Apa yang dimaksud dengan pahlawan?

pahlawan

Arti kata pahlawan menurut KBBI adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani;

Bagaimana ilmu sosial memandang pahlawan ?

Allison dan Goethals (2011, dalam Goethals, 2012) melakukan riset tentang siapa sajakah pahlawan bagi hidup masyarakat saat ini di Amerika Serikat. Sekitar 450 orang dewasa, usia 18-72 tahun memberikan respon yang menarik, yang secara umum dibagi menjadi 3 kelompok pahlawan, yaitu: pahlawan familial, pahlawan nyata di masyarakat, dan pahlawan fiksi.

  • Pahlawan familial atau berasal dari keluarganya sendiri, biasanya adalah orang tua atau orang yang lebih tua yang membantu anggota keluarga yang lebih lemah. Hal ini dilaporkan oleh sekitar 32% responden. Keutamaan pahlawan familal berupa bantuan emosional, finansial dan juga kesempatan untuk melakukan pengembangan diri. Hal ini dapat dipahami, bahwa walaupun sifat kepahlawanan adalah prososial universal, namun mereka akan lebih berupaya untuk membantu anggota keluarganya sendiri.

    Dalam psikologi evolusi, hal ini sesuai dengan teori seleksi familial ( kin selection ), dimana menyelamatkan anggota keluarga atau orang dengan hubungan sedarah akan diutamakan dalam rangka mempertahankan genetik agar tetap dapat diwariskan dari generasi ke generasi.

  • Pahlawan nyata di masyarakat juga dilaporkan oleh 33% responden. Pahlawan nyata yang disebutkan adalah manusia-manusia hebat sepanjang sejarah manusia, dari negawaran, atlet, agen perubahan sosial, artis/ entertainer , aktor/aktris, pengusaha besar, dan juga manusia yang awalnya dianggap gagal namun setelah melampaui perjuangan menjadi pahlawan.

  • Sisanya sekitar 34% melaporkan pahlawan tokoh fiksi. Karakter fiksi pahlawan didapat dari komik, film, cerita dan televisi. Gambaran tokoh pahlawan fiksi ternyata dianggap mampu menampilkan sosok kepahlawanan yang lebih kuat, karena kelemahan manusiawinya ditampilkan lebih sedikit, sehingga kekuatan karakter kepahlawanannya dianggap lebih kuat ( prototypical heroes ). Lebih lanjut, studi perbandingan persepsi kepahlawanan menunjukkan bahwa persepsi kepahlawanan tokoh fiksi lebih positif daripada pahlawan nyata, bahkan perbedaannya ditemukan ekstrem. Artinya, ada kecenderungan masyarakat lebih bisa menerima kepahlawanan tokoh fiksi daripada atas apa yang dilihatnya muncul pada manusia pahlawan dalam kehidupan nyata.

Dampak kepahlawanan


Pahlawan membawa inspirasi perubahan. Dalam berbagai konteks, ditemukan pahlawan membuat riak perubahan dalam suatu masyarakat, atau pahlawan adalah agen perubahan sosial. Kepahlawanan juga mempengaruhi pikir, rasa dan perilaku masyarakatnya.

Cerita kepahlawanan membuat manusia merasa bersemangat, berharap, memimpikan suatu kondisi yang lebih baik, dan beraspirasi. Perasaan ini membuat manusia menjadi menginginkan untuk mengidentifikasi dirinya, menjadi sama dengan, pahlawan. Pahlawan membuat kita merasa menginginkan menjadi mereka.

Kepahlawanan juga mempengaruhi pemikiran, terutama untuk mengkritisi cara-cara pikir konvensional dan tradisional dalam melihat dunia.

Pahlawan juga menjadi inspirasi melakukan tindakan-tindakan yang tidak egois, untuk kebajikan bagi semua dan pengorbanan diri bagi orang lain. Pahlawan menjadi contoh dan juga semangat membuat diri kita menjadi lebih baik lagi. Pahlawan besar dapat mempengaruhi perilaku generasinya saat ini dan juga hingga ke generasi berikutnya.

Bias kepahlawanan


Dalam mempersepsikan kepahlawanan, perlu disadari, bahwa dapat terjadi bias atau kesalahan berpikir. Ada 2 bias kepahlawanan yang dibahas di sini, yaitu: bias nilai positif kematian pahlawan dan bias kuda hitam.

  1. Nilai positif kematian pahlawan
    Orang dilihat menjadi heroik ketika tampak berkorban, dan pengorbanan utama seorang pahlawan adalah dirinya atau hidupnya sendiri. Bahkan, kematian bisa memperkuat narasi dan persepsi kepahlawanan. Pada tahun 2009, Allison dan kolega melakukan eksperimen untuk membandingkan persepsi kepahlawanan antara tokoh yang masih hidup dan yang telah meninggal, dengan mengontrol tindakan yang dilakukan kedua tokoh dikategorikan sama. Mereka menemukan bahwa persepsi kepahlawanan ternyata lebih kuat pada tokoh yang telah meninggal daripada pada tokoh yang masih hidup. Hal ini menunjukkan bias positif kematian pahlawan.

    Sepertinya, masyarakat erat mengkaitkan kehebatan kepahlawanan dengan kematian; dimana orang yang telah meninggal akan dibesar-besarkan/dilebih-lebihkan kepahlawanannya, jika dibandingkan dengan manusia yang menunjukkan kepahlawanan namun masih hidup. Ketika hidup, kelemahan pribadi pahlawan masih bisa ditemukan dan dibahas; namun tidak pada pahlawan yang telah meninggal. Terlebih, jika kematiannya disebabkan tindakan heroiknya, atau disebut Martir. Kematian pahlawan yang meninggal karena bunuh diri juga dilihat kurang kuat. Tampaknya, stigma buruk tentang bunuh diri juga berlaku dalam konteks kepahlawanan. Pahlawan yang meninggal dalam usia muda juga lebih disukai; dan pahlawan miskin atau yang berasal dari kalangan ekonomi lemah juga lebih dihargai daripada pahlawan yang memiliki banyak harta dan kaya-raya. Hal-hal ini menunjukkan betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh pahlawan tersebut.

  2. Penghargaan kepahlawanan si Kuda hitam
    Pahlawan harus menghadapi tantangan terbesar, yaitu dirinya sendiri. Upaya manusiawi berjuang melewati hambatan dari diri sendiri, seperti: malas, kelelahan, menyerah, tekanan sosial dan keterbatasan diri, menjadi suatu kekuatan yang menjadikan pahlawan. Yang menarik, kepahlawanan tidak selalu muncul dari orang yang memiliki keutamaan kepahlawanan yang menonjol. Namun bisa juga muncul dari orang yang dianggap lemah, termarginalkan, atau pernah gagal sebelumnya; mereka disebut sebagai Kuda hitam. Sosok yang tidak pernah diharapkan, tapi berhasil menjadi pahlawan.

    Riset menemukan bahwa kuda hitam yang berjuang melampaui keterbatasan dirinya akan lebih kuat dilihat sebagai pahlawan yang lebih hebat daripada orang-orang yang telah memiliki keutamaan dan kekuatan sebagai pahlawan sebelumnya. Orang lebih mudah bersimpati, lebih terinspirasi, serta lebih ingin bekerjasama dengan seorang kuda hitam (Allison & Heilborn, 2011 dalam Goethals & Allison, 2012). Sepertinya, masyarakat akan segera memaafkan kelemahan kuda hitam, jika melihat upaya perjuangannya melampaui keterbatasan dirinya sendiri dan berhasil ( struggle and redemption ). Hal ini terjadi karena masyarakat melihat komponen diri manusiawi pada diri kuda hitam. Seorang manusia dengan cela dan keterbatasan yang berjuang melampaui dirinya sendiri dan kesulitan. Bagi orang awam, akan lebih mudah mengidentifikasi diri pada seorang kuda hitam, daripada dengan orang yang telah sukses atau tampak hebat sejak lahir. Kuda hitam yang berjuang untuk berhasil dan menolong orang lain menjadi contoh sukses usaha manusia biasa. Pada akhirnya, kuda hitam yang berhasil keluar dari keterbatasannya akan dilihat sebagai pahlawan dan dihargai sebagai pemimpin inspirasional.

Pahlawan atau Pemimpin?


Goethals (2012) berpendapat bahwa masyarakat sering menggunakan kualitas keutamaan pemimpin dalam menjelaskan keutamaan pahlawan, atau dengan kata lain adanya karakter yang sama ( overlapping characters ) antara pahlawan dan pemimpin.

Sekitar 50 responden diminta untuk mengidentifikasi sifat-sifat pahlawan, dan ditemukan ada 8 kelompok sifat, yaitu:

  1. Peduli ( caring ): welas kasih ( compassionate ), empatik ( empathetic ), baik ( kind )

  2. Karismatik ( charismatic ): berdedikasi ( decicated ), ekspresif ( eloquent ), bersemangat ( passionate )

  3. Menginspirasi ( inspiring ): dikagumi ( admirable ), hebat ( great ), luar biasa ( amazing ), inspirasional ( inspirational )

  4. Dapat diandalkan ( reliable ): loyal ( loyal ), terbuka ( true )

  5. Resilien ( resilient ): berhasil ( accomplished ), gigih ( determined ), pantang menyerah ( perseverance )

  6. Tidak egois ( selfless ): altruistik ( altruistic ), jujur ( honest ), sederhana ( humble ), moral ( moral )

  7. Pandai ( smart ): cendikiawan ( intelligent ), bijak ( wise )

  8. Kuat ( strong ): berani ( courageous ), mendominasi ( dominating ), gagah ( gallant ), spemimpin ( leader ).

Dari komponen sifat yang ditampilkan mengenai pemimpin ini, dapat terlihat beberapa kualitas juga muncul dalam menjelaskan pemimpin, misalkan: karismatik, kuat, dapat diandalkan dan menginspirasi (Goethals dkk., 2012). Beberapa sifat kepahlawanan juga menyiratkan bentuk kepemimpinan, misalkan: dapat diandalkan dan tidak egois adalah keutamaan kepemimpinan pelayanan ( servant leadership ), sedangkan dapat diandalkan dan integritas adalah unsur dari kepemimpinan yang efektif ( effective leadership ). Teori kepemimpinan transformatif menjelaskan bahwa pemimpin adalah tokoh visioner-heroik yang mampu merubah kelompoknya dan mampu menginspirasi anggota kelompoknya untuk melakukan tindakan heroik juga (Burns, 1978 dalam Geothals & Allison, 2012). Peduli, baik dan welas-asih bukan karakter kepemimpinan tradisional; namun dalam beberapa penelitian terakhir, ditemukan bahwa kualitas kebaikan non-tradisional tersebut juga dianggap penting dalam kepemimpinan modern.

Baik pahlawan dan pemimpin adalah manusia yang mampu mempengaruhi masyarakat luas. Keduanya adalah tokoh yang sering digunakan sebagai panutan ( role model ) untuk bersikap dan berperilaku, terutama perilaku moral. Keduanya adalah orang yang memberikan inspirasi bahkan energi untuk melakukan suatu perilaku. Namun perlu dipahami, perbedaannya, pahlawan melakukan tindakan pengorbanan pribadi. Kita perlu memahami konteks figur untuk dapat menjelaskan perbedaan dan kesamaan figur pahlawan dan pemimpin. Lebih lanjut, perlu juga dikritsi, kedua tokoh ini juga sangat beresiko dipandang menjadi suatu bias idealisme yang abstract. Akibatnya kita menjadi sulit melihat keutamaan ini pada orang-orang yang hidup di sekitar kita.

Mengapa kita butuh pahlawan?


Pahlawan adalah panutan ( role model ) untuk bersikap dan berperilaku, terutama perilaku moral. Bahkan Freud menegaskan bahwa nilai ideal dari sosok pahlawan akan membentuk superego (nilai-nilai pribadi). Superego terbentuk melalui proses asimilasi ego, dimana ego pahlawan diidentifikasi lalu diasimilasi dalam ego diri sendiri. Proses identifikasi awal manusia adalah dengan orang tuanya atau pengasuhnya; oleh karena itu, nilai-nilai yang teridentifikasi dari orang tua akan berkembang menjadi superego anak. Atau dengan kata lain, orang tua adalah panutan dan pahlawan awal anak. Selanjutnya dalam perkembangan anak, akan ada tokoh-tokoh lain dalam hidupnya yang akan diidentifikasi sebagai panutan, misalkan: Guru, teman, dan tokoh lainnya. Namun nilai-nilai dari tokoh-tokoh ini tidak semua serta-merta masuk dan berkembang ke supergo, kebanyakan ditemukan akan mempengaruhi perkembangan ego.

Pahlawan juga membuat kita lebih memahami perjuangan menghadapi kesulitan. Peristiwa menghadapi kesulitan adalah manusiawi, yang dialami oleh sebagian besar oleh kita. Namun pahlawan menunjukkan contoh apa dan bagaimana untuk melampaui kesulitan-kesulitan hidup. Atau dengan kata lain, keutamaan kepahlawanan dapat memotivasi, mengarahkan sikap dan perilaku kita untuk melakukan perilaku yang benar dan mencapai keberhasilan.

Di sisi yang lain, Kinsella (2017) menyatakan bahwa perilaku heroik juga membantu pahlawan mencari makna hidup mereka. Perilaku heroik adalah idealisasi perilaku prososial; maka melakukannya dapat membantu proses pencarian makna hidup bagi pelakunya. Lebih lanjut, perilaku kepahlawanan juga dapat berfungsi menciptakan pengalaman optimal ( peak experiences ), dimana manusia merasakan dirinya bersatu dengan pengalaman transendensi-transpersonal, juga pengalaman kepuasan ( ecstatic ) karena mencapai kesadaran akan kebenaran utama. Maslow (1970) juga berpendapat ketika mengalami pengalaman optimal, manusia bisa menjadi lebih kreatif, tercerahkan, menemukan integrasi pengalaman diri, dan memberikan perasaan bermakna dalam hidupnya. Kepahlawanan dapat bermakna baik bagi pahlawan dan juga orang-orang di sekelilingnya, untuk mencapai makna hidup dan pengalaman optimal (Coughlan dkk., 2017).

Mengapa tidak ada pahlawan?


Sering kita tidak bisa melakukan apa yang kita anggap benar karena adanya hambatan eksternal; akibatnya tidak ada yang manu menjadi penolong, atau pahlawan tidak muncul. Salah satu hambatan eksternal adalah tekanan sosial. Penelitian psikologi sosial menemukan bahwa siapapun, orang pada umumnya, akan rentan tidak melakukan perilaku moral, ketika dihadapkan dengan tekanan sosial baik dari tekanan figur atasan (penelitian kepatuhan oleh Milgram) atau dari tekanan kelompok mayoritas (penelitian konformitas oleh Asch). Ketika manusia memilih untuk hanya tunduk patuh pada figure autoritatif, manusia akan menjadi buta-tuli pada nilai moralitas, dan akibatnya manusia bahkan bisa melakukan kejahatan atas dasar kepatuhan. Sama halnya, ketika manusia memilih untuk turut konformis pada nilai-nilai dari kelompok mayoritas, tidak akan muncul sikap kritis dan tidak akan muncul perilaku moral, termasuk menolong.

Zimbardo (2007) menyampaikan bahwa perilaku tidak menolong bukan hanya berdampak pada tidak munculnya pahlawan, namun dapat juga berarti munculnya kejahatan. Zimbardo menjelaskan 7 tahapan munculnya kejahatan, yaitu ketika seseorang melakukan:

  1. Menyimpang dari hati nurani/kompas moral pribadi secara perlahan-lahan

  2. Merendahkan “orang lain” atau “orang yang asing” (yang berbeda dari dirinya dan kelompoknya)

  3. Tidak peduli bagaimana caranya memperlakukan orang lain (cara bicara, cara pandangnya tentang orang lain)

  4. Tidak mau bertanggungjawab atas apa konsekuensi tindakannya saat ini yang akan terjadi, tengah berlangsung atau telah terjadi

  5. Patuh buta pada figur autoritatif

  6. Tidak kritis pada norma kelompok atau ide-ide yang telah disepakati selama ini

  7. Pasif atau tidak melakukan apapun ketika dibutuhkan aksi (menolong)

Tahapan ini menjelaskan bagaimana orang pada umumnya dapat beresiko melakukan kejahatan, karena kejahatan bisa terjadi dimulai dari penyimpangan kode moral pribadi hingga perilaku tidak menolong ketika dibutuhkan aksi nyata. Diam ketika dibutuhkan aksi pertolongan nyata adalah suatu kejahatan pula.

Dalam penelitian Latane (1981), ditemukan juga bahwa kegagalan menolong juga disebabkan oleh interaksi faktor internal dan eksternal, yaitu: orang akan hanya mengamati tanpa menolong ( bystander effect ) jika dipersepsikan ada kehadiran orang lain di sekitarnya yang akan monolong, dan persepsi rendahnya resiko yang dihadapi oleh orang yang perlu ditolong. Pahlawan tidak muncul karena masing-masing orang memilih hanya jadi pengamat, dan berharap orang lain yang akan menolong, akibatnya semua saling tunggu dan tidak ada aksi moral. Dari penelitian ditemukan, efek pengamat berkurang jika persepsi resiko bahaya yang dialami orang yang meminta pertolongan dianggap tinggi, artinya orang akan menolong jika dianggap situasi sangat kritis dan membutuhkan pertolongan segera. Dalam hal ini dapat disimpulkan, perilaku menolong dapat muncul, jika terjadi intervensi cara pandang individu dalam mempersepsikan hambatan eksternal. Strategi inilah yang dikembangkan dalam intervensi efek pengamat dalam rangka menumbuhkan perilaku prososial menolong di masyarakat.