Apa yang dimaksud dengan Pailit atau Bangkrut secara hukum ?

pailit

Pailit adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Apa yang dimaksud dengan Pailit atau Bangkrut secara hukum ?

Istilah kata pailit,secara estimologi, dapat dijumpai dalam berbagai bahasa, sebagai asal katanya. Dalam bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “ failliet. Dalam bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Prancis dinamakan “lefaili”. Kata kerja “failir” berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama, dalam bahasa Latin disebut “faillure”. Dinegara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-kata “bankrupt” dan “bankruptcy” (Victor M Sitomorang dan Hendri Soekarso, 1994).

Pengertian Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai berikut :

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Jika seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya dengan suka rela, kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitor dipakai untuk membayar kreditor tersebut.

Sebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan mungkin sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan kreditor.

Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa melalui sita umum maka dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditor secara sendiri-sendiri. Dengan demikian para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Concursus creditorum diartikan sebagai keberadaan dua atau lebih kreditor. Concursus Creditorum merupakan syarat bagi kepailitan.

Berikut pengertian kepailitan yang diberikan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut :

  • Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya.

  • Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitur untuk kepentingan semua kreditur secara bersama.

  • Kepailitan adalah suatu sitaan umum atas dan terhadap seluruh harta debitur agar dicapainya suatu perdamaian antara debitur dengan para krediturnya atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagikan secara adil dan proporsional di antara dan sesama para kreditur sesuai dengan besarnya piutang dari masing-masing para krediturnya terhadap debiturnya tersebut.

Faillissement Verordening pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh ( algemeen beslag ) atas segala harta benda daripada si pailit.

Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU itu, perlu dipahami dengan baik apa yang dimaksud dengan ‘utang’. Menurut pasal 1 angka 6 UUK-PKPU :

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang – Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”

Dari perkembangan sejarah hukum dan pengertian kepailitan tersebut dapat diklasifikasikan konsep dasar kepailitan adalah sebagai berikut:

  • Debt collection merupakan konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.

  • Debt forgiveness dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption (beberapa harta debitor dikecualikan terhadap budel pailit), relief from imprisonment (tidak dipenjara karena gagal membayar utang), moratorium (penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu), dan discharge of indebtedness (pembebasan debitor atau harta debitor untuk membayar utang pembayaran yang benar – benar tidak dapat dipenuhinya).

  • Debt adjusment merupakan hak distribusi dari para kreditor sebagai suatu grup, dengan menerapkan prinsip pro rata distribution atau structured prorata (pembagian berdasarkan kelas kreditor) serta reorganisasi serta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Subjek Pernyataan Pailit


Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU. Objek di dalam undang-undang kepailitan adalah debitor, yaitu debitor yang terbukti tidak memenuhi syarat yang tersebut dalam ketentuan tersebut di atas dapat dinyatakan pailit, baik debitor perorangan maupun badan hukum. Undang – undang berbagai Negara membedakan antara aturan kepailitan bagi debitor orang perorangan (individu) dan debitor bukan perorangan atau badan hukum.

Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut grace period, UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu).

Pasal 4 ayat (1) UUK-PKPU mengemukakan bahwa:

“dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya”.

Pasal 3 ayat (5) UUK-PKPU mengemukakan bahwa:

“Dalam hal debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya”.

Dari bunyi kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup UUK-PKPU yang meliputi baik debitor badan hukum maupun debitor orang perorangan memang tidak tegas-tegas ditentukan dalam undang-undang tersebut. Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Baik laki-laki maupun perempuan, menjalankan perusahaan atau tidak, yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada percampuran harta.

Referensi :

  • Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
  • Imran Nating, S.H., M.H. Edisi Revisi : Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
  • Fred B.G. Tumbuan, “Pokok – pokok Undang – undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh PERPU No. 1/1998” dalam Penyelesaian Utang – Piutang melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Rudhy A. Lontoh, Ed. (Bandung: Alumni, 2001).
  • J.B. Huizink, Insolventie, Cet. 1., (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
  • Munir Fuady, hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Cet. 1., Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999).

Pengertian Umum Kepailitan


Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Jika kita baca seluruh ketentuan yang dalam UndangUndang Kepailitan, kita tidak akan menemui satu rumusan atau ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan yang menjelaskan pengertian maupun definisi dari kepailitan atau pailit (Yani & Widjaja, 1999).

Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atau seluruh kekayaan si debitor (orang orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya (orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dalam Pasal 2 menyebutkan:

  • Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
  • Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan (Sutedi, 2009).

Dasar hukum Hukum Kepailitan Indonesia tidak hanya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan kepailitan yang diatur dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Asas hukum Hukum Kepailitan Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan asas khusus dimuat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Sinaga, 2012).

Dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak terkait dalam hal ini Kreditor dan Debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini, penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu:

  • Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;
  • Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
  • Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para keditor (Sastrawidjaja, 2006).

Kepailitan ini tidak hanya menimpa pada orang perorangan namun juga pada suatu perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan membawa dampak dan pengaruh buruk, bukan hanya pada perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global. Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan (Gautama, 1998).

Hukum Kepailitan Indonesia sebagai sub sistem dari Hukum Perdata Nasional harus merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata ( hukum perdata materiil) dan hukum acara perdata (hukum perdata formil). Hukum kepailitan Indonesia sebagaimana dimuat dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya, selain memuat hukum materiil juga memuat hukum formil. Namun mengenai hukum acaranya, tidak diatur secara rinci. Dengan demikian, berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis berlakulah Hukum Acara Perdata Perdata sebagaimana diatur dalam :

  • Reglemen Indonesia yang diperbarui (het herziene indonesisch reglement) S.Tahun 1941-4 disingkat RID/HIR
  • Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan madura (Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Biuten Java en Madura) S. Tahun 1927-227 disingkat RBg
  • Reglemen Acara Perdata(Reglement op de Rechtsverordening) S.Tahun 1847-52 jo S. Tahun 1847-52 jo S.Tahun 1849-63 disingkat Rv

Hukum Kepailitan Indonesia tidak membedakan kepailtan orang perseorangan dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimna dieleborasi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, mengatur keduanya, baik kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan badan hukum. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak cukup diatur mengenai kepailitan orang perseorangan meupun kepailitan badan hukum, maka digunakanlah peraturan perundang-undangan yang lain sebagai dasar hukum.

Arti kepailitan ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya) yang telah jatuh tempo. Suatu perusahaan bisa dikatakan pailit (bangkrut) jika perusahaan tersebut tidak sanggup atau tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan dimikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah sitaan yang dijatuhkan (dibebankan) oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur yang mempunyai lebih dari 1 hutang, yang dalam hal ini debitur berhenti untuk membayar hutang-hutangnya, sehingga debitur segera membayar hutang- hutangnya.

Berdasarkan pasa 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) , kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Sedangkan, PKPU sendiri tidak diberikan definisi oleh UU Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai PKPU dalam UU Kepailitan kita dapat melihat bahwa PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 UU Kepailitan Pasal 228 ayat [5] UU Kepailitan).

Sementara, Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum* Pailit Dalam Teori dan Praktek mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang ( Suspension of Payment atau Surseance van Betaling ) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.

SYARAT-SYARAT PERNYATAAN PAILIT

Debitur hanya bisa dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh pengadilan khusus yang dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga, adapun syarat-syarat yuridis yang harus dipenuhi sebagai berikut :

  • Keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitor tidak mampu atau tidak mau membayarutangnya.

  • Harus ada lebih dari seorang* *kreditor, dimana salah seorang dari mereka piutangnya sudah dapat ditagih atau jatuh tempo.

  • Siapa yang mengajukan kepailitan seorang. Yang dapat mengajukan kepailitan seseorang ialah:

    • Debitor sendiri, karena merasa sudah tidak mampu membayarutang-utangnya

    • Seorang atau beberapa orang kreditor

    • Jaksa atas dasar kepentingan umum, misalnya kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.

    • Bank Indonesia, jika debiturnya adalah bank.

    • Bapepam, jika debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek lembaga kriling dan penjaminan, dan lembaga penjaminan dan penyelesaian.

    • Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.