Apa yang dimaksud dengan Pecalang?

image

Di wilayah Bali, selain adanya polisi negara sebagai penjaga ketertiban masyarakat, dikenal pula sosok polisi berseragam tradisional yang disebut dengan pecalang. Pecalang merupakan perangkat keamanan yang hadir di setiap desa adat yang secara tradisi diwarisi turun temurun dalam budaya Bali. Seorang pecalang tidak hanya bertugas menjaga keamanan desa dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan upacara adat dan agama, tetapi juga menjaga keamanan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

1. Pengertian Pecalang

Pecalang berasal dari kata Celang, dalam Bahasa Bali yang artinya waspada dan awas. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pecalang adalah petugas keamanan tradisional yang bertugas untuk menjaga, mengamankan, aktivitas warga desa adat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Selain itu juga, pecalang berasal dari Bahasa Bali kepara atau Bali lumrah, celang yang artinya tajam indra penglihatan dan pendengarannya. Orang-orang yang memiliki pengindraan yang tajam inilah umumnya dipilih oleh krama desa untuk melakukan tugas-tugas pengamanan Desa Pakraman. Mereka yang mendapat tugas pengamanan inilah yang disebut dengan pecalang (Widia & Widnyani, 2010 : 39-40).

Secara fungsional, pecalang dibentuk melalui kesepakatan masyarakat dalam pranata banjar adat, khususnya terhadap kebutuhan dan kewajiban untuk turut mengemban fungsi keamanan saat dilaksanakannya kegiatan adat dan keagamaan.

Dalam masyarakat, ada 3 jenis pecalang, yakni:
a. Pecalang yang bertugas untuk mengamankan aktivitas warga desa adat dalam melakukan kegiatan.
b. Pecalang Subak, yang bertugas mengatur segala aktivitas para warga subak seperti, pengairan, kegiatan agama, dan lain-lain.
c. Pecalang Jawatan, yang bertugas menjaga ketertiban aktivitas manusia.

2. Sejarah Pecalang

Tidak diketahui secara pasti kapan pecalang ini dibentuk. Namun, jika kita menarik sejarah terbentuknya Desa Pakaraman (desa adat) dengan kemunculan pecalang memiliki benang merah. Berawal dari tirtayatra seorang Rsi Agung dari India bernama Rsi Markandeya ke Bali. Pada saat itu di Bali sudah ada orang-orang pribumi, yang merupakan cikal bakal terbentuknya Desa Pakraman. Kemudian Rsi Markandeya memiliki visi dan misi untuk membangun Desa Pakraman, yang selanjutnya membentuk pecalang. Pada saat itu pecalang dibentuk sebagai jaga baya desa (penjaga desa) (Widia & Widnyani, 2010 : 29-31). Desa Pakraman merupakan lembaga tradisional yang bercorak sosial religius dan mempunyai pemerintahan yang otonom berdasarkan hak asal usulnya. Desa Pakraman dapat menetapkan aturan-aturan yang dibuat sendiri yang disebut awig-awig.

Pecalang menjadi populer sejak mereka berhasil menggantikan pengamanan Kongres PDIP di Sanur, Bali. Sebagai pengaman tradisional yang dilibatkan untuk mengamankan jalannya kongres ketika itu, cukup melambungkan nama pecalang. Kongres yang digelar di masa transisi reformasi itu dikhawatirkan akan berjalan penuh hambatan dan gejolak. Tetapi yang terjadi kongres berjalan sukses dan tanpa hambatan. Diakui pecalang cukup banyak memberi apresiasi atas kesuksesan tersebut. Pengaman tradisional ini mendapat kepercayaan baru untuk mengemban tugas di luar pakem untuk mengamankan kegiatan adat, budaya dan keagamaan. Sejak saat itu pecalang memiliki peran berbeda dan menjadi pionir dalam pembangunan keamanan Bali pasca tragedi Bom Bali. Pasca tragedi Bom Bali 1 dan 2, Bali sangat mencekam dan masyarakat diliputi kecemasan, keguncangan ekonomi dan situasi sosial. Usaha untuk menormalkan kembali keadaan sosial dilakukan dengan dengan adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat yang pada bidang ini diwakili oleh pecalang.

3. Peran Pecalang

Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang sangat taat pada adat istiadat. Keberadaan pecalang sangat penting bagi keberlangsungan pelestarian kebudayaan. Pecalang memiliki kekuatan hukum yang mampu digunakan untuk menertibkan, bahkan mencegah datangnya hal-hal yang dianggap mengancam kebudayaan Bali. Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, tugas pecalang tidak hanya untuk menjaga keamanan desa dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan upacara adat dan agama, tetapi juga menjaga keamanan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, pasal 17 tentang Pecalang yang menyebutkan sebagai berikut:
a. Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman, dilaksanakan oleh pecalang.
b. Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa pakraman dalam hubungan tugas adat dan agama.
c. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa (Widia & Widnyani, 2010 : 84).

Masyarakat dalam wadah Desa Pakraman mempunyai landasan yang kuat untuk berperan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban, serta untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian masyarakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian pecalang adalah alat keamanan yang dimiliki oleh Desa Pakraman di Bali. Sebagai masyarakat hukum adat yang otonom, Desa Pakaraman memang mempunyai wewenang membentuk satuan pengamanan yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pakraman.

4. Hak dan Kewajiban Pecalang

Para pecalang memiliki beberapa hak, di antaranya:
a. Pecalang berhak atas luputan ngayah, artinya pecalang tidak perlu lagi bergotong royong membersihkan sampah, membangun dan merenovasi fasilitas milik desa adat.
b. Pecalang berhak atas busana dan atribut yang menjadikan pecalang spesial, karena busana dan atributnya tidak murah.
c. Pecalang berhak atas pembagian uang hasil denda warga desa yang melanggar peraturan.
d. Pecalang berhak menggunakan fasilitas umum milik desa adat, sama seperti warga lainnya.

Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan pecalang ialah:
a. Ngupadesa, artinya pecalang harus selalu dekat dengan desa dan warganya agar memudahkan tugasnya.
b. Atitikrama, artinya pecalang hendaknya selalu memberikan petunjuk (contoh/teladan) yang benar kepada warga desa tempatnya bertugas.
c. Jaga Baya Desa, artinya pecalang harus menjaga desa agar selalu berada dalam keadaan baik, salah satu caranya dengan melakukan ronda atau keliling desa (Widia&Widnyani, 2010 : 53-56).

Sumber

Arthadana, M. G. (2020). KEWENANGAN PECALANG MENGATUR KEAMANAN DAN KETERTIBAN UPACARA ADAT DI DESA ADAT SERAYA KABUPATEN KARANGASEM. Hukum dan Kebudayaan, 1(1 Mei), 56-77.

Mahadewi, N. M. A. (2014). Pecalang Simbol Kekuatan Budaya Bali. Jurnal Ilmiah Sosiologi (Sorot), 1(2).

Suarnata, I. W. G. (2013). PERGESERAN FUNGSI DAN PERANAN PECALANG TERHADAP PELAKSANAAN SWADHARMANYA DALAM DESA ADAT (Studi Kasus di Desa Adat Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem). Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 1(2).

Widia, I Ketut & Nyoman Widnyani. (2010). Pecalang Benteng Terakhir Bali. Denpasar, Paramitha