Apa yang dimaksud dengan nyeri gigi atau Atypical odontalgia?

nyeri gigi atau odontalgia

Odontalgia, istilah kedokteran gigi, adalah nyeri Gigi

Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes thermal, tes elektrik atau radiografi.

Umumnya terjadi tanda-tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan tidak mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia. Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan.

Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar dan tidak mengganggu tidur pasien. Pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah trauma, tetapi dapat meluas ke daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun bilateral.

Epidemiologi


Insiden atypical odontalgia lebih sering dijumpai pada wanita, khususnya yang berusia 40 tahun. Atypical odontalgia bisa mengenai semua umur, kecuali anak-anak. Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar maksila. Pada sebagian besar pasien atypical odontalgia tidak dijumpai adanya penyakit atau penyebab lain.

Pada sebagian kecil pasien atypical odontalgia dijumpai gejala yang serius seperti stres dan depresi. Informasi epidemiologi menunjukkan bahwa 3-6% nyeri atypical odontalgia terjadi setelah perawatan endodonti.

Etiopatogenesis


Atypical odontalgia umumnya terjadi setelah ekstirpasi pulpa, apikoektomi, dan pencabutan gigi, meskipun demikian atypical odontalgia dapat juga idiopatik. Trauma wajah dan pemblokan saraf alveolaris inferior juga ditemukan sebagai penyebab atypical odontalgia. Atypical odontalgia juga sering diragukan dengan komplikasi paska perawatan normal atau komplikasi dari paska trauma.

Patofisiologi atypical odontalgia masih belum jelas, dapat idiopatik, gangguan kejiwaan, atau gangguan saraf. Teori lain menyatakan terputusnya sistem saraf afferen (deafferentasi) yaitu hilangnya atau gangguan serabut saraf sensori akibat luka traumatik yang menyebabkan perubahan pada sistem saraf tepi, saraf pusat, dan saraf otonom. Deafferentasi ini menyebabkan nyeri kronik dan gejala lain seperti paresthesia dan dysesthesia. Mekanisme lain dari patogenesis nyeri atypical odontalgia adalah sensitisasi serabut saraf, regenerasi saraf afferent yang berdekatan, aktivasi saraf simpatik afferent, aktivasi silang afferen, hilangnya mekanisme penghambat dan perubahan phenotypic saraf afferen.

Nyeri atypical odontalgia memiliki mekanisme yang bervariasi, ada yang ringan, kompleks, dan ada yang tidak jelas. Kerusakan saraf tepi mudah dideteksi. Pada bagian saraf tulang alveolar yang rusak, hiperaktif saraf menyebabkan terjadinya nyeri yang menetap. Nyeri sering menetap dengan blok anestesi. Hiperaktivitas CNS dapat menyebabkan nyeri yang menetap pada gigi. Kerusakan saraf tepi dapat menyebabkan perubahan pada cabang kedua saraf trigeminal yang bersinaps dengan nosiseptor saraf nyeri. Perubahan terjadi secara memusat dimana transmisi nyeri terjadi secara terus-menerus ke pusat cortical yang lebih tinggi.

Diagnosa


Diagnosa berdasarkan gejala primer seperti lokasi nyeri dan sifat nyeri, dan pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang meragukan, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia.

Kriteria diagnosa atypical odontalgia menurut Graff-Radfort dan Solberg pada tahun 1992 adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus- menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, serta nyeri tidak hilang dengan anestesi blok. Pada tahun 1995, Pertes dkk memperbaharui kriteria tersebut dengan menambahkan kriteria diagnosa atypical odontalgia yaitu nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi.

Perawatan


Hal yang paling penting diketahui adalah bahwa tindakan dental harus dicegah dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa literatur menyatakan bahwa perawatan farmakologi sering berhasil dalam perawatan atypical odontalgia. Berikut ini adalah beberapa nama-nama obat yang telah dicoba dan efektif untuk mengontrol nyeri atypical odontalgia :

  • Gabapentin
  • Clonazepam
  • Baklofen
  • Aspirin
  • Phentolamine infusion
  • Kokain
  • Doxepin
  • Monoamine oxidase inhibitors
  • Opioid
  • Suntikan anestesi lokal dan kortikosteroid
  • Penghambat saraf simpatik dan parasimpatik
  • Topical capsaicin
  • Eutectic mixture of lidocaine dan prilocaine bases.

Obat yang paling efektif adalah trisiklik antidepressan seperti Amitriptilin sendiri atau kombinasi dengan phenothiazin. Hasilnya biasanya baik dan pada banyak pasien dapat menghilangkan rasa nyeri dengan sempurna. Marbach melaporkan 17 dari 25 kasus atypical odontalgia berhasil dirawat dengan trisiklik antidepressan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brooke, yang mana 50% dari 22 pasien sembuh permanen dengan trisiklik antidepressan.

Perawatan di mulai dengan dosis 20-25 mg amitriptilin yang digunakan untuk mengontrol nyeri dan efek samping. Dosis ini digunakan sampai nyeri membaik, biasanya ditingkatkan sampai 75 mg per hari, tetapi efek samping yang terjadi dapat mencegah dokter/klinisi meningkatkan dosis.

Penting untuk membicarakan efek samping obat ini kepada pasien. Efek samping amitriptilin adalah pening, ngantuk berat, sakit kepala, xerostomia, konstipasi, meningkatkan nafsu makan dan berat badan, nausea, hipotensi, aritmia, takikardia, gelisah, sedasi, dan diare. Antidepresan yang lain yang memiliki efek yang sama adalah imipramin, sedangkan nortriptilin menyebabkan rasa ngantuk, hipotensi dan arritmia yang tidak seberat pada amitriptilin. Gejala tidak dapat dikontrol dengan penggunaan tunggal trisiklik antidepressan, tetapi phenothiazin dapat digunakan untuk pengobatan.

Meskipun demikian, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada respon pasien terhadap pengobatan antidepressan karena efek samping termasuk tardive dyskinesia, yang disebut dengan penyakit extrapyramidal permanen. Kegunaan antidepressan seharusnya dikurangi pada kasus-kasus yang tidak dapat disembuhkan dan dosisnya seharusnya dikurangi dan tidak dilanjutkan setelah nyeri terkontrol.