kemajuan adalah akar dari modernitas yang memiliki ciri-ciri rasionalitas, kemajuan dan kebebasan manusia. Sedangkan modernisasi adalah proses perubahan yang harus dilakukan untuk mencapai masyarakat modern. Ide modernitas identik dengan kapitalisme, yang mengusung kemajuan dan kemodernan. Ekspansi kapitalisme dilakukan dengan kolonialisme atau penaklukan daerah baru dengan memperkenalkan istilah peradaban baru. Asumsi mereka adalah ide kemajuan/progress hanya dimiliki oleh mereka, dan harus ditularkan kepada masyarakat yang dianggap tidak mempunyai ide tentang progress.
Ketika kolonialisme hancur, ide kemajuan mengambil bentuk lain yaitu ideologi pembangunan yang sangat bias terhadap kapitalisme. Ideologi pembangunan menjadi sangat dominan mulai dekade 50an sampai dengan 70an. Ideologi pembangunan sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan ekspansi kapitalisme global. Asumsi yang menempatkan manusia sebagai center of being berakibat langsung pada eksploitasi alam tanpa batas. Sifat eksploitatif ini kemudian melahirkan egosentrisme dan kekerasan. Akibat selanjutnya adalah munculnya budaya konsumerisme yaitu pemenuhan keinginan yang tak terbatas. Akhirnya, terjadi peningkatan kriminalitas, dekadensi moral, kerusakan lingkungan, pemiskinan massal, dan hegemoni budaya.
Menurut pandangan ini, pembangunan dilihat sebagai ideologi dominan yang telah mengendap sekian lama di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak memungkinkan bagi pencapaian demokratisasi dan transformasi dibidang apapun yang meliputi ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan, termasuk relasi pengetahuan/kekuasaan9 . Dari perspektif ini, maka kritik dan penolakan bukan hanya pada aras metodologi dan pendekatan tetapi juga terhadap konsep dan diskursus pembangunan.